“A-apa?” Lidah Amber tiba-tiba saja kelu mendengar apa saran dari Jessie. Saran yang hampir sama dia dengar tadi dari Merry. Tangan Amber sampai bergetar di kala menerima pil penggugur kandungan yang diberikan Jessie.
“Amber, jika kau hamil seperti Merry, kau akan dipecat. Kau tahu betapa sulitnya mencari pekerjaan saat ini, kan?” Jessie menatap Amber dengan tegas. “Telan pil ini dan besok pagi kau akan jadi Amber yang baru.”
Amber memandang pil yang dipegangnya dengan mata penuh kemarahan. Pikirannya berkecamuk antara amarah yang membara dan rasa putus asa yang menghimpit dadanya. Jessie, rekan kerjanya yang seharusnya memberikan dukungan, malah memberinya ultimatum yang menyiksa.
“Kau gila, Jessie!” Amber memekik tertahan, suaranya penuh dengan ketidakpercayaan. “Anak ini … adalah darah dagingku.”
“Amber, aku tahu ini sulit, tapi kau harus menghadapi kenyataan. Jika kau tidak bertindak secara bijak, konsekuensinya akan lebih berat. Kau bisa kehilangan semuanya. Kuliah, pekerjaan, masa depanmu. Kau mau itu sampai terjadi?” Jessie memaparkan segala fakta yang kemungkinan terjadi.
“Tapi—”
“Come on, Amber. Kau siap menghadapi semua ini? Bayi itu akan merenggut seluruh hidupmu, dan kau tidak akan punya waktu untuk mencapai cita-citamu.” Jessie bersedekap menatap jengkel teman baiknya itu. “Buatlah pilihan. Sebagai temanmu, aku hanya bisa mendukungmu dengan cara ini. Kau tahu, ketika bayi itu lahir, dan kau tidak bisa bertanggung jawab atasnya, maka kau akan jadi ibu yang kejam bagi anakmu. Lebih baik jika mereka tidak lahir ke dunia.” Lanjutnya lagi menegaskan.
Air mata Amber menetes jatuh membasahi pipinya. Tangisnya dipenuhi dengan rasa putus asa dan kebingungan. Semua yang dia rencanakan dan impikan sekarang terancam sirna karena kehamilannya yang tak terduga.
“Maksudmu aku harus ... menggugurkannya?” ucap Amber dengan suara tercekat.
Jessie menyodorkan pil itu lagi pada Amber. “Ambil ini, Amber. Tekadkan hatimu. Kau bisa melewati ini. Aku akan ada di sini untukmu.”
Amber menatap Jessie dengan mata berkaca-kaca. Dia merasa terjepit di antara pilihan yang sulit. Di satu sisi, dia ingin mempertahankan impian dan rencananya. Namun, di sisi lain, dia merasa tidak siap untuk menghadapi konsekuensi membesarkan anak sendirian.
Dalam keadaan hati yang hancur, Amber merasakan keputusasaan yang menyelimutinya, tetapi di dalam hatinya, terdapat api keberanian yang menggelora. Dia harus melakukan apa yang terbaik untuk dirinya sendiri dan juga untuk bayi yang belum lahir.
Amber menggenggam erat pil itu dengan gemetar. Dia menutup mata sejenak, mencoba menenangkan dirinya sendiri. Amber merasa seperti melangkah ke dalam jurang yang gelap, tetapi dia memilih untuk tetap maju, kendati langkahnya terasa berat.
“Aku tidak bisa melakukannya, Jessie,” bisik Amber, suaranya hampir tercekat oleh emosi.
“Kau bisa melakukannya, Amber. Aku yakin kau akan menemukan kekuatanmu,” jawab Jessie merasa sedikit bersalah.
Amber mengangguk, mencoba memperkuat hatinya.
“Lakukan ini demi masa depanmu,” tambah Jessie.
Amber tidak menjawab, mereka kembali bekerja seperti biasa. Dia menyimpan pil itu. Dan selama sisa shift-nya, Amber terus merenungkan saran dari Jessie. Dia memikirkan konsekuensi dari keputusan apa pun yang dia ambil.
Sepulangnya ke apartemen, Amber duduk di tepi tempat tidurnya dengan foto hasil tes kehamilannya di tangannya. Dia menatap gambar kecil itu, bertanya-tanya tentang apa yang sebaiknya dia lakukan.
“Apa yang harus aku lakukan?” bisik Amber pada dirinya sendiri. Pikirannya terus berputar, dan dia tak bisa tidur.
Amber menatap pil yang diberikan Jessie padanya. Dia menggenggamnya erat-erat, tapi masih sangat ragu. Keputusan besar harus diambilnya, dan dia tahu waktu terus berjalan. Amber merasa seperti dunia runtuh di atasnya.
Di dalam kamarnya yang redup, dia duduk di tepi tempat tidur dengan tatapan kosong, tangan gemetar memegang foto hasil tes kehamilannya. Semua keputusan yang harus diambil terasa begitu berat dan tak terlalu jelas.
Dalam keputusasaan yang melanda, Amber merasa amarah meluap-luap di dalam dirinya. Amarah pada ibu tirinya yang telah merusak hidupnya dengan ambisi dan keangkuhannya. Amarah pada pria yang merenggut kesuciannya dan membiarkannya terjerumus ke dalam masalah yang begitu besar.
Tiba-tiba, tanpa pikir panjang lagi, Amber bangkit dari tempat tidurnya dan berlari keluar dari apartemennya. Langkahnya cepat memecah hening malam. Dia berjalan tanpa arah, hanya ingin melepaskan amarah dan kebingungannya.
Di jalanan yang ramai, Amber merasakan emosi yang memenuhi dadanya. Rasa frustrasi, keputusasaan, dan kemarahan menciptakan dorongan yang tak terbendung. Amber berhenti di tengah jalan, menatap langit malam yang gelap.
Tiba-tiba, Amber melepaskan teriakan keras. Suaranya memenuhi ruang kosong, menggema di antara bangunan-bangunan tinggi. Orang-orang yang lewat menoleh ke arahnya, heran dengan pemandangan seorang wanita muda yang tampak putus asa.
Tatapan orang-orang di sekitarnya membuat Amber semakin marah. Dia merasa terkekang oleh pandangan mereka, tetapi pada saat yang sama, dia juga merasa lega bisa melepaskan semua yang ada di dalam hatinya.
Amber berjalan kembali ke apartemennya dengan langkah yang lambat. Dia masih merasa putus asa, tapi ada sedikit kelegaan di dalam hatinya. Kepalanya terasa berat, tapi dia tahu bahwa suatu saat nanti, dia harus menemukan jalan keluar dari keadaan yang rumit ini.
Dalam kegelapan kamar yang redup, Amber duduk di tepi ranjang dan menatap foto tes kehamilannya sekali lagi. Dia merenung dalam-dalam, mencari kekuatan dan keberanian untuk menghadapi masa depan yang penuh dengan ketidakpastian. Di dalam saku jaketnya, dia meraba pil yang diberikan Jessie padanya. Pil yang mengandung rencana untuk mengakhiri kehidupan yang baru saja ditemukan di dalam rahimnya.
Saat Amber duduk di apartemennya, dia menatap pil tersebut dengan tajam. Kepalanya penuh dengan suara-suara ragu dan perdebatan dalam diri. Dia tahu konsekuensi dari keputusannya, dan betapa sulitnya membawa calon anaknya yang tak bersalah. Namun, kenyataannya Amber tidak tega untuk mengakhiri kehidupan yang ada di dalam rahimnya.
Amber tak henti menatap foto hasil ultrasonografi yang baru saja dia terima dari dokter. Bayi kecil itu memberi kekuatan baru pada hatinya. Dia tahu bahwa semua ini adalah konsekuensi dari pilihannya, dan sekarang dia harus bertanggung jawab atas anak yang ada di dalam rahimnya.
Malam itu, Amber tidak bisa tidur. Pikirannya berputar dan mengulang momen di klinik tadi. Dia akhirnya sampai pada kesimpulan bahwa dia bertekad untuk membesarkan anaknya. Meskipun rintangan dan kesulitan akan ada di depannya, Amber siap untuk menghadapinya.
Pagi menjelang, Amber menyimpan pil itu kembali ke dalam botolnya. Dia menyadari bahwa keputusan ini akan mengubah seluruh hidupnya, tetapi dia siap untuk melangkah maju dengan penuh keyakinan. Amber memeluk dirinya sendiri dengan mantap, menutup mata sejenak untuk memberikan doa pada anak yang akan tumbuh di dalam rahimnya.
“Aku sudah memutuskan. Aku akan merawat dan membesarkan anakku dengan caraku.”
Empat tahun berlalu … Amber memandang ke luar jendela, melihat awan-awan yang bergulung-gulung di bawah. Cahaya matahari pagi menembus kaca pesawat, menerangi wajahnya yang lelah. Di sebelahnya, Violet, putri cantiknya, tertidur lelap, kepalanya bersandar di bahu Amber. Rambut pirang panjangnya terurai di atas kursi, wajahnya damai dan tanpa ekspresi.Di kursi seberang, Victor, saudara kembar Violet, duduk dengan fokus, jari-jarinya yang kecil sibuk merakit mainan lego. Potongan-potongan berwarna cerah berserakan di atas meja lipat kecil di depannya. Sesekali, dia melirik ke arah Violet, memastikan adiknya masih tertidur.Amber tersenyum melihat Victor. Dia selalu kagum dengan imajinasi dan ketekunan putranya. Putranya itu bisa menghabiskan waktu berjam-jam membangun berbagai macam struktur dari lego, mulai dari kastil megah hingga pesawat luar angkasa futuristik.Suara mesin pesawat mendengung pelan, mengantarkan Amber ke dalam lamunan. Dia sebenarnya sedikit gugup memikirkan akan ke
“Silakan lewat sini, Nona,” pandu Mark, mengantarkan Clara ke kursi Julian.Kaki Clara menginjakkan diri ke lantai marmer kafe elit yang terkenal di bandara Los Angeles. Cahaya remang lampu kristal berpadu dengan alunan musik jazz lembut menciptakan atmosfer romantis yang kontras dengan badai emosi di dalam diri Clara. Di sudut ruangan, duduk sosok pria tampan yang selama ini Clara puja—Julian Kingston—pengusaha muda sukses yang dikagumi banyak orang. Ketampanan Julian yang memikat dibalut setelan jas mahal tak mampu menyembunyikan aura arogan dan dingin yang menyelimuti dirinya.Clara melangkah dengan anggun, setiap langkahnya diiringi rasa penasaran. Ada angin apa Julian tiba-tiba berinisiatif menjemputnya? Selama ini, Julian selalu mengacuhkan Clara, bahkan ketika Clara mengejar-ngejar pria itu. Padahal perjodohan antara dua keluarga sudah ditentukan, tapi Julian seolah tak peduli dengan hal itu dan tetap mengabaikan Clara.“Lama sekali,” ucap Julian dengan nada datar, tanpa senyum
Mouren Inc selalu sibuk. Sama seperti Amber yang sedang berusaha menyesuaikan diri dengan kesibukan Mouren Inc di meja kerjanya. Ini adalah hari pertama Amber di kantor. Jadi, dia berusaha menyelesaikan tugas-tugasnya dengan tekun. Namun, keheningan kantor seiring berjalannya waktu mulai membuatnya merasa tidak nyaman.Jam sudah menunjukkan pukul lima sore, dan Amber pikir, dia bisa segera pulang untuk menjemput Victor dan Viiolet di daycare. Akan tetapi, Tuan Parker, atasan Amber, tiba-tiba saja datang dan duduk di meja dekatnya dengan senyum genit.“Amber, bisakah kau menyelesaikan laporan ini sebelum pulang?” tanya Alan Parker, atas Amber, dengan senyuman di wajahnya, dan tatapan yang tak lepas menatap wanita itu.“Tuan Parker, tapi—”“Laporan ini akan digunakan untuk meeting besok pagi. Kau tahu kan, Nona Mouren, putri pemilik perusahaan yang baru kembali ke sini, akan memeriksanya pukul enam pagi,” ujar Alan sambil tersenyum, dan tampak menjijikan di mata Amber.Amber menghela na
Amber duduk di depan meja rias di kamarnya, memandang dirinya sendiri di cermin dengan gaun malam yang elegan. Rambutnya dikepang indah, dan make up dipoles di wajah cantiknya. Entah kenapa di dalam hatinya merasa gelisah. Padahal seharusnya dia menampilkan wajah semeringah bahagia.Hari ini adalah hari di mana dirinya menghadiri pesta pernikahan dari bos besarnya. Amber yang merupakan karyawan dari Mouren Inc, mendapatkan undangan dari bos besarnya pemilik Mouren Inc, bertunangan dengan pemilik Kingston Corporation.“Jessie, aku rasa aku tidak bisa pergi,” kata Amber dengan cemas seraya menatap sahabatnya itu.“Amber, ini kesempatan bagus untukmu bersosialisasi di perusahaan baru. Biarkan si kembar aku yang jaga,” ucap Jessie sambil menyentuh tangan Amber. Amber menggigit bibirnya, merasa bersalah karena harus merepotkan Jessie lagi. “Tapi aku tidak ingin merepotkanmu terus menerus, Jessie.”Jessie menarik napas panjang. “Tenang saja, Amber. Aku bisa menjaga si kembar. Kau tahu sen
Tubuh Julian membeku melihat sosok wanita cantik berambut pirang yang selama ini dia cari. Aura wajahnya memancarkan jelas keterkejutan nyata. Berkali-kali dia meyakinkan apa yang dia lihat ini salah, tapi apa yang dia lihat ini benar. Tidak salah sama sekali.‘Wanita itu?’ batin Julian dengan wajah penuh terkejut. Detik itu juga, dia berjalan pergi meninggalkan Clara yang sibuk menyapa tamu undangan. Yang dilakukannya adalah menemui sang asisten.“Mark!” panggil Julian cepat.“Iya, Tuan?” jawab Mark seraya menatap Julian.“Mark, lihat wanita itu. Dia—” Julian menunjuk wanita yang dia maksud, tapi sayangnya wanita itu sudah langsung pergi begitu saja.“Kenapa, Tuan?” Kening Mark mengerut dalam, menatap bingung Julian. “Shit! Dia pergi!” Julian mengumpat kesal, dan berlari mencoba mengejar wanita yang selama ini dia cari, tapi sialnya wanita itu bagaikan angin yang begitu cepat pergi.Mark menyusul Julian. “Tuan, ada apa?”Julian terus meloloskan umpatan kesal. “Mark, wanita itu suda
Amber dan Jessie membaringkan tubuh si kembar ke ranjang. Beruntung Victor dan Violet sudah tertidur pulas. Bocah kembar itu tak lagi ingin makan burger. Mereka sepertinya kelelahan karena hari ini terlalu banyak berlari ke sana kemari. Hal tersebut yang membuat Jessie sempat kewalahan dalam menjaga si kembar, di kala Amber berada di pesta.Amber dan Jessie keluar kamar, tak ingin mengganggu si kembar yang sudah tertidur pulas. Tepat di kala mereka sudah keluar, Jessie langsung menarik tangan Amber—membawa teman baiknya itu duduk di sofa.“Amber, kau berhutang penjelasan padaku. Apa yang terjadi tadi?” tanya Jessie dengan nada penasaran. “Kenapa kau terlihat begitu gelisah? Apakah semuanya baik-baik saja? Benarkah kau melihat ayah si kembar?”“Satu-satu, Jessie.” Amber menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan dirinya sebelum mengungkapkan apa yang sebenarnya terjadi. “Iya, tadi di pesta ... aku bertemu dengan ayah si kembar.”Jessie menatap Amber dengan tatapan terkejut. “Ayah s
Di sebuah restoran mewah bintang lima di tengah kota, Julian dan Clara duduk bersama Gracey—ibu Julian—untuk makan siang bersama. Suasana restoran tenang dan elegan, dengan pemandangan kota yang terhampar di luar jendela tinggi. Mereka di kelilingi oleh aura kemewahan yang memancar dari setiap sudut ruangan.Gracey tersenyum lembut sambil menatap anak dan calon menantunya bergantian. “Jadi, bagaimana kabar kalian berdua? Bagaimana persiapan pernikahan? Semua baik-baik saja, kan?”Clara dengan senyuman manisnya menjawab, “Kami sangat bahagia, Bibi. Persiapan pernikahan berjalan lancar, dan kami berdua sangat menantikan hari spesial itu.”Julian bergeser di kursinya, menatap ibunya dengan penuh perhatian. Tampak dia malas mendengar pertanyaan ibunya yang membahas pernikahan, tapi dia tidak memiliki pilihan lain, dia tak ingin melukai hati ibunya.“Bagaimana keadaanmu, Mom? Kau baik-baik saja, kan?” balas Julian hangat.Gracey tersenyum tipis. “Mommy baik-baik saja, Sayang. Hanya saja be
“Amber Hayes.” Suara Julian begitu tegas di kala tiba di depan cubicle Amber. Sontak wanita itu terkejut. Mata Amber memancarkan jelas keterkejutan dan ketakutan nyata di kala melihat Julian.“I-iya, Tuan Kingston?” jawab Amber gugup. Sialnya sekarang dia menjadi pusat perhatian banyak karyawan. Sebab, Julian adalah tunangan Clara. Sangat wajar jika dirinya menjadi pusat perhatian.“Ikutlah denganku. Ada hal penting yang ingin aku bicarakan padamu,” balas Julian dingin, dengan raut wajah menunjukkan ketegasannya.Amber menelan ludah, merasa tegang mendengar ucapan Julian. “H-hal apa yang ingin A-anda sampaikan, Tuan?”“Ikut saja. Aku sangat yakin kau tidak suka kita berbicara di sini,” jawab Julian dengan tatapan dingin pada Amber.Seluruh karyawan terus menatap Amber yang diajak bicara dengan Julian. Mereka menerka-nerka pembicaraan yang ingin Julian sampaikan pada Amber. Ada yang terlihat penasaran, tapi ada juga yang memaklumi mungkin memang ada kesalahan Amber. Tak terlalu banyak