Gunther memerhatikan Warren dan Karleen bergantian. Melihat adanya sosok Jaye bersama Karleen, tentu membuat Warren salah paham dengan apa yang dilihatnya.“Kapten kami izin pamit dahulu,” kata Jaye. Karleen yang mendengarnya terlihat gusar. Gunther mengetahuinya karena dia sangat lihai dalam memerhatikan sesuatu.“Komandan Jaye, tunggu sebentar. Anda bisa melanjutkan perjalanan anda, sepertinya barang saya ada yang tertinggal di dalam.” Karleen terpaksa berbohong untuk menghindari Jaye. Tadi saat berada di dalam dia tidak tahu bagaimana cara menolak tawaran Jaye mengantarkannya ke asrama putri.“Benarkah? Kau tidak apa kembali sendiri ke asrama?” Jaye terdengar menaruh perhatian lebih kepada Karleen. Gunther dan Warren yang mendengarnya tidak merasa aneh lagi. Sudah menjadi kebiasaan Jaye memberi perhatian lebih kepada prajurit perempuan.“Tidak apa Komandan. Terima kasih atas perhatiannya.” Karleen memberi hormat. Setelah Jaye pergi, Karleen merasa nyaman. Dia tidak bisa membayangka
Karleen tidak bertemu dengan Lisette saat dia kembali ke kamar. Masih dalam keadaan murung, Karleen mengambil perlengkapan mandinya dan bergegas ke kamar mandi. Saat tiba di sana, Karleen hanya seorang diri. Tidak ada siapa pun selain dirinya. Dia tidak menyangka bahwa kamar mandinya sangat luas dan bersih. Karleen membersihkan dirinya dengan waktu yang singkat. Dia kembali ke kamarnya dengan perasaan yang sedikit mendingan.Jam poket yang dibawa Karleen masih menunjukkan pukul lima sore. Karleen menghela napasnya panjang. Seperti biasanya dia ingin menulis jurnal. Hal yang dilaluinya hari ini tidak semenyenangkan yang Karleen kira. Padahal awalnya dia ingin mengobrol dengan Warren. Akan tetapi, Warren tampak bersikap dingin terhadapnya.Sambil mengisi waktu kosong, Karleen mencoba mempelajari buku yang diberikan oleh Conrad. Lembar demi lembar Karleen balikkan. Otaknya seakan ingin meledak. Tulisan-tulisan kuno itu berbentuk seperti bangun datar. Bahkan ada yang berbentuk garis luru
Rahang Karleen seakan mengeras. Meskipun dia senang Warren menghampiri dan meminta maaf, dia tidak menyangka akan menjadi pusat perhatian di kantin. Bisik-bisikan semakin jelas di telinga Karleen. Dia bisa mendengar apa saja yang dikatakan orang-orang di ruangan itu. Karleen sangat tidak senang dengan situasi sekarang. Dia ingin cepat-cepat keluar dari kantin dan kembali ke kamarnya.Mereka meletakkan piring kotor secara bersamaan. Telinga Karleen terasa nyaman setelah sukses keluar dari Kantin. Kecanggungan seakan memenuhi koridor. Edwyn masih dalam keadaan belum bisa menerima apa yang didengarnya dari Lisette. Sementara Lisette memandang Edwyn dengan prihatin.“Karleen,” panggil Warren dengan pelan. Dia menghentikan langkahnya dan membalikkan badan menatap Karleen yang berjalan menunduk.Karleen mendongakkan kepalanya ketika melihat kaki Warren yang ditutupi oleh sepatu, berdiri di hadapannya. “Iya, Kapten.”“Apa kau punya waktu? Ada yang ingin kusampaikan kepadamu,” tanya Warren. K
Ruangan berukuran 4x5 meter itu terasa sangat luas bagi Karleen yang sedang duduk berhadapan dengan Warren. Tidak seperti kamarnya, ruangan Warren sangat hangat. Karleen mengedarkan pandangannya. Matanya mendapati sebuah pemanas. Pantas saja ruangan Warren sangat hangat. “Hmm, Warren? Apa yang ingin kau katakan kepadaku?” tanya Karleen selepas menyesap teh buatan Warren. “Besok, aku minta tolong jangan terlalu menonjol. Kau sudah tahu pakaian apa yang harus dikenakan besok, bukan? Jangan berdandan berlebihan,” ucapnya yang tidak berani menatap mata Karleen. “Eh? M-maksudnya?” Karleen tidak menyangka akan mendengar perintah seperti itu dari bibir Warren. “Pokoknya kau harus bersikap seperti biasanya.” Warren menutup sebagian wajahnya dengan telapak tangan kanannya. “Baiklah Kapten,” balas Karleen. “Jangan memanggilku kapten di saat kita hanya berdua. Atau mungkin kau bisa memanggilku Arren?” Karleen membulatkan matanya. Dia seperti pernah mendengar nama Arren di suatu tempat. “A
Edwyn berjalan lemas mengikuti Lisette dan Gunther di depannya. Pikirannya terbang tinggi membayangkan apa yang dilakukan oleh Karleen dan Warren yang sedang berduaan. Dia tidak mendengarkan percakapan Lisette dan Gunther. Mereka sudah tampak dekat dengan satu sama lain. Terkadang mereka tertawa setelah membicarakan sesuatu.Edwyn memainkan rambut cokelatnya asal, sedikit frustasi memikirkan kemungkinan yang terjadi di antara Karleen dan Warren. Tanpa memerhatikan langkah kakinya, Edwyn tidak sengaja menabrak Lisette. Lisette yang sedang asyik mengobrol dengan Gunther menjadi marah.“Kau kenapa Edwyn? Astaga!” Lisette membalikkan badannya. Menatap Edwyn dengan bingung. Dia tidak menyangka Edwyn sedang termenung. Dia tidak menghiraukan perkataan Lisette. Edwyn tersadar saat Lisette mengguncang badannya.“A-ada apa Lisette?” tanya Edwyn setelah merasa sadar.“Kau sudah gila, ya? Apa yang kau pikirkan selama berjalan, hah?” bentak Lisette.“Karleen,” jawab Edwyn singkat. Gunther yang men
Karleen dengan sengaja terus menuangkan teh. Dia masih ingin tetap berada di ruangan Warren, sangat hangat dan nyaman. Meskipun dia tipe yang mudah untuk beradaptasi, berada di kamarnya terasa sangat sesak dan mengerikan. Terlebih lagi saat malam, ingin rasanya Karleen mengajukan untuk perpindahan ruangan. Hanya saja jika dia mengajukan itu kepada pengurus asrama, Karleen akan merasa egois.Mereka terdiam cukup lama. Karleen yang kebetulan mengantongi jam poketnya melirik sesekali. Begitu juga dengan Warren, dia memandang jam dinding yang ditempel pada dinding di seberangnya. Tidak terasa mereka sudah menghabiskan waktu selama satu jam. Satu jam tidak terasa karena mereka merasa waktu sangat cepat berlalu.“War-.”“Kar-.“Mereka berdua berkata secara bersamaan, membuat keduanya tertawa kecil. Mata emas Karleen terlihat basah. Sudut matanya mengeluarkan sedikit air. Seketika pandangannya dikunci oleh hijaunya mata Warren. Laki-laki itu kemudian mempersilakan Karleen untuk berbicara dul
Dalam bayangan, seorang perempuan bersembunyi dengan mantel bertudung. Tangannya mengepal dan rahangnya mengeras melihat sesuatu yang sangat menggangu. Buku jari-jarinya sudah memutih. Dia membuka tudungnya dengan sengaja. Angin malam membuat rambut pirang perempuan itu berterbangan. Masih mengamati Warren yang sedang memeluk seorang perempuan yang tidak dikenalnya di koridor yang sepi, tangannya menarik seorang lelaki yang daritadi berdiri di belakangnya. “Kak, kau bilang kemarin kau mengetahui siapa perempuan itu, kan?” Jaye memicingkan matanya. Merasa kesal karena ditarik tanpa persetujuannya. “Jika aku memberitahumu siapa perempuan itu, apa yang akan kau lakukan?” Jaye memberikan tatapan mengintimidasi kepada perempuan yang memanggilnya kakak itu, “Itu terserahku, kau tahukan aku siapa?” Perempuan itu menyeringai. Jaye menatapnya dengan gusar. “Tidak bisakah kau berubah? Aku lelah dengan dirimu,” jawab Jaye malas. Dia membalikkan badan, berniat untuk meninggalkan perempuan i
Conrad melihat kalender yang terletak di pinggir mejanya. Jarinya mengetuk-ngetuk permukaan meja dengan tempo tertentu sambil berusaha mengingat suatu tanggal penting. Setelah mengingatnya, Conrad membalik halaman kalender. Dia mengambil bolpen dan menandai satu tanggal di bulan Maret. Musim semi akan mulai di minggu itu. Conrad mengeluarkan dokumen yang dia ambil dari brankas tua. Dia menghela napasnya panjang. Menghitung perkiraan yang tepat dengan informasi yang tertulis di dokumen itu.“Jika yang tertulis di sini benar, kira-kira masih ada waktu setahun lebih untuk Karleen menguasai kekuatannya. Aku harap liontin batu merah itu tidak diketahui siapa pun.”Otak Conrad kembali bekerja keras. Dia seperti mengingat sesuatu yang diamanahkan oleh orang tuanya. Saat masih kecil, orang tuanya pernah menyuruhnya untuk mengambil suatu surat di panti asuhan tempat Karleen dititipkan saat Karleen sudah beranjak dewasa.“Sebentar lagi dia akan berumur 19 tahun. Kapan aku akan Kaufungen, ya?” C