Kehebohan itu sudah dimulai dari kemarin, tetapi Sena baru tahu hari ini. Awalnya ia memang merasa sangat aneh dengan menghilangnya Mama dan Rayna diwaktu yang bersamaan. Akan tetapi, ia mengangap hal itu wajah karena mungkin saja mereka menghindari bertemu Adit.
“Apa yang terjadi?” tanya Sena.
Suaranya tengelam dalam tangisan Rayna. Ia mendekat untuk mendengar dengan lebih jelas apa yang terjadi. Saat ini ia merasa berada dalam masalah yang sama sekali tidak di sangka-sangka.
“Aku pikir ia hanya mengurung diri seperti sebelumnya.” Kalimat Rayna terdengar, tetapi sama sekali tidak dimengerti Sena.
“Tenanglah.” Dari tempat Sena berdiri ia melihat Mama mengurut punggung Rayna. “Tidak akan terjadi apa-apa.” Kata wanita yang sudah melahirkan Sena itu.
“Aku mengetuk pintunya dan mengatakan akan pergi ke restoran. Aku juga meletakan makanan di depan kamarnya. Kupikir ia frustrasi karena sangat menyuka
Pikiran tentang Reno yang tidak ditemukan di rumahnya menyita waktu Sena. Ia berhasil terlihat biasa-biasa saja di depan kamera, tetapi tidak saat sendirian. Ia ingin tahu dan membantu. Apalagi kejadian menghilangnya Reno mengingatkannya pada Endah.“Jika kamu melamun seperti ini artinya masalahnya berat, kan?”Sena tersentak dan memaksakan diri tersenyum. Produsernya yang bernama Tora sudah duduk di sampingnya dan tersenyum hangat.“Mau minum, Om?” tanya Sena basa-basi. Ia bersiap memanggil Rayna yang berdiri di tepi lokasi dengan pengamatan yang tidak turun.“Tidak usah.” Tora menunjukkan botol air mineral yang masih tersisa tiga per empat bagian. “Sore kamu dijemput lagi, ya? Bisa kamu Om saja yang antar?”Tora terkenal sebagai orang yang ramah, tetapi ia tak pernah mencoba akrab dengan para pemain serialnya selain di lokasi dan di acara tertentu. Maka tak heran Sena memandang heran sekarang. Ia mu
Adit tidak suka dengan kedatangan Sena yang tiba-tiba. Ia baru saja kesal dengan kata-kata Reno di belakang sana dan sekarang keberadaan Sena menganggunya.“Apa makannya enak?” tanyanya basa basi mengingat Sena tadi meninggalkan Adit dan lebih memilih pulang dengan Tora.Sena mengerjap dan mengangguk. Kesudahannya gadis cantik itu memperhatikan ruangan dengan hati-hati.Alarm dalam otak Adit berdering keras tiba-tiba. Ada sesuatu yang sedang dicari tahu Sena dan itu pasti cukup berbahaya untuk Adit. “Mau minum apa?” tanyanya lagi. Jika bisa, ia ingin menyeret Sena keluar dari rumah segera.“Air putih saja.” Sena tersenyum manis.Alarm yang tadi berdering semakin keras. Tidak! Adit menepis kecurigaan yang mulai merayap bagai laba-laba besar di suatu tempat dalam hati. Sampai saat ini Sena tidak tahu apa-apa dan akan terus seperti itu.Adit meninggalkan Sena dan berjalan ke dapurnya sendirian. Sebel
Itu memang Reno! Itu Reno! Sena berlari seperti orang yang dikejar kembali ke kamarnya. Napasnya memburu dan pikiran buruk terus-menerus mengejarnya.“Dari mana, Sena!”Sena membeku di tempat seketika. Ia tidak menyangka akan berpapasan dengan Adit di atas tangga. Apa yang harus dilakukannya kini. Kakinya serasa terpaku ke lantai.“Sena!” Adit menyentuh bahu Sena.Kali ini Sena yakin kakinya melayang beberapa senti dari lantai. Pelan ia berbalik dan memaksakan diri tersenyum. “Mmm … aku dari dapur,” alasannya.Padahal sejak tadi ia tak tahu ruangan saja yang dimasuki. Ia hanya berpikiran untuk menemukan Reno di manapun di dalam rumah Adit.Adit memandangnya lama dan Sena sama sekali tidak mengerti dengan arti tatapan itu. Tubuhnya mendadak seperti dibenamkan ke dalam air es dan menyisakan kepalanya saja.“Kenapa kamu tidak membangunkan aku?” tanya Adit. Ia meremas pelan b
“Kamu sepertinya terlihat gembira?” tanya Monik.Pagi ini ia mendapatkan pesan dari Adit dan bertemu di kafe depan kampus. Mereka seperti biasa duduk di lantai dua dan memperhatikan kegiatan orang-orang di bawah ruangan.“Coba tebak?” Walaupun terkesan bercanda, wajah Adit malah terkesan datar.Monik memutar bola matanya dan tersenyum. “Kamu sudah berhasil menyingkirkan Reno,” katanya asal tebak.Adit tertawa terbahak-bahak mendengar itu. Beberapa orang yang merasa terganggu dengan tawa Adit mempelototi pemuda di depan Monik.“Mana mungkin, aku harus lebih berhati-hatikan?” kata Adit di akhir tawa.Monik hanya mencebik dan menyesap minumannya pelan. “Papaku kemarin berbicara penting pada Sena, aku kesal untuk itu,” ungkap Monik. Ia tidak suka satu-satunya keluarga yang tersisa terlalu akrab dengan musuhnya.“Aku tebak jika kamu tahu apa yang mereka bicarakan?”
Tepat kemarin sore Ratih akhirnya melaporkan menghilangnya Sena ke kantor polisi. Berita mengegerkan itu menyebar bagai wabah dan berdengung di setiap rumah. Selanjutnya banyak telepon dari media yang menanyakan kebenaran laporan itu. Mana mungkin Ratih menerima semua hal tersebut, ia menolak memberi keterangan pada siapapun dan media manapun. Yang diinginkan seorang ibu sepertinya kini hanya sang anak yang pulang dengan selamat.“Bu, makan dulu ya?” Asisten rumah tangganya yang berbeda usia beberapa tahun kembali membujuk Ratih.Walau duduk di meja makan, tak sejumput makanan atau minuman yang masuk ke dalam mulutnya.Apa Sena sudah makan? Ratih bertanya-tanya dalam hati.Ia membesarkan Sena seorang diri, putrinya itu memiliki alergi makanan dan sulit sekali untuk mencari apa yang disukai Sena selama ini.Ratih memejamkan mata, rasanya sedikit perih. Ia yakin saat ia matanya menonjol seperti ikan koi.Rayna yang tela me
Itu teriakan!Reno yang tengah merebahkan diri di atas ranjang kaget dan langsung duduk. Ia memang tidak punya pekerjaan, makannya baru saja datang tadi dan susah habis. Hanya air mineral yang disisakan setengah botol. Ia tak mau kehausan seperti kemarin, apalagi Adit mengaku lupa padanya. Ia bertekad harus bertahan dengan segala cara.Sekali lagi Reno mendengar teriakan, kali ini lebih jelas dari sebelumnya. Reno berlari menuju pintu dan menemplekan telinganya ke sana.Siapa yang berteriak?Jantungnya memompa darah lebih cepat dari sebelumnya, membuat matanya lebih tajam dan seluruh tubuhnya bisa menghasilkan dua kali tenaga lebih besar. Entah karena teriakan itu yang memotivasi Reno, ia seperti memiliki rencana untuk kabur. Ia menunduk, memperhatikan engsel pintu yang karatan. Tempat engsel itu dipasang adalah dinding batu, jika Reno ingin keluar ia bisa menangalkan engsel dari tempatnya dengan bayaran tenaga.Walaupun tak yakin
Sena tidak bisa menegakkan kepalanya dengan benar. Seluruh persendiannya serasa lepas dan perutnya bergolak. Ia muntah sekali di kaki Adit dan mendapatkan pukulan di pipinya. Ia yang awalnya duduk di kursi depan, dipindahkan ke belakang.Adit menelepon beberapa orang di ponselnya. Sena tahu dari spion tengah. Hasil telepon itu sama sekali tidak baik karena wajah Adit tak sedap dipandang. Pelan-pelan, Sena berusaha membuka pintu samping. Kesibukan Adit pasti sudah menyamarkan kewaspadaan. Pintu samping bisa dibuka dan secepat yang ia bisa Sena lari.Namun, ia jatuh dua langkah setelah keluar dan ambruk di aspal. “To-long!” Teriakan Sena bagai bisikan. Bagaimanapun ia mencoba sekuat tenaga, teriakan yang biasa tidak bisa terdengar.Bagaimana ini? Aku tidak lari. Tuhan …. Sena mencoba mengangkat tubuhnya lagi, tetapi tak berhasil.Adit yang sudah menyadari Sena menghilang langsung keluar dari mobil.“Gadis sial!&rdquo
“Aku tidak pernah berencana membunuh siapapun. Kamu yang melakukannya.”Walaupun ia mengakui perkataan Monik, tapi Adit sama sekali tidak senang. Ia sudah melakukan semua yang disarankan Monik. Hanya saja ada beberapa yang melenceng dari rencana memang. Namun, tetap saja Moniklah pangkal permasalahan itu.“Gadis sial!” makinya sekali lagi.Mobilnya melaju dengan kencang di jalan tol. Ia sempat berhenti dan mengecek keadaan Sena di dalam bagasi. Mata Sena terpejam, tetapi ia masih bernapas dan itu sangat bagus. Ia tidak ingin Sena merusak apapun rencananya lagi. Ia sudah mengisi bensin mobil penuh dan di tempat yang dituju, ia juga sudah mempersiapkan beberapa diregen bensin untuk jaga-jaga. Sebenarnya itu bukan miliknya, tetapi milik Papa.Adit berbelok di jalanan kecil sekali lagi setelah keluar dari tol setengah jam lalu. Tempat yang dituju adalah vila yang sudah lama tak dikunjungi. Terakhir ia kemari bersama Pa