Suasana di kantor Clara terasa tegang pagi ini. Semalaman dia tidak bisa tidur, dan seharian kemarin dia terus uring-uringan memikirkan kedekatan Julian dan Amber. Dia duduk di balik meja kerjanya, mata menatap layar MacBook-nya dengan intensitas yang mengkhawatirkan. Di lubuk hatinya, perasaan cemburu dan ketakutan terus menggerogoti.Clara merasa ada yang aneh. Percakapan Julian dan karyawannya yang bernama Amber Hayes terus terngiang di dalam benaknya. Seakan banyak jutaan tanda tanya dalam pikirannya itu.“Nona,” sapa sang sekretaris melangkah menghampiri Clara.Clara menatap sang sekretaris dengan tatapan dingin. Sebelumnya, dia memang memanggil sekretarisnya untuk datang. “Aku ingin kau panggilkan karyawan yang bernama Amber Hayes!”“Sekarang, Nona?” tanya sang sekretaris penuh hati-hati. Mata Clara mendelik tajam. “Kau masih tanya? Aku memanggilmu sekarang artinya kau panggil Amber sekarang, Bodoh!”Sang sekretaris menelan salivanya susah payah mendapatkan bentakan dari Clara
Suasana di kantor semakin tegang seiring berjalannya waktu. Julian duduk di kursi kebesarannya, memikirkan Amber dan Clara. Dia merasa sulit untuk mendekati Amber, tetapi juga memahami bahwa Amber sulit dijangkau karena tekanan yang diberikan Clara padanya.Julian memikirkan situasinya dengan hati-hati. Dia tidak bisa langsung menegur Clara, karena itu akan terlihat aneh. Lagi pula, dia khawatir pada Clara akan mengadu ke ayahnya, dan berdampak membatalkan persetujuan proyek yang sedang berjalan. Julian masih membutuhkan Clara, meskipun dia mengakui bahwa dia tidak bisa lepas dari bayang-bayang Amber.Julian menghela napas. “Apa yang seharusnya aku lakukan?”“Bagaimana kalau Anda menemui si kembar saja, Tuan?” usul Mark sambil menunjukkan foto si kembar yang Amber antarkan ke tempat penitipan anak.“Good. Ide bagus, Mark.” Akhirnya, Julian memutuskan untuk menghentikan kunjungannya ke kantor Clara dan mengikuti saran Mark. Dia sadar bahwa keberadaannya di sana hanya akan menimbulkan k
Amber menutup laptopnya dengan perasaan lega setelah menyelesaikan hari yang melelahkan di kantor. Beruntung Clara pulang cepat, sehingga tidak membebaninya dengan perintah konyol lagi. Setelah mengenakan jaketnya, Amber segera menuju tempat daycare untuk menjemput anak-anaknya.Akan tetapi, begitu Amber tiba di tempat daycare, dia merasa cemas. Sesuatu terasa tidak beres. Dia tidak melihat Victor dan Violet seperti biasanya. Amber segera menuju ke ruang resepsionis dan bertanya pada pengurus daycare.“Maaf, di mana Victor dan Violet?” tanya Amber dengan nada cemas.Pengurus daycare memandang Amber dengan ekspresi terkejut sebentar sebelum menjawab, “Oh, tadi teman Anda menjemput mereka lebih awal, dan saat ini mereka sedang bermain di taman dekat sini, Nyonya Hayes. Mereka terlihat sangat senang.”Amber merasa lega mendengar itu, tetapi juga merasa sedikit marah. Dugaannya adalah Jessie yang mengajak Victor dan Violet bermain. Dia marah bukan karena Jessie menjemput, tapi marah karen
Amber membaringkan tubuh Violet ke atas ranjang, bersamaan dengan Jessie yang juga membaringkan tubuh Victor ke atas ranjang. Bocah kembar itu tertidur begitu pulas. Tampaknya mereka sangat kelelahan.“Violet dan Victor sudah tidur. Aku ingin bicara denganmu. Kita keluar sekarang.” Jessie menarik tangan Amber, membawa Amber pergi meninggalkan tempat itu.Amber pasrah di kala Jessie menarik tangannya. Dia sudah tahu apa yang ditanyakan oleh temannya itu. Sebab, semua yang terjadi saja sangat mengejutkan dirinya.“Sekarang ceritakan padaku, kenapa Julian Kingston bisa mengantarmu pulang, Amber?” tanya Jessie tak sabar pada Amber.Amber menghela napas dalam. “Ceritanya sangat rumit, Jessie.”“Tidak ada yang rumit, jika kau menceritakan semuanya padaku. Aku butuh penjelasan Amber,” jawab Jessie mendesak Amber untuk bercerita padanya.Amber duduk di sofa, menyandarkan punggungnya ke sofa, dia menghela napas dalam sambil berkata, “Hari ini aku menjemput si kembar di daycare, dan staff dayc
Amber tak menyangka dirinya dibawa oleh Julian ke sebuah penthouse mewah. Entah siapa pemilik penthouse ini. Dugaan Amber tentunya penthouse mewah ini adalah milik Julian Kingston. Sebab sejak tadi pelayan begitu hormat pada Julian.“Julian, apa kau sudah kehilangan akal sehatmu? Kenapa kau membawaku ke penthouse-mu?” seru Amber seraya menatap dingin Julian yang berdiri di hadapannya.Hal tergila adalah Amber di bawah ke sebuah kamar bernuansa abu-abu kombinasi hitam. Kamar yang tertata rapi sempurna, dengan pajangan yang pastinya sangat mahal. Dugaan Amber berkata ini adalah kamar Julian. “Kau tenang saja. Clara tidak tahu penthouse-ku yang ini. Banyak beberapa asset-ku tidak diketahui Clara,” jawab Julian tenang.Amber mengatur napasnya. Rupanya Julian tidak membawanya ke penthouse utama pria itu. Namun, apa pun itu tetap saja membuat Amber tak mengerti dengan jalan pikiran Julian Kingston.“Aku harus pergi.” Amber melangkah pergi meninggalkan Julian, tapi dengan sigap—tangan Juli
Amber melangkahkan kakinya lemah masuk ke dalam lobby apartemen. Dia pulang diantar oleh sopir Julian. Dia tak ke kantor lagi, karena Julian mengatakan sudah mengurus izin Amber. Kesempatan ini Amber gunakan untuk pulang lebih awal, tapi tentunya dia menjemput si kembar lebih dulu. Victor dan Violet sekarang sedang bermain di kamar. Sementara Amber terus menatap dua anak kembarnya dengan raut wajah muram, dan muram. Dia bahagia melihat dua anaknya tertawa sambil bermain. Namun, hatinya sangat tertekan. Pikirannya terus mengingat tentang kata-kata Julian.Hal yang paling Amber khawatirkan adalah Julian akan menuntut ke pengadilan tentang hak asuh Victor dan Violet. Membayangkan itu buru-buru Amber menggelengkan kepalanya tegas. Napasnya sedikit memburu panik, tapi dia tidak akan menyerah begitu saja.Amber menutup pintu kamar si kembar, dan membiarkan kedua anaknya itu bermain. Kepalanya sekarang pusing luar biasa, dia tak tahu harus bertindak seperti apa. Sebab, jika sampai Julian b
“Astaga, kepalaku pusing sekali,” gerutu Amber sambil memijat keningnya.Rambut pirang yang berantakan dan mata berkaca-kaca, wanita cantik bernama Amber itu berdiri di lorong hotel yang remang-remang. Gaunnya yang indah sudah kusut dan berlumuran noda, mencerminkan keadaan hatinya yang hancur berantakan.“Apa salahku, Tuhan! Kenapa hidupku jadi begini?” Amber berseru dengan nada penuh putus asa. Dia baru saja kehilangan seorang ayah, dan diusir oleh ibu tirinya yang licik, kata-kata kasar dan penghinaan wanita licik itu masih terngiang di telinganya. Amber tak tahu harus ke mana, hanya rasa sakit dan frustrasi yang menemaninya saat ini.Tanpa tujuan, Amber berjalan sempoyongan, kakinya hampir tak mampu menopang tubuhnya yang lemah karena alkohol. Dia tersandung beberapa kali, hampir jatuh, tetapi berhasil bangkit kembali. Akhirnya, dia sampai di depan sebuah pintu kamar hotel. Dia mengeluarkan kartu pass dari tasnya yang berantakan, berusaha keras untuk menempelkannya ke sensor.Klik!
Terbangun oleh kilau keemasan matahari California yang menelusup melalui jendela kaca kamar hotel, Julian mengerjap sejenak. Ada tumpukan rasa sesal karena dia ikut tertidur semalam, dan baru bangun pagi ini. Padahal ada tubuh menggiurkan di sampingnya yang menanti untuk ditunggangi.Tunggu! Ke mana perginya wanita itu?Julian terkejut ketika meraba ke samping dan tidak menemukan siapa pun. Matanya langsung terbeliak, mencari keberadaan wanita yang tadi malam dia pesan. “Ke mana perginya wanita itu?” Masih dengan tubuhnya telanjang, Julian menelusuri kamar presiden suit yang disewanya. Memeriksa kembali setiap sudut dengan seksama, termasuk kamar mandi, balkon, dan lemari. Julian mencari petunjuk apa pun yang mungkin ditinggalkan wanita itu—seperti catatan, jejak kaki, atau tanda lain. Namun, yang Julian dapat hanya gaun robek yang tergeletak di lantai, dan seuntai kalung batu ruby yang cantik.Julian memijat pangkal alisnya untuk meredakan pening yang tiba-tiba menyerang. Dia merasa