Share

Bab 7. Hanya Demi Keuntungan Bisnis

Mouren Inc selalu sibuk. Sama seperti Amber yang sedang berusaha menyesuaikan diri dengan kesibukan Mouren Inc di meja kerjanya. Ini adalah hari pertama Amber di kantor. Jadi, dia berusaha menyelesaikan tugas-tugasnya dengan tekun. Namun, keheningan kantor seiring berjalannya waktu mulai membuatnya merasa tidak nyaman.

Jam sudah menunjukkan pukul lima sore, dan Amber pikir, dia bisa segera pulang untuk menjemput Victor dan Viiolet di daycare. Akan tetapi, Tuan Parker, atasan Amber, tiba-tiba saja datang dan duduk di meja dekatnya dengan senyum genit.

“Amber, bisakah kau menyelesaikan laporan ini sebelum pulang?” tanya Alan Parker, atas Amber, dengan senyuman di wajahnya, dan tatapan yang tak lepas menatap wanita itu.

“Tuan Parker, tapi—”

“Laporan ini akan digunakan untuk meeting besok pagi. Kau tahu kan, Nona Mouren, putri pemilik perusahaan yang baru kembali ke sini, akan memeriksanya pukul enam pagi,” ujar Alan sambil tersenyum, dan tampak menjijikan di mata Amber.

Amber menghela napas dalam. Dia ingin menjemput anaknya, tapi tentu tidak punya pilihan, jadi dia mengangguk singkat, “Baik, Tuan Parker. Saya akan segera menyelesaikan laporan yang Anda minta.”

Alan Parker terus melukiskan senyuman di wajahnya, lalu dia melangkah meninggalkan Amber. Tampak Amber berkali-kali melihat ke arah jam dinding. Sudah hampir setengah enam sore. Ponselnya terus bergetar. Panggilan dari petugas daycare tempatnya menitipkan si kembar sudah sejak tadi berdering.

‘Bagaimana ini? Violet dan Victor belum di jemput, dan aku terjebak di sini. Awas saja kalau mereka tidak membayar uang lemburku dengan benar!’ batin Amber sambil menghela napas panjang.

Amber menatap layar ponselnya dengan ekspresi cemas. Tanpa memiliki pilihan apa pun, dia menggeser tombol hijau, untuk menjawab panggilan telepon tersebut.

“Hallo?” sapa Amber pelan kala panggilan terhubung.

“Selamat sore, Nyonya Hayes. Maaf saya ingin memberi tahu, kalau sekarang sudah melewati jam operasional. Tolong segera jemput putra-putri Anda karena kami akan segera tutup,” ucap petugas daycare.

Amber memejamkan mata singkat, dan menghela napas dalam. “Iya, maafkan aku. Aku terjebak oleh lemburan di kantor, tapi aku akan segera mengirim seseorang untuk datang dan menjemput mereka.”

“Baik, kami menunggu,” jawab petugas daycare sopan.

Setelah menutup panggilan, Amber segera menghubungi Jessie, sahabatnya yang sudah sangat baik hati, sampai bersedia menampung dirinya, Victor dan Violet. Bahkan Jessie juga bilang tak keberatan menjaga si kembar sebentar sementara Amber bekerja. Meskipun merasa tidak enak, tapi saat ini Amber tidak punya pilihan lain selain Jessie.

“Hallo, Amber?” sapa Jessie lebih dulu dari seberang sana.

“Jessie, apa kau sibuk?” tanya Amber dengan nada yang merasa tak enak.

“Tidak, Amber. Aku tidak sibuk. Ada apa?”

“Jessie, maaf mengganggu. Bisakah kau menjemput Victor dan Violet di daycare? Aku terjebak di kantor harus membuat laporan. Atasanku memintaku untuk lembur, sedangkan daycare akan segera tutup. Bisakah kau menjemput Victor dan Violet?” pinta Amber, suaranya penuh kegelisahan.

Jessie tersenyum dari balik ponselnya. “Tentu saja, Amber. Jangan khawatir. Aku akan segera menjemput si kembar.”

Thank you, Jessie.”  

“Tidak perlu berterima kasih. Aku sudah menganggap Victor dan Violet seperti anakku sendiri.”  

Amber merasa lega mendengar jawaban Jessie. Dia tahu dia bisa mengandalkan sahabatnya itu. Namun, kekhawatirannya terhadap Victor dan Violet membuatnya tidak bisa diam. Hanya saja dia tak punya pilihan. Amber harus menyelesaikan tugas yang diberikan atasannya sebelum dirinya pulang.

Jam terus berjalan, sekarang pukul delapan dan kantor mulai sepi. Amber fokus menyelesaikan tugasnya, tetapi tiba-tiba dia merasa ada yang mengawasinya. Dia menoleh dan melihat Alan Parker mengamatinya dengan tatapan mengganggu.

“Tuan Parker, apakah ada yang bisa saya bantu?” tanya Amber, mencoba tetap professional.

Alan Parker tersenyum genit. “Oh, Amber. Kau tahu, kau terlihat sangat menarik hari ini. Apa kau mau minum wine bersama denganku setelah ini?”

Amber mencoba tersenyum sopan. “Maaf, Tuan Parker. Saya harus menyelesaikan pekerjaan ini dan segera pulang.”

“Jangan terlalu formal padaku, Amber,” sahut Alan Parker tidak mengerti batasan. Dia mendekati Amber dengan sikap yang semakin mengganggu. “Ayo, kita bisa meluangkan waktu bersama. Kau pasti menyukainya nanti.”

Amber merasa tidak nyaman dan langsung memotong ucapannya, “Tuan Parker, saya ingin fokus pada pekerjaan saya. Mohon untuk tidak mengganggu saya.”

Alan semakin mendekat, kembali mencoba menggoda, “Kau terlalu tegang, Amber. Biarkan aku membantu merilekskan tubuhmu.”

Amber mencoba menghindar, tetapi Alan terus mendekatinya. Dia merasa terjebak dan tidak tahu harus berbuat apa. “Tuan Parker, tolong jangan melakukan ini,” ucapnya dengan nada sedikit gemetar.

Alan seolah tak mengindahkan permintaan Amber. “Kau bisa menikmatinya, Amber. Jangan terlalu kaku.”

Amber merasa semakin terjepit. Dia tidak tahu harus berbuat apa. Akan tetapi tiba-tiba, suara pintu kantor terbuka dan salah satu rekan kerjanya muncul. Dia adalah wanita berambut coklat yang memperkenalkan dirinya sebagai Charlotte tadi pagi.

“Maaf mengganggu, Amber. Tuan Parker, aku juga sedang lembur dan ingin membeli makan malam, apa kalian mau burger dan cola di resto depan?" tanya Charlotte ramah dengan senyum.

Alan langsung berbalik dan menyadari situasinya. “Ohh, tentu saja, Charlotte. Apa kau bisa pesankan dua burger keju dan cola?”

“Tentu, ayo temani aku, Amber!” ajak Charlotte.

Amber merasa lega ketika rekan kerjanya masuk, dan Alan pergi dengan cepat. Dia mengambil napas dalam-dalam dan berusaha mengatasi rasa gemetarnya.

Sementara itu di Kingston Corporation, dengan langkah gemulai, Clara memasuki ruang kerja Julian, senyum manis terukir di bibirnya. Dia melihat Julian yang sibuk di meja kerjanya, menghadapi tumpukan dokumen dan laptop yang menyala terang.

“Sayang, aku datang menemuimu," ucap Clara dengan suara lembut, mencoba menarik perhatian Julian.

Julian mengangkat kepala, matanya bertemu dengan sosok Clara yang memesona di depannya. Dia menarik napas dalam-dalam, merasakan sedikit gangguan karena kedatangan Clara di tengah kesibukannya.

“Kenapa kau ke sini?” tanya Julian dingin.

Clara mendekati meja Julian dengan langkah anggunnya, merapatkan diri pada Julian yang duduk tegak di kursi. Dia memperlihatkan senyumnya yang manis, mencoba mencairkan gunung es dari Julian Kingston.

“Aku hanya ingin melihatmu, Julian. Aku merindukanmu,” ucap Clara dengan suara lembut, matanya memancarkan kilau keinginan.

Julian merasa sedikit terganggu dengan kedekatan Clara. Dia tidak terbiasa dengan ekspresi perhatian dan kasih sayang yang terlalu manis dari Clara. Namun, dia tidak menolak kehadirannya, karena bagaimanapun dia membutuhkan Clara untuk bisnisnya.

“Aku sedang sibuk dengan pekerjaanku,” jawab Julian singkat, mencoba memfokuskan perhatiannya kembali pada dokumen di depannya. “Jika hal yang penting, segera pulanglah.”

Clara menatap Julian dengan tatapan penuh harap. Dia mencintai Julian lebih dari apa pun, meskipun Julian seringkali bersikap dingin dan acuh padanya. Baginya, Julian adalah segalanya, dan dia bersedia melakukan apa pun untuk menjaga hubungan itu.

“Kita akan bertunangan besok, dan seperti ini saja responmu?” Clara merajuk, dengan nada manja, “Julian, aku sudah bilang pada Dad tentang proyek yang kau minta, jadi kenapa kau masih begini?”

Julian mengangkat sebelah alisnya, dia membawa wanita itu duduk di pangkuannya. “Jadi, apa yang dikatakan ayahmu?”

Clara langsung bahagaia dengan perhatian kecil itu. “Dad akan menyetujuinya.”

“Good. Kau memang bisa aku andalkan,” ucap Julian dengan seringai di wajahnya.

Clara mengalungkan tangannya ke leher Julian. “Apa pun, asal kau tidak meninggalkanku, maka aku akan melakukan permintaanmu.”

Dalam benak Julian, dia berpikir bahwa ini memang yang terbaik. Clara adalah wanita cantik dan sepadan dengannya, dan menjalin hubungan dengan Clara akan membuat hidupnya lebih mudah. Meskipun tidak ada api yang berkobar di dalam dirinya untuk Clara, tapi Julian menganggap ini sebagai kesempatan yang baik untuk memperkuat posisinya di dunia bisnis. Lagi pula, sejak dulu Julian Kingston tak pernah mengenal kata cinta.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status