Empat tahun berlalu …
Amber memandang ke luar jendela, melihat awan-awan yang bergulung-gulung di bawah. Cahaya matahari pagi menembus kaca pesawat, menerangi wajahnya yang lelah. Di sebelahnya, Violet, putri cantiknya, tertidur lelap, kepalanya bersandar di bahu Amber. Rambut pirang panjangnya terurai di atas kursi, wajahnya damai dan tanpa ekspresi.
Di kursi seberang, Victor, saudara kembar Violet, duduk dengan fokus, jari-jarinya yang kecil sibuk merakit mainan lego. Potongan-potongan berwarna cerah berserakan di atas meja lipat kecil di depannya. Sesekali, dia melirik ke arah Violet, memastikan adiknya masih tertidur.
Amber tersenyum melihat Victor. Dia selalu kagum dengan imajinasi dan ketekunan putranya. Putranya itu bisa menghabiskan waktu berjam-jam membangun berbagai macam struktur dari lego, mulai dari kastil megah hingga pesawat luar angkasa futuristik.
Suara mesin pesawat mendengung pelan, mengantarkan Amber ke dalam lamunan. Dia sebenarnya sedikit gugup memikirkan akan kembali ke California. Dulu dia pindah dari sana ke Dallas karena keputusannya untuk melahirkan anak kembarnya—membuat ibunda Jessie, yakni Margareth Swan mengasihaninya. Margareth mengajak Amber ikut dengannya ke kampung halaman, agar dia lebih mudah membantunya selama kehamilan hingga proses melahirkan.
Bagi Amber, Margareth sudah seperti malaikat penolong. Ibu dari sahabatnya itu membantu mengurus anak kembarnya selama Amber melanjutkan kuliahnya lagi dan bekerja paruh waktu. Jika tak ada Margareth di hidupnya, mungkin Amber tak akan bisa sampai di titik ini. Titik di mana dia bisa mendapat pekerjaan bagus, mengisi posisi sebagai asisten kepala cabang di sebuah perusahaan.
Namun, pekerjaan ini juga yang memaksa Amber harus kembali ke Los Angeles, California dan menggali lagi kenangan pahit dalam hidupnya. Margareth sempat menawarkan pada Amber untuk meninggalkan saja si kembar di Dallas, agar jauh dari masa lalu Amber yang kelam. Akan tetapi ibu mana yang bisa berpisah dengan putra-putrinya yang baru berumur tiga tahun? Amber berharap semua baik-baik saja. Semoga dia bisa memberikan kehidupan yang lebih baik bagi anak-anaknya.
Pesawat terus melaju, membelah langit biru. Amber memejamkan matanya, merasakan kehangatan matahari di kulitnya. Dia tahu bahwa perjalanan ini akan penuh dengan tantangan, tetapi dia juga tahu bahwa dia tidak sendirian. Dia memiliki Victor-Violet di sisinya, dan dia memiliki harapan untuk masa depan.
Amber dan kedua anak kembarnya, Victor dan Violet, akhirnya mendarat di Bandar Udara Los Angeles, California. Kemeriahan bandara menyambut mereka dengan hiruk pikuk penumpang dan aroma makanan yang menggoda. Amber menarik kopernya dengan satu tangan, sementara tangan lainnya merangkul Victor dan Violet yang berjalan di sisinya. Namun, senyum di wajah Amber seketika pudar saat Violet mulai merengek.
“Lapar, Mommy!” keluh Violet, perutnya sudah mulai bunyi.
Amber menepuk-nepuk kepalanya dengan penuh kasih sayang, “Baiklah, Sayang. Kita beli makanan dulu, ya.”
Amber membawa anak-anaknya menuju deretan restoran yang ada di bandara. Sistem self-service yang digunakan, Amber memutuskan mencari tempat duduk terlebih dahulu sebelum memesan makanan. Wanita berparas cantik itu menemukan meja kosong di dekat kasir, tempat dia bisa mengawasi anak-anaknya dengan mudah.
“Kalian jangan ke mana-mana. Tetap di sini, Mommy akan segera kembali membawa pasta carbonara kesukaan Violet dan pasta saus tomat kesukaan Victor. Apakah kalian mau susu juga?” tawar Amber penuh kelembutan.
Victor menggeleng, sementara Violet mengangguk. Setelah membuat kesepakatan dengan si kembar, Amber bergegas ke kasir untuk memesan makan siang. Dia memesan pasta untuk anak-anak dengan dan jus jeruk, serta sandwich ham dan salad untuk dirinya.
Namun, tiba-tiba saat Amber kembali ke meja, jantungnya nyaris berhenti berdetak di kala melihat kursi yang ditempati Victor dan Violet kosong. Kegelisahan merayap di benaknya.
“Victor! Violet!” panggil Amber dengan panik, suaranya bergema di antara keramaian bandara.
Amber mencari ke sekeliling, matanya mematahkan setiap sudut ruangan. Ketakutan mulai menguasainya. Bagaimana bisa anak-anaknya tiba-tiba menghilang dalam sekejap mata?
Amber berlari ke meja informasi, memohon bantuan kepada petugas bandara. Dia memberikan deskripsi Victor dan Violet, foto mereka, dan nomor teleponnya. Petugas bandara segera mengumumkan hilangnya anak-anak Amber melalui pengeras suara.
Air mata Amber mengalir tanpa henti, membasahi pipinya. Dia tidak bisa membayangkan apa yang terjadi pada anak-anaknya. Di tengah kepanikannya, dia teringat pelajaran tentang kesabaran dan keteguhan yang selalu dia ajarkan kepada anak-anaknya. Dia menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan diri.
Sementara itu di tempat lain, di tengah hiruk pikuk kafe elit yang masih berada di area bandara, duduklah Julian, seorang pengusaha sukses yang disegani. Ketampanannya yang dibalut setelan jas mahal tak mampu menyembunyikan aura arogan dan dingin yang menyelimuti dirinya.
Tatapan mata pria tampan itu tajam bagaikan pisau, siap menusuk siapapun yang berani menentangnya. Julian berada di bandara siang ini karena sedang menunggu kedatangan calon tunangannya. Wanita manja itu harus dibereskan dengan cara yang benar, agar pernikahan bisnis yang Julian rancang tidak berantakan.
Ponsel di genggamannya berdering nyaring, menandakan panggilan penting. Pembicaraan bisnis senilai puluhan juta dollar berlangsung alot, penuh dengan perdebatan dan strategi licik. Julian tampak tak terpengaruh oleh situasi panas di sekelilingnya, suaranya tetap tenang dan penuh kendali.
Namun, ketenangannya seketika buyar saat dua anak kecil berlarian di dekatnya. Tanpa sengaja, mereka menabrak kaki Julian, membuat Violet terjatuh dan dokumen-dokumen pentingnya berserakan di lantai. Tangisan pilu Violet pecah, Victor mulai gaduh menenangkan adiknya. Hal itu membuyarkan fokus Julian dalam negosiasi bisnis.
Wajah Julian memerah padam, amarah membakar matanya. Dia memanggil asisten pribadinya, dengan suara penuh ketegasan. “Mark, singkirkan bocah-bocah nakal ini! Beraninya mereka mengganggu kesepakatan pentingku!"
“M-maafkan kami, Paman!” Violet meskipun gemetar maju dan membungkuk di depan Julian. “Kami … kami bersalah.”
Victor menambahkan dengan raut wajah ketakutan. “I-iya, maafkan kami.”
Julian menarik napas, berusaha untuk bersabar. Bagaimanapun yang dia hadapi adalah anak kecil. Dia menunduk melihat kedua bocah yang ketakutan itu. “Baiklah, maafkan aku juga. Di mana ibu kalian?”
Mereka tidak menjawab, dan Mark langsung mengambil alih. “Kalian lebih baik bermain di tempat lain, ya?”
Mark bergegas menenangkan Victor dan Violet yang ketakutan, berusaha menggendong mereka pergi menjauh dari sang bos, tapi keduanya menolak dan langsung berlari menjauh. Di tengah kekacauan itu, Julian kembali fokus pada negosiasi bisnisnya, seolah-olah kejadian tadi tak pernah terjadi. Namun, sekilas Julian merasa familiar dengan kedua bocah itu.
‘Rambut pirang dan mata biru bocah itu,’ Julian membatin aneh.
[Tuan Kingston, apa kau mendengarku?]
Suara panggilan di telepon memintanya untuk kembali fokus. Julian menggelengkan kepalanya sejenak sebelum akhirnya tenggelam pada berbagai kesepakatan yang sejak tadi dia ributkan di telepon. Setelah selesai, Julian seperti orang kebingungan. Pria itu mencari dua bocah yang sempat membuatnya merasa dejavu.
“Apa yang Anda cari, Tuan?” Mark ikut kebingungan mencari tahu apa yang menarik perhatian bosnya barusan.
“Kedua bocah itu—”
Mark mengerjap bingung.
“Kedua bocah itu, Mark. Di mana mereka?” Julian memicing tajam pada Mark.
“Eh? Anak-anak tadi? Mereka sudah pergi, ada apa?” Mark masih tidak mengerti apa yang dicari dan diinginkan oleh Julian. “Apa Anda tiba-tiba saja ingin bermain dengan mereka, Tuan?”
Julian mendengus kasar. “Singkirkan kekonyolanmu, Mark! Ayo bergegas!”
“Silakan lewat sini, Nona,” pandu Mark, mengantarkan Clara ke kursi Julian.Kaki Clara menginjakkan diri ke lantai marmer kafe elit yang terkenal di bandara Los Angeles. Cahaya remang lampu kristal berpadu dengan alunan musik jazz lembut menciptakan atmosfer romantis yang kontras dengan badai emosi di dalam diri Clara. Di sudut ruangan, duduk sosok pria tampan yang selama ini Clara puja—Julian Kingston—pengusaha muda sukses yang dikagumi banyak orang. Ketampanan Julian yang memikat dibalut setelan jas mahal tak mampu menyembunyikan aura arogan dan dingin yang menyelimuti dirinya.Clara melangkah dengan anggun, setiap langkahnya diiringi rasa penasaran. Ada angin apa Julian tiba-tiba berinisiatif menjemputnya? Selama ini, Julian selalu mengacuhkan Clara, bahkan ketika Clara mengejar-ngejar pria itu. Padahal perjodohan antara dua keluarga sudah ditentukan, tapi Julian seolah tak peduli dengan hal itu dan tetap mengabaikan Clara.“Lama sekali,” ucap Julian dengan nada datar, tanpa senyum
Mouren Inc selalu sibuk. Sama seperti Amber yang sedang berusaha menyesuaikan diri dengan kesibukan Mouren Inc di meja kerjanya. Ini adalah hari pertama Amber di kantor. Jadi, dia berusaha menyelesaikan tugas-tugasnya dengan tekun. Namun, keheningan kantor seiring berjalannya waktu mulai membuatnya merasa tidak nyaman.Jam sudah menunjukkan pukul lima sore, dan Amber pikir, dia bisa segera pulang untuk menjemput Victor dan Viiolet di daycare. Akan tetapi, Tuan Parker, atasan Amber, tiba-tiba saja datang dan duduk di meja dekatnya dengan senyum genit.“Amber, bisakah kau menyelesaikan laporan ini sebelum pulang?” tanya Alan Parker, atas Amber, dengan senyuman di wajahnya, dan tatapan yang tak lepas menatap wanita itu.“Tuan Parker, tapi—”“Laporan ini akan digunakan untuk meeting besok pagi. Kau tahu kan, Nona Mouren, putri pemilik perusahaan yang baru kembali ke sini, akan memeriksanya pukul enam pagi,” ujar Alan sambil tersenyum, dan tampak menjijikan di mata Amber.Amber menghela na
Amber duduk di depan meja rias di kamarnya, memandang dirinya sendiri di cermin dengan gaun malam yang elegan. Rambutnya dikepang indah, dan make up dipoles di wajah cantiknya. Entah kenapa di dalam hatinya merasa gelisah. Padahal seharusnya dia menampilkan wajah semeringah bahagia.Hari ini adalah hari di mana dirinya menghadiri pesta pernikahan dari bos besarnya. Amber yang merupakan karyawan dari Mouren Inc, mendapatkan undangan dari bos besarnya pemilik Mouren Inc, bertunangan dengan pemilik Kingston Corporation.“Jessie, aku rasa aku tidak bisa pergi,” kata Amber dengan cemas seraya menatap sahabatnya itu.“Amber, ini kesempatan bagus untukmu bersosialisasi di perusahaan baru. Biarkan si kembar aku yang jaga,” ucap Jessie sambil menyentuh tangan Amber. Amber menggigit bibirnya, merasa bersalah karena harus merepotkan Jessie lagi. “Tapi aku tidak ingin merepotkanmu terus menerus, Jessie.”Jessie menarik napas panjang. “Tenang saja, Amber. Aku bisa menjaga si kembar. Kau tahu sen
Tubuh Julian membeku melihat sosok wanita cantik berambut pirang yang selama ini dia cari. Aura wajahnya memancarkan jelas keterkejutan nyata. Berkali-kali dia meyakinkan apa yang dia lihat ini salah, tapi apa yang dia lihat ini benar. Tidak salah sama sekali.‘Wanita itu?’ batin Julian dengan wajah penuh terkejut. Detik itu juga, dia berjalan pergi meninggalkan Clara yang sibuk menyapa tamu undangan. Yang dilakukannya adalah menemui sang asisten.“Mark!” panggil Julian cepat.“Iya, Tuan?” jawab Mark seraya menatap Julian.“Mark, lihat wanita itu. Dia—” Julian menunjuk wanita yang dia maksud, tapi sayangnya wanita itu sudah langsung pergi begitu saja.“Kenapa, Tuan?” Kening Mark mengerut dalam, menatap bingung Julian. “Shit! Dia pergi!” Julian mengumpat kesal, dan berlari mencoba mengejar wanita yang selama ini dia cari, tapi sialnya wanita itu bagaikan angin yang begitu cepat pergi.Mark menyusul Julian. “Tuan, ada apa?”Julian terus meloloskan umpatan kesal. “Mark, wanita itu suda
Amber dan Jessie membaringkan tubuh si kembar ke ranjang. Beruntung Victor dan Violet sudah tertidur pulas. Bocah kembar itu tak lagi ingin makan burger. Mereka sepertinya kelelahan karena hari ini terlalu banyak berlari ke sana kemari. Hal tersebut yang membuat Jessie sempat kewalahan dalam menjaga si kembar, di kala Amber berada di pesta.Amber dan Jessie keluar kamar, tak ingin mengganggu si kembar yang sudah tertidur pulas. Tepat di kala mereka sudah keluar, Jessie langsung menarik tangan Amber—membawa teman baiknya itu duduk di sofa.“Amber, kau berhutang penjelasan padaku. Apa yang terjadi tadi?” tanya Jessie dengan nada penasaran. “Kenapa kau terlihat begitu gelisah? Apakah semuanya baik-baik saja? Benarkah kau melihat ayah si kembar?”“Satu-satu, Jessie.” Amber menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan dirinya sebelum mengungkapkan apa yang sebenarnya terjadi. “Iya, tadi di pesta ... aku bertemu dengan ayah si kembar.”Jessie menatap Amber dengan tatapan terkejut. “Ayah s
Di sebuah restoran mewah bintang lima di tengah kota, Julian dan Clara duduk bersama Gracey—ibu Julian—untuk makan siang bersama. Suasana restoran tenang dan elegan, dengan pemandangan kota yang terhampar di luar jendela tinggi. Mereka di kelilingi oleh aura kemewahan yang memancar dari setiap sudut ruangan.Gracey tersenyum lembut sambil menatap anak dan calon menantunya bergantian. “Jadi, bagaimana kabar kalian berdua? Bagaimana persiapan pernikahan? Semua baik-baik saja, kan?”Clara dengan senyuman manisnya menjawab, “Kami sangat bahagia, Bibi. Persiapan pernikahan berjalan lancar, dan kami berdua sangat menantikan hari spesial itu.”Julian bergeser di kursinya, menatap ibunya dengan penuh perhatian. Tampak dia malas mendengar pertanyaan ibunya yang membahas pernikahan, tapi dia tidak memiliki pilihan lain, dia tak ingin melukai hati ibunya.“Bagaimana keadaanmu, Mom? Kau baik-baik saja, kan?” balas Julian hangat.Gracey tersenyum tipis. “Mommy baik-baik saja, Sayang. Hanya saja be
“Amber Hayes.” Suara Julian begitu tegas di kala tiba di depan cubicle Amber. Sontak wanita itu terkejut. Mata Amber memancarkan jelas keterkejutan dan ketakutan nyata di kala melihat Julian.“I-iya, Tuan Kingston?” jawab Amber gugup. Sialnya sekarang dia menjadi pusat perhatian banyak karyawan. Sebab, Julian adalah tunangan Clara. Sangat wajar jika dirinya menjadi pusat perhatian.“Ikutlah denganku. Ada hal penting yang ingin aku bicarakan padamu,” balas Julian dingin, dengan raut wajah menunjukkan ketegasannya.Amber menelan ludah, merasa tegang mendengar ucapan Julian. “H-hal apa yang ingin A-anda sampaikan, Tuan?”“Ikut saja. Aku sangat yakin kau tidak suka kita berbicara di sini,” jawab Julian dengan tatapan dingin pada Amber.Seluruh karyawan terus menatap Amber yang diajak bicara dengan Julian. Mereka menerka-nerka pembicaraan yang ingin Julian sampaikan pada Amber. Ada yang terlihat penasaran, tapi ada juga yang memaklumi mungkin memang ada kesalahan Amber. Tak terlalu banyak
Suasana di kantor Clara terasa tegang pagi ini. Semalaman dia tidak bisa tidur, dan seharian kemarin dia terus uring-uringan memikirkan kedekatan Julian dan Amber. Dia duduk di balik meja kerjanya, mata menatap layar MacBook-nya dengan intensitas yang mengkhawatirkan. Di lubuk hatinya, perasaan cemburu dan ketakutan terus menggerogoti.Clara merasa ada yang aneh. Percakapan Julian dan karyawannya yang bernama Amber Hayes terus terngiang di dalam benaknya. Seakan banyak jutaan tanda tanya dalam pikirannya itu.“Nona,” sapa sang sekretaris melangkah menghampiri Clara.Clara menatap sang sekretaris dengan tatapan dingin. Sebelumnya, dia memang memanggil sekretarisnya untuk datang. “Aku ingin kau panggilkan karyawan yang bernama Amber Hayes!”“Sekarang, Nona?” tanya sang sekretaris penuh hati-hati. Mata Clara mendelik tajam. “Kau masih tanya? Aku memanggilmu sekarang artinya kau panggil Amber sekarang, Bodoh!”Sang sekretaris menelan salivanya susah payah mendapatkan bentakan dari Clara