Musim dingin sekarang sudah tidak sedingin awal tahun. Salju-salju sudah mulai mencair. Meninggalkan bekas-bekas es di berbagai tepian. Minggu ini bisa jadi minggu terakhirnya beraktivitas bebas sesuai kehendaknya. Setelah masuk asrama nanti, dia tidak akan dapat bangun kesiangan, membantu ibunya di toko, tidur siang, membaca novel romantic di perpustakaan, dan bertemu dengan Conrad. Karleen berniat untuk jalan-jalan dengan Lisette dan Edwyn pada hari ini. Dia ingin sekali mengunjungi tempat-tempat yang sering mereka kunjungi saat masih kecil dulu. Sudut bibir Karleen melengkung setelah membaca jurnal yang ditulisnya dulu. Sejak kecil, Karleen memiliki kebiasaan menulis jurnal. Dia tertawa membaca peristiwa lucu yang ditulisnya saat dia masih sekolah. Karleen baru ingat dia belum menyelesaikan novel kedua yang dia pinjam kemarin. Novel romantis yang membuat Karleen tersenyum tipis. Meskipun dia bukan penggemar novel bergenre romantis, dia membaca novel itu untuk sekadar memenuhi ras
Karleen mengetuk pintu rumah Lisette. Dari sebelah matanya, Karleen bisa melihat Edwyn yang tampak gelisah. Pintu rumah itu terbuka dari dalam setelah Karleen mengetuknya sebanyak tiga kali. “Edwyn, kau sudah da-.” Ucapan Lisette terhenti ketika dia melihat Karleen yang berdiri tegak di seberangnya.“Karleen, kau ke sini juga?” tanya Lisette yang sedikit terkejut dengan kedatangan Karleen.“Pasti ada yang kalian sembunyikan dariku, ya?” Karleen mencoba tidak marah. Mungkin ada sesuatu yang terjadi di antara mereka. Lisette memalingkan wajahnya. Dia sebenarnya belum siap bertemu langsung dengan Karleen setelah percakapannya dengan Edwyn kemarin. Lisette menatap Edwyn.“Wah! Ada apa dengan kalian berdua? Kalian sedang berkencan tanpa sepengetahuanku, ya?” Karleen menebak seraya tertawa. Ekspresi Edwyn seketika berubah. Karleen tidak bisa menebak apa yang dirasakan Edwyn. Bukannya marah, Edwyn malah terlihat sedih.“Kau salah paham Karleen. Tidak terjadi apa-apa di antara kami,” respo
“Warren memberikannya kepadamu? Bagaimana bisa? Kapan kalian bertemu?” tanya Lisette yang benar-benar penasaran. Dia tidak menyangka progresnya akan secepat itu.“Kemarin, dia datang ke rumahku dan memberikan jaketnya kepadaku,” jawab Karleen dengan volume yang rendah.“Bagaimana bisa dia tahu rumahmu?” tanya Edwyn kemudian. Dari nada bicaranya, Karleen bisa mengetahui bahwa Edwyn sedang kesal.“Dari data militer. Dia tidak datang sendirian. Warren datang bersama Komandan Jaye.”“Dari data militer, itu berarti dia senior kita?” tebak Edwyn.Karleen kemudian menyeringai tipis. “Warren adalah kapten di Militer Kassel.”Edwyn sangat kaget mendengarnya. Rahangnya turun, seakan tidak percaya dengan pekerjaan Warren.“Dia seorang kapten?” ulang Edwyn dengan pelan. Lisette memandang Edwyn prihatin. Pasti Edwyn merasa kecil jika dibandingkan dengan Warren. Meskipun dia belum pernah bertemu dengan Warren, Lisette bisa membayangkan bahwa Warren itu sangat tampan.“Kenapa kau terkejut seperti it
“Kenapa kalian terdiam?” tanya Karleen dengan amarah yang ditahan. Karleen mengakui jika dirinya salah, tetapi dia merasa bahwa Edwyn juga salah. “Aku akui bahwa aku telah mengakui kesalahan. Akan tetapi, aku sudah mengakui dan meminta maaf kepadamu, kan? Kenapa kau terus mencari kesalahanku, hah?” Karleen menatap lekat-lekat manik mata Edwyn yang berwarna hazel itu. “Aku hanya merasa kau tidak mempercayai kami lagi, Karleen.” Balasan Edwyn membuat Karleen terkesiap. “Haaa, apakah semua yang terjadi kepadaku harus aku laporkan kepada kalian juga?” Karleen membentak Edwyn. Karleen merasa bahwa dia juga memiliki privasi yang tidak perlu dia katakan kepada sahabatnya. “Bukan begitu maksudku, Karleen. Kau sudah terlalu banyak berbohong,” tuding Edwyn. “Astaga! Sudah berapa kali kau mengatakan aku terus berbohong? Kan sudah kukatakan, aku sengaja menutupi kenyatakan itu karena aku tahu kalian akan meledekku.” Lisette merasa bimbang ingin memihak kepada siapa. Dia bisa memaklumi tujua
Warren masih terus terbayang perkataan Conrad semalam. Dia merutuki Conrad berulang kali. Entah mengapa mengetahui kebenaran itu membuat hati Warren sakit. Dia tidak bisa membayangkan bagaimana jadinya jika Karleen mengetahui hal itu juga. Gunther hanya memerhatikan Warren saja. Dia tidak berani mengajaknya mengobrol. Gunther tahu sekali kondisi Warren sekarang sedang kacau. Dia harus berhati-hati agar tidak salah bicara dan memancing amarah Warren. “Gunther, kau mengetahui hal itu?” tanya Warren sedih. “T-tidak, Kapten. Aku tidak mengetahui hal itu sama sekali.” Gunther menggigit bibir bawahnya. “Lalu, bagaimana kau bisa menemukan Karleen saat itu?” Warren yang tadinya terdengar sedih, kini suaranya terdengar sangat serius. Aura menyeramkan keluar dari dirinya. “Menemukan Karleen? Kapan Kapten?” Gunther tidak paham dengan apa yang dimaksud Warren. Warren yang malas menjelaskan, berdiri dari duduknya. Dia berjalan menuju lemari di ruangannya. Membuka lemari itu, mengambil sesuatu
Tidak seperti sebelumnya, kondisi Warren sekarang menjadi sedikit lebih baik. Kecemasan Gunther telah hilang. Kini, dia hanya memikirkan apa yang sedang dirasakan oleh Conrad. Sejak semalam, dia terlalu takut untuk membuka pembicaran dengan Conrad. Terlebih lagi amarah Warren yang tak lagi terbendung membuat Gunther merasa di posisi yang membingungkan.Gunther harus mengirim surat kepada Conrad dalam waktu dekat agar ada kejelasan mengenai perintah Conrad untuk menjaga Karleen. Setelah berdiskusi sedikit dengan Warren, Gunther seperti merasakan ada sesuatu yang spesial dari diri Karleen. Terlebih lagi kecemasan Conrad yang terlihat berlebihan untuk tidak membiarkan Karleen menonjol saat di akademi nanti.Gunther harus membantu kedua kaptennya. Dia ingin menjadi penengah di antara mereka. Ketidakinginan Gunther jika dia mengecewakan salah satu dari mereka. Dia harus lebih berusaha menggali informasi dari mereka berdua dan menginfokan ke masing-masing mereka.Warren sedari tadi tidak ha
Suasana ruangan Warren semakin senyap. Seingat Warren mungkin ini pertama kalinya bagi mereka berbagi kisah yang menjadi rahasia di hidup mereka. “Seperti yang kukatakan sebelumnya Kapten, kau pasti tidak akan menyangka dengan apa yang kau dengar nanti.” “Katakanlah. Aku berusaha tidak terkejut,” balas Warren. Rona wajah Gunther berkurang, dia menjadi semakin sedih. “Dulu aku memacari adiknya Kapten Conrad. Kami dekat sejak kecil dan saat mulai beranjak dewasa aku mengajaknya berpacaran. Ternyata dia juga menyukai sejak kecil, tentu itu menjadi hal yang paling membahagiakan dalam hidupku. Sehingga aku berjanji untuk mengajaknya menikah jika kami berdua benar-benar sudah siap. Namun, penyakit yang diderita Ailsa semakin membuatnya melemah dan dia divonis tidak memiliki waktu yang lama untuk bertahan hidup. Empat tahun yang lalu, menjadi tahun terakhir aku bisa bertemu dengannya.” Cerita Gunther terhenti. Warren mendekati juniornya itu dan mengusap punggungnya. “Aku minta maaf,” ka
Karleen berjalan dengan tergesa-gesa. Dia ingin cepat sampai di rumah untuk melepaskan semua amarahnya dengan menulis jurnal. Karleen tidak menyangka Edwyn akan berpikiran seperti itu mengenai dirinya. Begitu juga dengan Lisette, tampaknya Lisette berpikiran yang sama.Karleen mencoba mengevalusi dirinya. Dia sadar bahwa telah salah membohongi sahabatnya. Akan tetapi, dia tidak merasa bahwa dia menjadi berubah semenjak bertemu dengan Conrad.“Ujung-ujungnya aku tidak jadi memberi tahu Lisette tentang apa yang Warren telah katakan kepadaku,” ucap Karleen. Dia berlari menuju jalan potong menuju rumahnya. Jalan setapak itu terletak di tengah-tengah rumah warga. Sebuah tangan tangan menarik lengan Karleen. Karena gerakan yang tiba-tiba tersebut, Karleen spontan meninju ke arah badan orang yang menariknya.Buuk “Karleen, ini aku,” ucap laki-laki berambut panjang itu.“Kak Conrad? Mengapa kau masih ada di sini?” Karleen heran dengan kehadiran Conrad di sini. Dia mengira Conrad sudah pulang