Rahang Karleen seakan mengeras. Meskipun dia senang Warren menghampiri dan meminta maaf, dia tidak menyangka akan menjadi pusat perhatian di kantin. Bisik-bisikan semakin jelas di telinga Karleen. Dia bisa mendengar apa saja yang dikatakan orang-orang di ruangan itu. Karleen sangat tidak senang dengan situasi sekarang. Dia ingin cepat-cepat keluar dari kantin dan kembali ke kamarnya.Mereka meletakkan piring kotor secara bersamaan. Telinga Karleen terasa nyaman setelah sukses keluar dari Kantin. Kecanggungan seakan memenuhi koridor. Edwyn masih dalam keadaan belum bisa menerima apa yang didengarnya dari Lisette. Sementara Lisette memandang Edwyn dengan prihatin.“Karleen,” panggil Warren dengan pelan. Dia menghentikan langkahnya dan membalikkan badan menatap Karleen yang berjalan menunduk.Karleen mendongakkan kepalanya ketika melihat kaki Warren yang ditutupi oleh sepatu, berdiri di hadapannya. “Iya, Kapten.”“Apa kau punya waktu? Ada yang ingin kusampaikan kepadamu,” tanya Warren. K
Ruangan berukuran 4x5 meter itu terasa sangat luas bagi Karleen yang sedang duduk berhadapan dengan Warren. Tidak seperti kamarnya, ruangan Warren sangat hangat. Karleen mengedarkan pandangannya. Matanya mendapati sebuah pemanas. Pantas saja ruangan Warren sangat hangat. “Hmm, Warren? Apa yang ingin kau katakan kepadaku?” tanya Karleen selepas menyesap teh buatan Warren. “Besok, aku minta tolong jangan terlalu menonjol. Kau sudah tahu pakaian apa yang harus dikenakan besok, bukan? Jangan berdandan berlebihan,” ucapnya yang tidak berani menatap mata Karleen. “Eh? M-maksudnya?” Karleen tidak menyangka akan mendengar perintah seperti itu dari bibir Warren. “Pokoknya kau harus bersikap seperti biasanya.” Warren menutup sebagian wajahnya dengan telapak tangan kanannya. “Baiklah Kapten,” balas Karleen. “Jangan memanggilku kapten di saat kita hanya berdua. Atau mungkin kau bisa memanggilku Arren?” Karleen membulatkan matanya. Dia seperti pernah mendengar nama Arren di suatu tempat. “A
Edwyn berjalan lemas mengikuti Lisette dan Gunther di depannya. Pikirannya terbang tinggi membayangkan apa yang dilakukan oleh Karleen dan Warren yang sedang berduaan. Dia tidak mendengarkan percakapan Lisette dan Gunther. Mereka sudah tampak dekat dengan satu sama lain. Terkadang mereka tertawa setelah membicarakan sesuatu.Edwyn memainkan rambut cokelatnya asal, sedikit frustasi memikirkan kemungkinan yang terjadi di antara Karleen dan Warren. Tanpa memerhatikan langkah kakinya, Edwyn tidak sengaja menabrak Lisette. Lisette yang sedang asyik mengobrol dengan Gunther menjadi marah.“Kau kenapa Edwyn? Astaga!” Lisette membalikkan badannya. Menatap Edwyn dengan bingung. Dia tidak menyangka Edwyn sedang termenung. Dia tidak menghiraukan perkataan Lisette. Edwyn tersadar saat Lisette mengguncang badannya.“A-ada apa Lisette?” tanya Edwyn setelah merasa sadar.“Kau sudah gila, ya? Apa yang kau pikirkan selama berjalan, hah?” bentak Lisette.“Karleen,” jawab Edwyn singkat. Gunther yang men
Karleen dengan sengaja terus menuangkan teh. Dia masih ingin tetap berada di ruangan Warren, sangat hangat dan nyaman. Meskipun dia tipe yang mudah untuk beradaptasi, berada di kamarnya terasa sangat sesak dan mengerikan. Terlebih lagi saat malam, ingin rasanya Karleen mengajukan untuk perpindahan ruangan. Hanya saja jika dia mengajukan itu kepada pengurus asrama, Karleen akan merasa egois.Mereka terdiam cukup lama. Karleen yang kebetulan mengantongi jam poketnya melirik sesekali. Begitu juga dengan Warren, dia memandang jam dinding yang ditempel pada dinding di seberangnya. Tidak terasa mereka sudah menghabiskan waktu selama satu jam. Satu jam tidak terasa karena mereka merasa waktu sangat cepat berlalu.“War-.”“Kar-.“Mereka berdua berkata secara bersamaan, membuat keduanya tertawa kecil. Mata emas Karleen terlihat basah. Sudut matanya mengeluarkan sedikit air. Seketika pandangannya dikunci oleh hijaunya mata Warren. Laki-laki itu kemudian mempersilakan Karleen untuk berbicara dul
Dalam bayangan, seorang perempuan bersembunyi dengan mantel bertudung. Tangannya mengepal dan rahangnya mengeras melihat sesuatu yang sangat menggangu. Buku jari-jarinya sudah memutih. Dia membuka tudungnya dengan sengaja. Angin malam membuat rambut pirang perempuan itu berterbangan. Masih mengamati Warren yang sedang memeluk seorang perempuan yang tidak dikenalnya di koridor yang sepi, tangannya menarik seorang lelaki yang daritadi berdiri di belakangnya. “Kak, kau bilang kemarin kau mengetahui siapa perempuan itu, kan?” Jaye memicingkan matanya. Merasa kesal karena ditarik tanpa persetujuannya. “Jika aku memberitahumu siapa perempuan itu, apa yang akan kau lakukan?” Jaye memberikan tatapan mengintimidasi kepada perempuan yang memanggilnya kakak itu, “Itu terserahku, kau tahukan aku siapa?” Perempuan itu menyeringai. Jaye menatapnya dengan gusar. “Tidak bisakah kau berubah? Aku lelah dengan dirimu,” jawab Jaye malas. Dia membalikkan badan, berniat untuk meninggalkan perempuan i
Conrad melihat kalender yang terletak di pinggir mejanya. Jarinya mengetuk-ngetuk permukaan meja dengan tempo tertentu sambil berusaha mengingat suatu tanggal penting. Setelah mengingatnya, Conrad membalik halaman kalender. Dia mengambil bolpen dan menandai satu tanggal di bulan Maret. Musim semi akan mulai di minggu itu. Conrad mengeluarkan dokumen yang dia ambil dari brankas tua. Dia menghela napasnya panjang. Menghitung perkiraan yang tepat dengan informasi yang tertulis di dokumen itu.“Jika yang tertulis di sini benar, kira-kira masih ada waktu setahun lebih untuk Karleen menguasai kekuatannya. Aku harap liontin batu merah itu tidak diketahui siapa pun.”Otak Conrad kembali bekerja keras. Dia seperti mengingat sesuatu yang diamanahkan oleh orang tuanya. Saat masih kecil, orang tuanya pernah menyuruhnya untuk mengambil suatu surat di panti asuhan tempat Karleen dititipkan saat Karleen sudah beranjak dewasa.“Sebentar lagi dia akan berumur 19 tahun. Kapan aku akan Kaufungen, ya?” C
Mata Karleen sembab. Dia membasuh matanya sebelum masuk ke dalam kamarnya. Air dingin menyegarkan matanya. Dia mengeluarkan sapu tangan pemberian Warren dari kantung celananya. Sambil mengisi gayung dengan air dingin, Karleen mencoba kembali merangkai kata-kata untuk besok. Menggelengkan kepalanya dengan kuat dengan upaya membiarkan apa yang terjadi dengannya tadi bersama Warren.Karleen memegang gayung dengan tangan kanannya dan berjalan dengan sangat pelan menuju kamarnya. Dari jauh, dia bisa melihat Lisette yang sedang berdiri di depan pintunya. Lisette berjalan menghampiri Karleen dengan tatapan cemas.“Astaga, Karleen! Apa yang dilakukan Warren sampai membuat matamu seperti itu?” teriaknya marah.“Shh, bukan seperti itu Lisette. Kecilkan suaramu, ayo masuk ke kamarku dulu.” Lisette berjalan beriringan dengan Karleen seraya menebak-nebak apa yang baru saja terjadi dengan mereka berdua.Lisette langsung duduk di lantai menghadap ke arah Karleen yang duduk di meja belajarnya. Dia me
Lisette mengguncang tubuh Karleen pelan. Karleen bergumam pelan sambil merentangkan tangannya. Rambut panjangnya kusut tak beraturan. Lisette yang sudah bangun duluan memastikan Karleen sudah benar-benar bangun. Matanya berpendar mencari keperluan mandi milik Karleen. “Ayo kita membersihkan diri!” ajak Lisette yang kemudian menyodorkan barang-barang Karleen. Karleen yang sibuk mengucek mata, menguap seraya mengangguk. “Ayo Karleen, kumpulkan semangatmu. Hari ini sangat penting bagimu yang menjadi representatif. Aku tunggu di kamar mandi, ya? Aku ingin ke kamarku dulu mengambil perlengkapanku. Lisette mengacir pergi. Karleen keluar dari kamarnya. Dia tidak mengecek jamnya sebelum ke luar kamar. Perasaannya menjadi sangat tenang ketika melihat pemandangan dari atas. Benar-benar indah dan memanjakan mata. Karleen belum pernah melihat pemandangan dari jarak setinggi ini. Matahari belum terbit di ufuk timur. Karleen merasa menjadi anak yang rajin jika bangun di pagi buta seperti ini. D