Terbangun oleh kilau keemasan matahari California yang menelusup melalui jendela kaca kamar hotel, Julian mengerjap sejenak. Ada tumpukan rasa sesal karena dia ikut tertidur semalam, dan baru bangun pagi ini. Padahal ada tubuh menggiurkan di sampingnya yang menanti untuk ditunggangi.
Tunggu! Ke mana perginya wanita itu?
Julian terkejut ketika meraba ke samping dan tidak menemukan siapa pun. Matanya langsung terbeliak, mencari keberadaan wanita yang tadi malam dia pesan. “Ke mana perginya wanita itu?”
Masih dengan tubuhnya telanjang, Julian menelusuri kamar presiden suit yang disewanya. Memeriksa kembali setiap sudut dengan seksama, termasuk kamar mandi, balkon, dan lemari. Julian mencari petunjuk apa pun yang mungkin ditinggalkan wanita itu—seperti catatan, jejak kaki, atau tanda lain. Namun, yang Julian dapat hanya gaun robek yang tergeletak di lantai, dan seuntai kalung batu ruby yang cantik.
Julian memijat pangkal alisnya untuk meredakan pening yang tiba-tiba menyerang. Dia merasa harus segera berpakaian, dan ketika akan memunguti pakaiannya, dia sadar ada yang hilang. Kemeja dan celananya tak ada.
Jika diingat-ingat, wanita itu hanya memakai gaun, jelas saja ketika gaunya robek, tak bisa dipakai, dia harus memungut sesuatu untuk dikenakan. Julian kesal, dia meninju ranjang dan menghempaskan selimut ke lantai. Namun, seketika rahangnya hampir jatuh ke bumi ketika mendapati noda darah di area tempat dia menggagahi wanita yang dia bayar semalam.
“Da-darah? Tidak mungkin, tidak mungkin dia masih perawan,” ucap Julian dengan raut wajah terkejutnya.
Dalam keadaan wajah yang terkejut, Julian mencari ponselnya, dia ingin menghubungi Megan untuk meminta penjelasan. Namun, belum sempat niat itu terlaksana, dia melihat ada satu pesan dari Megan muncul di layarnya.
Megan Brown: Tuan Kingston, mohon maaf, Kattie tidak bisa kukirim ke sana malam ini. Dia minta izin menemani kakaknya yang sedang melahirkan tanpa suami. Atas dasar kemanusiaan, aku tidak bisa mendesaknya untuk tetap bekerja. Uangmu telah aku kembalikan beserta kompensasi dari kami karena membatalkan pesanan secara tiba-tiba. Semoga hubungan baik kita tetap terjaga.
Julian terkejut, dia terduduk lemas di ranjang. “Jadi … siapa wanita itu?”
Di sisi lain, Amber dengan mengenakan kemeja dan celana kedodoran milik pria asing yang tak sama sekali dia kenali. Dia sekarang sedang menangis sambil menatap cermin di hadapannya. Tadi pagi, setelah mendapatkan kesadarannya—Amber baru ingat dia salah masuk kamar hotel semalam.
Amber mencoba mencari kartu pass kamar hotelnya sendiri, yang ternyata terjatuh di sekitar pintu kamar pria asing. Dia memutuskan segera pergi dari sana, dan bersembunyi di kamar hotelnya yang berjarak dua kamar saja dari kamar pria asing itu.
Tubuh Amber terasa sakit semua, tapi hatinya lebih remuk lagi. Dia menyesali kebodohannya yang memilih menghilangkan stress dengan cara minum minuman keras. Andai saja dia tidak mabuk, dia tidak akan kehilangan keperawananya dengan secara mengenaskan. Dia bahkan tidak bisa menuntut pria yang semalam membuka paksa kedua kakinya, karena bagaimana pun, semua ini salahnya.
Masih jelas di ingatan Amber, kemarin siang langit California begitu cerah di musim semi yang seakan tak sejalan dengan duka yang menyelimuti pemakaman elit mendiang ayahnya. Di bawah naungan pepohonan palem yang menjulang tinggi, kerabat dan kolega Adam Hayes berkumpul untuk memberikan penghormatan terakhir. Amber Hayes juga berdiri di tengah kerumunan, matanya berkaca-kaca dan pipinya basah oleh air mata. Dia masih tak percaya bahwa ayahnya telah pergi secepat ini, bahkan sebelum mereka sempat berdamai.
Satu tahun yang lalu, Amber menentang pernikahan Adam dengan Anette Celeste, ibu tirinya yang ambisius. Dia memilih meninggalkan rumah dan hidup sendiri di asrama kampus. Keputusannya itu memicu pertengkaran besar dengan Adam, dan mereka tak pernah berbicara lagi sejak saat itu.
Penyesalan mencengkeram hati Amber. Dia membayangkan bagaimana jika dia tetap di sisi ayahnya, mungkin dia bisa menemani sang ayah di saat-saat terakhirnya. Pikiran itu bagaikan pisau yang menusuk hatinya, membuatnya sesak napas dan sulit untuk berdiri tegak.
Upacara pemakaman berlangsung damai. Pastor menyampaikan pidato yang menyentuh tentang kehidupan Adam, mengenang kebaikan dan prestasinya. Kata-kata itu bagaikan melodi yang indah, tetapi tak mampu meredakan duka di hati Amber. Tiba saatnya untuk memberikan penghormatan terakhir, Amber melangkah maju dengan kaki gemetar. Dia menatap peti mati ayahnya, teringat semua kenangan indah bersama Adam. Air matanya mengalir deras membasahi gaun hitamnya yang anggun.
Pemakaman Adam Hayes telah usai, tapi duka Amber masih membara. Dia harus belajar untuk hidup dengan penyesalannya dan berusaha untuk memaafkan dirinya sendiri. Namun ternyata pukulan lain datang. Kematian Adam membuat seluruh kreditur menjadi agresif menagih utang ibu tiri Amber. Semua harta Adam disita dan sebagian dibekukan, sampai persidangan Anette membuktikan bahwa Adam tak ada sangkut paut dengan kasus penggelapan dana yang dilakukan istrinya.
Dunia cerah Amber seketika gelap, dia kehilangan tumpuan dan tunjangan finansial. Dia bingung harus seperti apa dan Harus ke mana. Kemarin, yang dia pikirkan hanyalah tinggal di hotel selama di California, sebelum kembali ke New York. Namun, dalam semalam takdir lagi-lagi mengirimkan pemainan mencengangkan pada Amber.
“Aku harus bagaimana sekarang? Apa yang harus aku lakukan?” isak Amber tak berdaya.
Usai berjam-jam menangis, meratapi kehidupannya yang runtuh seketika saat sang ayah, satu-satunya pilar dalam hidupnya, meninggal dunia. Di tengah rasa duka yang mendalam, dia harus bangkit dan menata ulang hidupnya yang hancur. Dengan tekad yang kuat, dia memutuskan untuk kembali ke New York untuk melanjutkan kuliahnya.
Di kota yang penuh dengan hiruk pikuk dan peluang, Amber memulai babak baru dalam hidupnya. Dia harus beradaptasi dengan lingkungan yang baru dan keras, serta menyeimbangkan antara pendidikan dan mencari pekerjaan paruh waktu untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
Perjalanan Amber tidak mudah. Dia sering dihadapkan dengan berbagai rintangan dan cobaan. Namun, dia tidak pernah menyerah. Dia selalu ingat pesan ayahnya untuk selalu tegar dan pantang menyerah.
Tiga minggu berlalu, Amber perlahan-lahan mulai bangkit dari keterpurukannya. Dia berhasil mendapatkan pekerjaan paruh waktu yang sesuai dengan minatnya. Belajar dan bekerja di New York membuka mata Amber tentang banyak hal. Dia belajar tentang arti kemandirian, kerja keras, dan arti uang bagi kehidupan.
Namun beberapa hari terakhir ini Amber merasa kurang enak badan. Dia mengalami pusing dan mual parah setiap pagi. Awalnya Amber pikir dirinya mengalami asam lambung, tapi ketika sadar tamu bulanannya telat datang.
Amber mulai terpikirkan kemungkinan terburuk. Ternyata benar, test pack yang dicelupkan ke urinnya menampilkan dua garis merah. Tangannya gemetar, matanya berkaca-kaca melihat itu.
“A-aku, hamil?”
“Mark, apa kau sudah ada perkembangan mengenai wanita itu?” tanya Julian dingin dengan aura wajah tegasnya, bicara pada sang asisten. Rasa penasaran dalam dirinya, membuatnya memerintahkan sang asisten untuk mencari keberadaan wanita asing itu.“Maaf, Tuan. Kami tidak dapat menemukan wanita yang Anda maksud.” Mark menghela napas, dengan raut wajah cemas. “Kami sudah meminta orang menelusuri ke seluruh hotel sejak waktu itu, dan belum ada titik terang. Tapi, Tuan, saya sudah membawakan data rekaman CCTV seluruh hotel ini untuk diperiksa.”Julian memicingkan mata tajam. “Sudah tiga minggu, kau pikir masih berguna?”“Jadi, Anda tidak ingin saya memeriksanya?” ulang Mark memastikan.“Periksa, Mark,” kesal Julian dingin.Mark mengangguk singkat menanggapi perintah bosnya itu. Dia merasa aneh. Tidak biasanya Julian mencari wanita malam yang dia tiduri sampai seperti itu. Terlebih lagi bosnya sama sekali tidak menemui wanita penghibur lain—sejak malam yang dia habiskan bersama wanita mabuk mi
“A-apa?” Lidah Amber tiba-tiba saja kelu mendengar apa saran dari Jessie. Saran yang hampir sama dia dengar tadi dari Merry. Tangan Amber sampai bergetar di kala menerima pil penggugur kandungan yang diberikan Jessie.“Amber, jika kau hamil seperti Merry, kau akan dipecat. Kau tahu betapa sulitnya mencari pekerjaan saat ini, kan?” Jessie menatap Amber dengan tegas. “Telan pil ini dan besok pagi kau akan jadi Amber yang baru.”Amber memandang pil yang dipegangnya dengan mata penuh kemarahan. Pikirannya berkecamuk antara amarah yang membara dan rasa putus asa yang menghimpit dadanya. Jessie, rekan kerjanya yang seharusnya memberikan dukungan, malah memberinya ultimatum yang menyiksa.“Kau gila, Jessie!” Amber memekik tertahan, suaranya penuh dengan ketidakpercayaan. “Anak ini … adalah darah dagingku.”“Amber, aku tahu ini sulit, tapi kau harus menghadapi kenyataan. Jika kau tidak bertindak secara bijak, konsekuensinya akan lebih berat. Kau bisa kehilangan semuanya. Kuliah, pekerjaan, mas
Empat tahun berlalu … Amber memandang ke luar jendela, melihat awan-awan yang bergulung-gulung di bawah. Cahaya matahari pagi menembus kaca pesawat, menerangi wajahnya yang lelah. Di sebelahnya, Violet, putri cantiknya, tertidur lelap, kepalanya bersandar di bahu Amber. Rambut pirang panjangnya terurai di atas kursi, wajahnya damai dan tanpa ekspresi.Di kursi seberang, Victor, saudara kembar Violet, duduk dengan fokus, jari-jarinya yang kecil sibuk merakit mainan lego. Potongan-potongan berwarna cerah berserakan di atas meja lipat kecil di depannya. Sesekali, dia melirik ke arah Violet, memastikan adiknya masih tertidur.Amber tersenyum melihat Victor. Dia selalu kagum dengan imajinasi dan ketekunan putranya. Putranya itu bisa menghabiskan waktu berjam-jam membangun berbagai macam struktur dari lego, mulai dari kastil megah hingga pesawat luar angkasa futuristik.Suara mesin pesawat mendengung pelan, mengantarkan Amber ke dalam lamunan. Dia sebenarnya sedikit gugup memikirkan akan ke
“Silakan lewat sini, Nona,” pandu Mark, mengantarkan Clara ke kursi Julian.Kaki Clara menginjakkan diri ke lantai marmer kafe elit yang terkenal di bandara Los Angeles. Cahaya remang lampu kristal berpadu dengan alunan musik jazz lembut menciptakan atmosfer romantis yang kontras dengan badai emosi di dalam diri Clara. Di sudut ruangan, duduk sosok pria tampan yang selama ini Clara puja—Julian Kingston—pengusaha muda sukses yang dikagumi banyak orang. Ketampanan Julian yang memikat dibalut setelan jas mahal tak mampu menyembunyikan aura arogan dan dingin yang menyelimuti dirinya.Clara melangkah dengan anggun, setiap langkahnya diiringi rasa penasaran. Ada angin apa Julian tiba-tiba berinisiatif menjemputnya? Selama ini, Julian selalu mengacuhkan Clara, bahkan ketika Clara mengejar-ngejar pria itu. Padahal perjodohan antara dua keluarga sudah ditentukan, tapi Julian seolah tak peduli dengan hal itu dan tetap mengabaikan Clara.“Lama sekali,” ucap Julian dengan nada datar, tanpa senyum
Mouren Inc selalu sibuk. Sama seperti Amber yang sedang berusaha menyesuaikan diri dengan kesibukan Mouren Inc di meja kerjanya. Ini adalah hari pertama Amber di kantor. Jadi, dia berusaha menyelesaikan tugas-tugasnya dengan tekun. Namun, keheningan kantor seiring berjalannya waktu mulai membuatnya merasa tidak nyaman.Jam sudah menunjukkan pukul lima sore, dan Amber pikir, dia bisa segera pulang untuk menjemput Victor dan Viiolet di daycare. Akan tetapi, Tuan Parker, atasan Amber, tiba-tiba saja datang dan duduk di meja dekatnya dengan senyum genit.“Amber, bisakah kau menyelesaikan laporan ini sebelum pulang?” tanya Alan Parker, atas Amber, dengan senyuman di wajahnya, dan tatapan yang tak lepas menatap wanita itu.“Tuan Parker, tapi—”“Laporan ini akan digunakan untuk meeting besok pagi. Kau tahu kan, Nona Mouren, putri pemilik perusahaan yang baru kembali ke sini, akan memeriksanya pukul enam pagi,” ujar Alan sambil tersenyum, dan tampak menjijikan di mata Amber.Amber menghela na
Amber duduk di depan meja rias di kamarnya, memandang dirinya sendiri di cermin dengan gaun malam yang elegan. Rambutnya dikepang indah, dan make up dipoles di wajah cantiknya. Entah kenapa di dalam hatinya merasa gelisah. Padahal seharusnya dia menampilkan wajah semeringah bahagia.Hari ini adalah hari di mana dirinya menghadiri pesta pernikahan dari bos besarnya. Amber yang merupakan karyawan dari Mouren Inc, mendapatkan undangan dari bos besarnya pemilik Mouren Inc, bertunangan dengan pemilik Kingston Corporation.“Jessie, aku rasa aku tidak bisa pergi,” kata Amber dengan cemas seraya menatap sahabatnya itu.“Amber, ini kesempatan bagus untukmu bersosialisasi di perusahaan baru. Biarkan si kembar aku yang jaga,” ucap Jessie sambil menyentuh tangan Amber. Amber menggigit bibirnya, merasa bersalah karena harus merepotkan Jessie lagi. “Tapi aku tidak ingin merepotkanmu terus menerus, Jessie.”Jessie menarik napas panjang. “Tenang saja, Amber. Aku bisa menjaga si kembar. Kau tahu sen
Tubuh Julian membeku melihat sosok wanita cantik berambut pirang yang selama ini dia cari. Aura wajahnya memancarkan jelas keterkejutan nyata. Berkali-kali dia meyakinkan apa yang dia lihat ini salah, tapi apa yang dia lihat ini benar. Tidak salah sama sekali.‘Wanita itu?’ batin Julian dengan wajah penuh terkejut. Detik itu juga, dia berjalan pergi meninggalkan Clara yang sibuk menyapa tamu undangan. Yang dilakukannya adalah menemui sang asisten.“Mark!” panggil Julian cepat.“Iya, Tuan?” jawab Mark seraya menatap Julian.“Mark, lihat wanita itu. Dia—” Julian menunjuk wanita yang dia maksud, tapi sayangnya wanita itu sudah langsung pergi begitu saja.“Kenapa, Tuan?” Kening Mark mengerut dalam, menatap bingung Julian. “Shit! Dia pergi!” Julian mengumpat kesal, dan berlari mencoba mengejar wanita yang selama ini dia cari, tapi sialnya wanita itu bagaikan angin yang begitu cepat pergi.Mark menyusul Julian. “Tuan, ada apa?”Julian terus meloloskan umpatan kesal. “Mark, wanita itu suda
Amber dan Jessie membaringkan tubuh si kembar ke ranjang. Beruntung Victor dan Violet sudah tertidur pulas. Bocah kembar itu tak lagi ingin makan burger. Mereka sepertinya kelelahan karena hari ini terlalu banyak berlari ke sana kemari. Hal tersebut yang membuat Jessie sempat kewalahan dalam menjaga si kembar, di kala Amber berada di pesta.Amber dan Jessie keluar kamar, tak ingin mengganggu si kembar yang sudah tertidur pulas. Tepat di kala mereka sudah keluar, Jessie langsung menarik tangan Amber—membawa teman baiknya itu duduk di sofa.“Amber, kau berhutang penjelasan padaku. Apa yang terjadi tadi?” tanya Jessie dengan nada penasaran. “Kenapa kau terlihat begitu gelisah? Apakah semuanya baik-baik saja? Benarkah kau melihat ayah si kembar?”“Satu-satu, Jessie.” Amber menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan dirinya sebelum mengungkapkan apa yang sebenarnya terjadi. “Iya, tadi di pesta ... aku bertemu dengan ayah si kembar.”Jessie menatap Amber dengan tatapan terkejut. “Ayah s