Amber membaringkan tubuh Violet ke atas ranjang, bersamaan dengan Jessie yang juga membaringkan tubuh Victor ke atas ranjang. Bocah kembar itu tertidur begitu pulas. Tampaknya mereka sangat kelelahan.“Violet dan Victor sudah tidur. Aku ingin bicara denganmu. Kita keluar sekarang.” Jessie menarik tangan Amber, membawa Amber pergi meninggalkan tempat itu.Amber pasrah di kala Jessie menarik tangannya. Dia sudah tahu apa yang ditanyakan oleh temannya itu. Sebab, semua yang terjadi saja sangat mengejutkan dirinya.“Sekarang ceritakan padaku, kenapa Julian Kingston bisa mengantarmu pulang, Amber?” tanya Jessie tak sabar pada Amber.Amber menghela napas dalam. “Ceritanya sangat rumit, Jessie.”“Tidak ada yang rumit, jika kau menceritakan semuanya padaku. Aku butuh penjelasan Amber,” jawab Jessie mendesak Amber untuk bercerita padanya.Amber duduk di sofa, menyandarkan punggungnya ke sofa, dia menghela napas dalam sambil berkata, “Hari ini aku menjemput si kembar di daycare, dan staff dayc
Amber tak menyangka dirinya dibawa oleh Julian ke sebuah penthouse mewah. Entah siapa pemilik penthouse ini. Dugaan Amber tentunya penthouse mewah ini adalah milik Julian Kingston. Sebab sejak tadi pelayan begitu hormat pada Julian.“Julian, apa kau sudah kehilangan akal sehatmu? Kenapa kau membawaku ke penthouse-mu?” seru Amber seraya menatap dingin Julian yang berdiri di hadapannya.Hal tergila adalah Amber di bawah ke sebuah kamar bernuansa abu-abu kombinasi hitam. Kamar yang tertata rapi sempurna, dengan pajangan yang pastinya sangat mahal. Dugaan Amber berkata ini adalah kamar Julian. “Kau tenang saja. Clara tidak tahu penthouse-ku yang ini. Banyak beberapa asset-ku tidak diketahui Clara,” jawab Julian tenang.Amber mengatur napasnya. Rupanya Julian tidak membawanya ke penthouse utama pria itu. Namun, apa pun itu tetap saja membuat Amber tak mengerti dengan jalan pikiran Julian Kingston.“Aku harus pergi.” Amber melangkah pergi meninggalkan Julian, tapi dengan sigap—tangan Juli
Amber melangkahkan kakinya lemah masuk ke dalam lobby apartemen. Dia pulang diantar oleh sopir Julian. Dia tak ke kantor lagi, karena Julian mengatakan sudah mengurus izin Amber. Kesempatan ini Amber gunakan untuk pulang lebih awal, tapi tentunya dia menjemput si kembar lebih dulu. Victor dan Violet sekarang sedang bermain di kamar. Sementara Amber terus menatap dua anak kembarnya dengan raut wajah muram, dan muram. Dia bahagia melihat dua anaknya tertawa sambil bermain. Namun, hatinya sangat tertekan. Pikirannya terus mengingat tentang kata-kata Julian.Hal yang paling Amber khawatirkan adalah Julian akan menuntut ke pengadilan tentang hak asuh Victor dan Violet. Membayangkan itu buru-buru Amber menggelengkan kepalanya tegas. Napasnya sedikit memburu panik, tapi dia tidak akan menyerah begitu saja.Amber menutup pintu kamar si kembar, dan membiarkan kedua anaknya itu bermain. Kepalanya sekarang pusing luar biasa, dia tak tahu harus bertindak seperti apa. Sebab, jika sampai Julian b
“Astaga, kepalaku pusing sekali,” gerutu Amber sambil memijat keningnya.Rambut pirang yang berantakan dan mata berkaca-kaca, wanita cantik bernama Amber itu berdiri di lorong hotel yang remang-remang. Gaunnya yang indah sudah kusut dan berlumuran noda, mencerminkan keadaan hatinya yang hancur berantakan.“Apa salahku, Tuhan! Kenapa hidupku jadi begini?” Amber berseru dengan nada penuh putus asa. Dia baru saja kehilangan seorang ayah, dan diusir oleh ibu tirinya yang licik, kata-kata kasar dan penghinaan wanita licik itu masih terngiang di telinganya. Amber tak tahu harus ke mana, hanya rasa sakit dan frustrasi yang menemaninya saat ini.Tanpa tujuan, Amber berjalan sempoyongan, kakinya hampir tak mampu menopang tubuhnya yang lemah karena alkohol. Dia tersandung beberapa kali, hampir jatuh, tetapi berhasil bangkit kembali. Akhirnya, dia sampai di depan sebuah pintu kamar hotel. Dia mengeluarkan kartu pass dari tasnya yang berantakan, berusaha keras untuk menempelkannya ke sensor.Klik!
Terbangun oleh kilau keemasan matahari California yang menelusup melalui jendela kaca kamar hotel, Julian mengerjap sejenak. Ada tumpukan rasa sesal karena dia ikut tertidur semalam, dan baru bangun pagi ini. Padahal ada tubuh menggiurkan di sampingnya yang menanti untuk ditunggangi.Tunggu! Ke mana perginya wanita itu?Julian terkejut ketika meraba ke samping dan tidak menemukan siapa pun. Matanya langsung terbeliak, mencari keberadaan wanita yang tadi malam dia pesan. “Ke mana perginya wanita itu?” Masih dengan tubuhnya telanjang, Julian menelusuri kamar presiden suit yang disewanya. Memeriksa kembali setiap sudut dengan seksama, termasuk kamar mandi, balkon, dan lemari. Julian mencari petunjuk apa pun yang mungkin ditinggalkan wanita itu—seperti catatan, jejak kaki, atau tanda lain. Namun, yang Julian dapat hanya gaun robek yang tergeletak di lantai, dan seuntai kalung batu ruby yang cantik.Julian memijat pangkal alisnya untuk meredakan pening yang tiba-tiba menyerang. Dia merasa
“Mark, apa kau sudah ada perkembangan mengenai wanita itu?” tanya Julian dingin dengan aura wajah tegasnya, bicara pada sang asisten. Rasa penasaran dalam dirinya, membuatnya memerintahkan sang asisten untuk mencari keberadaan wanita asing itu.“Maaf, Tuan. Kami tidak dapat menemukan wanita yang Anda maksud.” Mark menghela napas, dengan raut wajah cemas. “Kami sudah meminta orang menelusuri ke seluruh hotel sejak waktu itu, dan belum ada titik terang. Tapi, Tuan, saya sudah membawakan data rekaman CCTV seluruh hotel ini untuk diperiksa.”Julian memicingkan mata tajam. “Sudah tiga minggu, kau pikir masih berguna?”“Jadi, Anda tidak ingin saya memeriksanya?” ulang Mark memastikan.“Periksa, Mark,” kesal Julian dingin.Mark mengangguk singkat menanggapi perintah bosnya itu. Dia merasa aneh. Tidak biasanya Julian mencari wanita malam yang dia tiduri sampai seperti itu. Terlebih lagi bosnya sama sekali tidak menemui wanita penghibur lain—sejak malam yang dia habiskan bersama wanita mabuk mi
“A-apa?” Lidah Amber tiba-tiba saja kelu mendengar apa saran dari Jessie. Saran yang hampir sama dia dengar tadi dari Merry. Tangan Amber sampai bergetar di kala menerima pil penggugur kandungan yang diberikan Jessie.“Amber, jika kau hamil seperti Merry, kau akan dipecat. Kau tahu betapa sulitnya mencari pekerjaan saat ini, kan?” Jessie menatap Amber dengan tegas. “Telan pil ini dan besok pagi kau akan jadi Amber yang baru.”Amber memandang pil yang dipegangnya dengan mata penuh kemarahan. Pikirannya berkecamuk antara amarah yang membara dan rasa putus asa yang menghimpit dadanya. Jessie, rekan kerjanya yang seharusnya memberikan dukungan, malah memberinya ultimatum yang menyiksa.“Kau gila, Jessie!” Amber memekik tertahan, suaranya penuh dengan ketidakpercayaan. “Anak ini … adalah darah dagingku.”“Amber, aku tahu ini sulit, tapi kau harus menghadapi kenyataan. Jika kau tidak bertindak secara bijak, konsekuensinya akan lebih berat. Kau bisa kehilangan semuanya. Kuliah, pekerjaan, mas
Empat tahun berlalu … Amber memandang ke luar jendela, melihat awan-awan yang bergulung-gulung di bawah. Cahaya matahari pagi menembus kaca pesawat, menerangi wajahnya yang lelah. Di sebelahnya, Violet, putri cantiknya, tertidur lelap, kepalanya bersandar di bahu Amber. Rambut pirang panjangnya terurai di atas kursi, wajahnya damai dan tanpa ekspresi.Di kursi seberang, Victor, saudara kembar Violet, duduk dengan fokus, jari-jarinya yang kecil sibuk merakit mainan lego. Potongan-potongan berwarna cerah berserakan di atas meja lipat kecil di depannya. Sesekali, dia melirik ke arah Violet, memastikan adiknya masih tertidur.Amber tersenyum melihat Victor. Dia selalu kagum dengan imajinasi dan ketekunan putranya. Putranya itu bisa menghabiskan waktu berjam-jam membangun berbagai macam struktur dari lego, mulai dari kastil megah hingga pesawat luar angkasa futuristik.Suara mesin pesawat mendengung pelan, mengantarkan Amber ke dalam lamunan. Dia sebenarnya sedikit gugup memikirkan akan ke