Share

Bab 6. Rasa Gelisah Dalam Diri Amber

“Silakan lewat sini, Nona,” pandu Mark, mengantarkan Clara ke kursi Julian.

Kaki Clara menginjakkan diri ke lantai marmer kafe elit yang terkenal di bandara Los Angeles. Cahaya remang lampu kristal berpadu dengan alunan musik jazz lembut menciptakan atmosfer romantis yang kontras dengan badai emosi di dalam diri Clara. Di sudut ruangan, duduk sosok pria tampan yang selama ini Clara puja—Julian Kingston—pengusaha muda sukses yang dikagumi banyak orang. Ketampanan Julian yang memikat dibalut setelan jas mahal tak mampu menyembunyikan aura arogan dan dingin yang menyelimuti dirinya.

Clara melangkah dengan anggun, setiap langkahnya diiringi rasa penasaran. Ada angin apa Julian tiba-tiba berinisiatif menjemputnya? Selama ini, Julian selalu mengacuhkan Clara, bahkan ketika Clara mengejar-ngejar pria itu. Padahal perjodohan antara dua keluarga sudah ditentukan, tapi Julian seolah tak peduli dengan hal itu dan tetap mengabaikan Clara.

“Lama sekali,” ucap Julian dengan nada datar, tanpa senyum.

Clara tersenyum anggun, sambil duduk di hadapan Julian. “Senang sekali merasa dibutuhkan olehmu. Ada apa kau mencariku, Tuan Kingston.”

“Aku tidak suka basa-basi. Tujuanku meminta asistenku menjemputmu, karena aku ingin membicarakan sesuatu yang penting denganmu. Tentu saja, aku harus meluangkan waktu,” jawab Julian dingin, dengan raut wajah datar.

Apa yang ingin dibicarakan Julian? Apakah dia akhirnya akan mengakui perasaannya padaku?’ batin Clara, dengan jantung berdebar lebih kencang dari biasanya.

“Katakan, apa yang ingin kau bicarakan padaku?” tanya Clara penasaran.

“Seperti yang kau tahu, aku sedang mengerjakan mega proyek kota digital,” ungkap Julian, suaranya tegas dan penuh tekad. “Untuk mewujudkannya, aku membutuhkan dukungan dari Mouren Inc.”

Clara mengerutkan dahi. “Apa maksudmu? Jangan bilang kau ingin menikahiku hanya untuk mendapatkan dukungan dari Mouren Inc?”

Julian menatap Clara dengan tatapan dingin. “Tepat sekali. Aku ingin menikahimu karena itu, Clara.”

Clara ternganga terkejut mendengar apa yang dikatakan oleh Julian. Hatinya hancur berkeping-keping, merasakan sangat sakit dan terluka. Jadi selama ini, Julian hanya ingin memanfaatkannya? Namun kenapa pria itu harus terang-terangan seperti ini? Apa pria itu sama sekali tidak memikirkan perasaannya?

“Kau tidak mencintaiku, Julian!” teriak Clara dramatis, air mata mulai mengalir di pipinya. “Harusnya kau tetap diam. Berpura-pura saja kau mencintaiku, itu lebih baik daripada berterus terang dan menghancurkan mimpi indahku!”

“Bangunlah, Clara.” Julian tetap tenang, tatapannya tidak menunjukkan rasa bersalah. “Cinta adalah kemewahan yang tidak bisa kita beli. Aku membutuhkan Mouren Inc, dan kau adalah kuncinya.”

Clara terdiam, hatinya diliputi rasa sakit dan dilema. Di satu sisi, dia terluka karena dimanfaatkan. Di sisi lain, dia sangat mencintai Julian. Sejal awal, dia begitu menginginkan Julian.

“Aku tidak mau,” tolak Clara dengan suara serak, menahan sesak.

Julian mengangguk, melipat tangan di depan dada sambil berkata santai, “Well, kalau begitu akan kucari wanita lain yang bisa kunikahi untuk mendukung bisnisku.”

“Kau berengsek, Julian,” kata Clara, suaranya bergetar. 

“Pilihan ada di tanganmu.” Julian tersenyum miring. “Jadi, mau atau tidak?”

Clara terdiam dengan air mata yang masih berlinang jatuh membasahi pipinya. Hatinya merasakan sakit luar biasa. Impian yang dia bangun telah dihancurkan oleh Julian. Dia tidak mengira Julian akan tega padanya.

Perusahaan Julian bukan Perusahaan kecil. Pun Julian selama ini terkenal begitu fokus membesarkan perusahaannya. Project yang sekarang Julian tangani bukan project kecil, dan selain itu perusahaannya juga bisa mendapatkan nama lebih baik karena telah memberikan dukungan di perusahaan Julian.

Clara menyeka air matanya sambil berkata, menahan sesak di dada, “Baiklah. Aku setuju. Kau bisa memanfaatkan aku sepuasmu, asalkan jangan pernah  dekat dengan wanita lain!”  

Good girl.” Julian sedikit menyeringai, lalu menyesap kopinya. “Kalau begitu, mari bahas soal pertunangan.”

“Haruskah secepat ini? Aku bahkan belum bertemu orang tuaku setelah aku kembali dari Texas.” Clara melebarkan mata, ekspresi bingungnya.

“Justru itu, aku akan memberikan daftar hal-hal yang harus kau bicarakan pada ayahmu. Pertunangan kita dilaksanakan lusa, tidak banyak waktu tersisa. Gunakan otak kecilmu untuk menghafal semua dengan baik, Clara,” jawab Julian tenang, tanpa sama sekali beban.

“Kau—” Protes Clara dengan cepat dipotong oleh Julian.

“Mark akan membantumu.” Pria tampan itu pergi setelah menyelesaikan kalimat terakhirnya. Menyisakan Clara dengan rahang yang nyaris jatuh ke lantai, dan Mark yang harus menyiapkan mental untuk menghadapi Clara.

***

Sebelum menemukan Victor dan Violet di area playground bandara, Amber sempat melihat dengan panik sosok pria yang tak asing di matanya duduk sambil menelepon seseorang dan memegang dokumen di sebuah kafe dengan dinding kaca. Masih jelas di ingatannya Amber, tentang kegilaannya salah masuk kamar, hingga mengakibatkan dirinya one night stand dengan pria asing yang sama sekali tak dia kenali.  

Amber merasa lega karena dia bisa menghindar dari pria itu. Jantungnya nyaris berhenti berdetak di kala melihatnya. Pun beruntung dia berhasil menemukan anak kembarnya. Jika tidak, dia pasti akan seperti orang gila.

Jessie mendekati Amber sambil membawakan potongan apel yang telah dia kupas, dan dua cangkir teh. “Si kembar sudah tidur, mereka mungkin kelelahan.”

Amber terpaku pada wajah mungil Victor dan Violet, anak kembarnya yang tertidur lelap di atas kasur. Kelelahan perjalanan panjang dari Dallas ke Los Angeles. Hari ini, mereka baru saja tiba di apartemen Jessie, sahabat Amber yang akan menampung mereka selama berada di Los Angeles.

Jessie duduk di kursi dekat jendela, mengamati kembar yang tertidur dengan damai. “Violet cantik sekali, Amber, dan Victor juga sangat tampan. Anehnya, mereka sama sekali tidak mirip denganmu. Apakah mereka mirip ayahnya?" tanya Jessie, suaranya berbisik agar tidak mengganggu tidur si kembar.

“Kurasa juga begitu,” jawab Amber datar. Dia tidak akan menyangkal gen ayah biologis anak kembarnya mendominasi wajah anak-anaknya, meskipun begitu sulit untuk Amber menerima bahwa Tuhan tetap saja tidak adil padanya. Mengapa dia yang bersusah payah hamil dan melahirkan, tapi justru pria itu yang mendapatkan lebih banyak kemiripan dengan Victor dan Violet?

“Wow, sepertinya dia pria yang luar biasa.” Jessie jadi menerka-nerka, seperti apa wajah pria yang menitipkan spermanya pada Amber, hingga gen terbaik bisa didapatkan Victor dan Violet.

Amber memasang muka jengkel. “Jadi, apakah aku bukan wanita yang luar biasa, Nona Swan?”

Jessie terkekeh. “Kau ibu yang luar biasa. Tentu saja.”

Amber tersenyum, tapi matanya tiba-tiba berkaca-kaca. “Terima kasih, Jessie. Aku tidak tahu apa yang akan kulakukan tanpa kau dan ibumu.”

Jessie meraih tangan Amber dan menggenggamnya erat. “Aku selalu di sini untukmu, Amber. Kau dan si kembar adalah keluargaku juga. Maafkan aku dulu sempat memintamu menggugurkan mereka. Pilihanmu sangat hebat. Kau lebih memilih mempertahankan Victor dan Violet.”

Amber hanya tersenyum merespon ucapan Jessie.

“Amber,” panggil Jessie lembut.

“Ya?” Amber menatap Jessie.

“Kenapa kau tidak mau mencari ayah si kembar?” tanya Jessie pelan.

Amber terdiam, ekspresinya berubah menjadi dingin. “Aku mampu membesarkan Victor dan Violet sendiri. Aku tidak butuh bantuannya.”

Jessie menghela napas. Dia tahu Amber masih terluka oleh masa lalunya. “Aku mengerti, tapi, Victor dan Violet berhak mengetahui siapa ayah kandung mereka. Mungkin sekarang mereka belum mengerti, tapi kelak mereka akan mengerti, dan mempertanyakan ayah mereka.”

Amber menggelengkan kepalanya tegas. “Jessie, aku takut ayah dari anak-anakku malah mengambil asuh mereka. Aku ingin membesarkan sendiri Victor dan Violet. Kau tidak usah khawatir. Aku akan selalu memberikan kasih sayang yang besar untuk kedua anakku. Mereka tidak akan kekurangan kasih sayang.”

Jessie tidak bisa memaksakan Amber. Dia tahu Amber adalah wanita yang kuat dan mandiri. Dia yakin Amber akan mengambil keputusan terbaik untuk dirinya dan si kembar. “Baiklah. Aku mendukung semua keputusanmu, Amber. Tapi, jika kau berubah pikiran, aku selalu siap membantumu.”

Amber tersenyum merespon ucapan Jessie. Dia bersyukur memiliki sahabat yang selalu mendukungnya dalam kondisi apa pun. Bahkan di titik terendahnya Jessie dan keluarga mau membantunya.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status