Share

Bab 5. Awal Mula yang Baru

Empat tahun berlalu …

Amber memandang ke luar jendela, melihat awan-awan yang bergulung-gulung di bawah. Cahaya matahari pagi menembus kaca pesawat, menerangi wajahnya yang lelah. Di sebelahnya, Violet, putri cantiknya, tertidur lelap, kepalanya bersandar di bahu Amber. Rambut pirang panjangnya terurai di atas kursi, wajahnya damai dan tanpa ekspresi.

Di kursi seberang, Victor, saudara kembar Violet, duduk dengan fokus, jari-jarinya yang kecil sibuk merakit mainan lego. Potongan-potongan berwarna cerah berserakan di atas meja lipat kecil di depannya. Sesekali, dia melirik ke arah Violet, memastikan adiknya masih tertidur.

Amber tersenyum melihat Victor. Dia selalu kagum dengan imajinasi dan ketekunan putranya. Putranya itu bisa menghabiskan waktu berjam-jam membangun berbagai macam struktur dari lego, mulai dari kastil megah hingga pesawat luar angkasa futuristik.

Suara mesin pesawat mendengung pelan, mengantarkan Amber ke dalam lamunan. Dia sebenarnya sedikit gugup memikirkan akan kembali ke California. Dulu dia pindah dari sana ke Dallas karena keputusannya untuk melahirkan anak kembarnya—membuat ibunda Jessie, yakni Margareth Swan mengasihaninya. Margareth mengajak Amber ikut dengannya ke kampung halaman, agar dia lebih mudah membantunya selama kehamilan hingga proses melahirkan. 

Bagi Amber, Margareth sudah seperti malaikat penolong. Ibu dari sahabatnya itu membantu mengurus anak kembarnya selama Amber melanjutkan kuliahnya lagi dan bekerja paruh waktu. Jika tak ada Margareth di hidupnya, mungkin Amber tak akan bisa sampai di titik ini. Titik di mana dia bisa mendapat pekerjaan bagus, mengisi posisi sebagai asisten kepala cabang di sebuah perusahaan.

Namun, pekerjaan ini juga yang memaksa Amber harus kembali ke Los Angeles, California dan menggali lagi kenangan pahit dalam hidupnya. Margareth sempat menawarkan pada Amber untuk meninggalkan saja si kembar di Dallas, agar jauh dari masa lalu Amber yang kelam. Akan tetapi ibu mana yang bisa berpisah dengan putra-putrinya yang baru berumur tiga tahun? Amber berharap semua baik-baik saja. Semoga dia bisa memberikan kehidupan yang lebih baik bagi anak-anaknya.

Pesawat terus melaju, membelah langit biru. Amber memejamkan matanya, merasakan kehangatan matahari di kulitnya. Dia tahu bahwa perjalanan ini akan penuh dengan tantangan, tetapi dia juga tahu bahwa dia tidak sendirian. Dia memiliki Victor-Violet di sisinya, dan dia memiliki harapan untuk masa depan.

Amber dan kedua anak kembarnya, Victor dan Violet, akhirnya mendarat di Bandar Udara Los Angeles, California. Kemeriahan bandara menyambut mereka dengan hiruk pikuk penumpang dan aroma makanan yang menggoda. Amber menarik kopernya dengan satu tangan, sementara tangan lainnya merangkul Victor dan Violet yang berjalan di sisinya. Namun, senyum di wajah Amber seketika pudar saat Violet mulai merengek.

“Lapar, Mommy!” keluh Violet, perutnya sudah mulai bunyi.

Amber menepuk-nepuk kepalanya dengan penuh kasih sayang, “Baiklah, Sayang. Kita beli makanan dulu, ya.”

Amber membawa anak-anaknya menuju deretan restoran yang ada di bandara. Sistem self-service yang digunakan, Amber memutuskan mencari tempat duduk terlebih dahulu sebelum memesan makanan. Wanita berparas cantik itu menemukan meja kosong di dekat kasir, tempat dia bisa mengawasi anak-anaknya dengan mudah.

“Kalian jangan ke mana-mana. Tetap di sini, Mommy akan segera kembali membawa pasta carbonara kesukaan Violet dan pasta saus tomat kesukaan Victor. Apakah kalian mau susu juga?” tawar Amber penuh kelembutan.

Victor menggeleng, sementara Violet mengangguk. Setelah membuat kesepakatan dengan si kembar, Amber bergegas ke kasir untuk memesan makan siang. Dia memesan pasta untuk anak-anak dengan dan jus jeruk, serta sandwich ham dan salad untuk dirinya.

Namun, tiba-tiba saat Amber kembali ke meja, jantungnya nyaris berhenti berdetak di kala melihat kursi yang ditempati Victor dan Violet kosong. Kegelisahan merayap di benaknya.

“Victor! Violet!” panggil Amber dengan panik, suaranya bergema di antara keramaian bandara.

Amber mencari ke sekeliling, matanya mematahkan setiap sudut ruangan. Ketakutan mulai menguasainya. Bagaimana bisa anak-anaknya tiba-tiba menghilang dalam sekejap mata?

Amber berlari ke meja informasi, memohon bantuan kepada petugas bandara. Dia memberikan deskripsi Victor dan Violet, foto mereka, dan nomor teleponnya. Petugas bandara segera mengumumkan hilangnya anak-anak Amber melalui pengeras suara.

Air mata Amber mengalir tanpa henti, membasahi pipinya. Dia tidak bisa membayangkan apa yang terjadi pada anak-anaknya. Di tengah kepanikannya, dia teringat pelajaran tentang kesabaran dan keteguhan yang selalu dia ajarkan kepada anak-anaknya. Dia menarik napas dalam-dalam, berusaha menenangkan diri.

Sementara itu di tempat lain, di tengah hiruk pikuk kafe elit yang masih berada di area bandara, duduklah Julian, seorang pengusaha sukses yang disegani. Ketampanannya yang dibalut setelan jas mahal tak mampu menyembunyikan aura arogan dan dingin yang menyelimuti dirinya.

Tatapan mata pria tampan itu tajam bagaikan pisau, siap menusuk siapapun yang berani menentangnya. Julian berada di bandara siang ini karena sedang menunggu kedatangan calon tunangannya. Wanita manja itu harus dibereskan dengan cara yang benar, agar pernikahan bisnis yang Julian rancang tidak berantakan.

Ponsel di genggamannya berdering nyaring, menandakan panggilan penting. Pembicaraan bisnis senilai puluhan juta dollar berlangsung alot, penuh dengan perdebatan dan strategi licik. Julian tampak tak terpengaruh oleh situasi panas di sekelilingnya, suaranya tetap tenang dan penuh kendali. 

Namun, ketenangannya seketika buyar saat dua anak kecil berlarian di dekatnya. Tanpa sengaja, mereka menabrak kaki Julian, membuat Violet terjatuh dan dokumen-dokumen pentingnya berserakan di lantai. Tangisan pilu Violet pecah, Victor mulai gaduh menenangkan adiknya. Hal itu membuyarkan fokus Julian dalam negosiasi bisnis.

Wajah Julian memerah padam, amarah membakar matanya. Dia memanggil asisten pribadinya, dengan suara penuh ketegasan. “Mark, singkirkan bocah-bocah nakal ini! Beraninya mereka mengganggu kesepakatan pentingku!"

“M-maafkan kami, Paman!” Violet meskipun gemetar maju dan membungkuk di depan Julian. “Kami … kami bersalah.”

Victor menambahkan dengan raut wajah ketakutan. “I-iya, maafkan kami.”

Julian menarik napas, berusaha untuk bersabar. Bagaimanapun yang dia hadapi adalah anak kecil. Dia menunduk melihat kedua bocah yang ketakutan itu. “Baiklah, maafkan aku juga. Di mana ibu kalian?”

Mereka tidak menjawab, dan Mark langsung mengambil alih. “Kalian lebih baik bermain di tempat lain, ya?”

Mark bergegas menenangkan Victor dan Violet yang ketakutan, berusaha menggendong mereka pergi menjauh dari sang bos, tapi keduanya menolak dan langsung berlari menjauh. Di tengah kekacauan itu, Julian kembali fokus pada negosiasi bisnisnya, seolah-olah kejadian tadi tak pernah terjadi. Namun, sekilas Julian merasa familiar dengan kedua bocah itu. 

‘Rambut pirang dan mata biru bocah itu,’ Julian membatin aneh.

[Tuan Kingston, apa kau mendengarku?]

Suara panggilan di telepon memintanya untuk kembali fokus. Julian menggelengkan kepalanya sejenak sebelum akhirnya tenggelam pada berbagai kesepakatan yang sejak tadi dia ributkan di telepon. Setelah selesai, Julian seperti orang kebingungan. Pria itu mencari dua bocah yang sempat membuatnya merasa dejavu.

“Apa yang Anda cari, Tuan?” Mark ikut kebingungan mencari tahu apa yang menarik perhatian bosnya barusan. 

“Kedua bocah itu—”

Mark mengerjap bingung.

“Kedua bocah itu, Mark. Di mana mereka?” Julian memicing tajam pada Mark.

“Eh? Anak-anak tadi? Mereka sudah pergi, ada apa?” Mark masih tidak mengerti apa yang dicari dan diinginkan oleh Julian. “Apa Anda tiba-tiba saja ingin bermain dengan mereka, Tuan?”

Julian mendengus kasar. “Singkirkan kekonyolanmu, Mark! Ayo bergegas!”

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status