Sebuah Ancaman Wajah Bu Pertiwi terlihat serius saat mengucapkan kalimat tersebut. Matanya menatap tajam sang menantu, seolah menggambarkan perasaannya saat ini pada Aluna. Rasanya lucu sekali melihat tontonan gratis di depanku ini melihat tontonan gratis di depanku ini. Mereka pasangan menantu dan mertua yang amat kompak kini berada di ambang perpecahan. Gemuruh di dadaku menggambarkan keinginanku untuk segera bersorak. Kurasa karma tengah memainkan peranannya. Biarlah aku dikatakan jahat, nyatanya aku sangat puas melihat mereka berdua dalam keadaan seperti ini. Kepalaku tiba-tiba memutar rekaman lama saat mereka berdua dengan begitu teganya mengusirku dari rumah megah milik keluarga Prihandono. Sungguh sampai kapanpun aku takkan pernah melupakan kepedihan yang kurasakan saat itu. Kini justru keangkuhan merekalah yang menjadi bahan tertawaanku. Kesombongan mereka satu persatu luruh, hingga tak ada harganya lagi. Sungguh, jika mereka mampu mengingat kejadian bertahun-tahun silam,
Mas Satya kemari saat opening tadi Mbak setelahnya dia bilang ada urusan penting mungkin saja dia lupa menghubungi Mbak Rindu atau kalau memang ada keperluan mendesak kenapa tidak ditelepon saja? Ucap salah seorang karyawan yang kutanyai mengenai keberadaan Satya. Pasca kejadian kemarin saat dia disiram air oleh seorang wanita aku belum sempat berbincang lagi dengannya. Sebenarnya ada rasa kecewa mengapa hingga detik ini lelaki itu tak kunjung bersuara apapun mengenai insiden tersebut. Aku yakin dia tidak lupa bercerita, hanya saja memang sengaja menyembunyikan hal tersebut dariku. Bahkan berkali-kali dia berusaha menghindar saat aku hampir mendekatinya. "Mbak, yang kemarin nyiram air ke Mas Satya itu... Pacarnya?" Pertanyaan Putri membuat sensasi sengatan halus di sekujur tubuhku. Aku terkesiap dengan pertanyaan darinya. Entah bagaimana ekspresiku saat ini, yang jelas gadis yang baru lulus sekolah menengah atas tersebut terlihat begitu menyesal telah melontarkan pertanyaan itu untu
Anakku Tak Diakui Ayahnya Siapa Dia?Lagi-lagi wanita dengan postur tubuh langsing dan berkulit putih itu muncul di restoranku. Kali ini aku bisa melihat seperti apa rupanya dengan begitu jelas. Rambutnya kini dibiarkan digerai hingga menambah kesan wajahnya yang makin menawan. Kaos warna putih polos berukuran oversize dengan celana jeans membuat tampilannya makin segar. “Mbak. Dia cari Mas Satya,” ucap Putri sambil menarik tanganku. Tatapan matanya menyelidik wanita yang duduk agak jauh dari mesin kasir tempatnya berada saat ini. Sesekali aku mencuri pandang ke arahnya. Aku pun khawatir jika kegiatanku kali ini tercium oleh wanita itu. “Sudah telepon Satya?” tanyaku pada pegawai yang masih berstatus single itu. Putri mengangguk mantap. “Nggak aktif.” Aku menghela napas sesaat. Pikiranku menerawang menerka alasan lelaki itu terlambat ke restoran hari ini. Tetapi lagi-lagi aku tak menemukan apapun untuk kujadikan alasan. Satya tak memberitahuku sebelumnya. Tentu hal ini di luar k
“Permisi,” ucapku lirih sambil tersenyum hangat pada wanita pemilik mata bening itu. Sebaris senyuman disunggingkan penuh ketulusan padaku. Aku saja yang seorang wanita diam-diam mengagumi wanita di depanku ini. Apalagi Satya…“Maaf menganggu waktunya, Mbak,” ucapnya lembut. Tak hanya cantik wajahnya saja, bahkan sikapnya pun jauh dari kata urakan. Ah…pantas saja Satya…Kenapa tiba-tiba ada yang berdenyut nyeri di dalam dadaku? Kutatap lekat-lekat wajah yang seratus persen kuyakini semua laki-laki yang melihatnya akan terkagum dengan ciptaan Tuhan ini. “Saya mencari Mas Satya, tetapi sepertinya dia belum datang. Atau mungkin tak datang karena tahu aku di sini,” ujar lirih wanita itu. Seketika wajahnya menunduk, entah apa yang tengah disembunyikannya. Kutahan bibirku untuk bertanya mengapa wanita itu mengucap kalimat bernada putus asa seperti itu. Kutarik napas dalam-dalam sambil menunggunya menyelesaikan kalimat yang seolah menggantung tanpa kejelasan. “Nama saya Andira. Saya…” “
Kepergian Satya Bintang memeluk tubuhku erat. Hari ini sengaja aku datang menjemputnya. Aku butuh senyumannya untuk menenangkan hatiku yang merasa tak nyaman. Keringat yang tersisa di tubuhnya memberi aroma khas anak-anak. Apalagi tadi memang jadwal dia melaksanakan pelajaran olahraga. Kucium rambutnya yang agak basah itu. Setelahnya kuhadiahi sebuah cubitan gemas pada pipinya yang sedikit gembul. “Asem sekali anak Mama,” ucapku sebelum melepaskan pelukanku. Beberapa orangtua yang menjemput anaknya pun nampak hilir mudik di halaman sekolah yang luas itu. Aku menggenggam tangan mungilnya dan mengajaknya berjalan ke arah mobil yang terparkir agak jauh dari lokasiku berdiri. “Hari ini kita Bintang jadi pak dokter. Om dokter teman Mama yang ngasih contoh.” Deg. Hatiku seolah teraliri arus listrik kecil. Om Dokter? Dahiku berlipat. Namun aku masih membawanya berjalan demi secepatnya sampai di kendaraan kami. Cuaca sedang panas-panasnya. Kepalaku mulai berdenyut saat panas matahari mem
“Bu, ada Pak Satya,” ucap Mbak Tini saat aku tengah menemani anakku tidur. Sepulang sekolah tak banyak kata yang keluar dari mulut anakku. Nampaknya dia benar-benar kecewa karena keinginannya bertemu Satya belum juga terpenuhi. Aku segera mengambil posisi duduk. Ada gelenyar aneh saat tahu lelaki yang tengah dirindukan oleh Bintang kini ada di bawah. Sayangnya Bintang sudah terlelap. Dengkuran halus terdengar dari bibirnya. Mbak Tini seolah paham dengan kesusahan yang tengah kurasakan. Sebagai pengasuh Bintang pasti dia tahu anakku itu tengah merindukan Om kesayangannya. Sayang sekali laki-laki itu datang di saat yang tak tepat. Padahal tawa riang akan mudah sekali tercipta saat keduanya itu bertemu. Kuraih kerudung instan warna mint dan memakaikannya di kepalaku. Kuturuni anak tangga dengan perasaan yang tak menentu. Entah apa yang akan dilakukan Satya jika tahu Bintang sudah terlelap dibuai mimpi. “Ndu,” panggil Satya. Wajah yang biasa penuh senyum ini pun terlihat kaku, atau m
Melawan Ego “Kenapa kau selalu seperti ini? Tak bisakah kau pura-pura bersedih atas kepergianku? Aku tak bisa memastikan berapa lama aku akan berada di Singapura. Apakah kau tak merasa kehilanganku?”Tawaku meledak. “Pergilah jika memang itu akan membuatmu aman dari kejaran polisi.” Kalimat yang berhasil membuat lelaki itu mematung, seolah geram dengan reaksi main-main yang kutampilkan. Lagi pula mengapa harus seserius ini? Bukankah datang dan pergi adalah suatu keniscayaan? Hidupku sudah terlalu pelik, mengapa harus terlalu larut dengan kehidupan yang serba tak pasti ini? Aku bergumam, menertawakan kehidupanku sendiri. Satya tetap duduk dengan mengarahkan mata elangnya yang entah kapan lagi akan kutemui. Entah bagaimana aku akan menjawab pertanyaan Bintang yang pasti akan merindukan sosok pria di depannya. Entah kepada siapa lagi Bintang akan merajuk saat menginginkan sepotong layangan miliknya diterbangkan. Entah pada siapa Bintang akan meminta gendong karena ibunya ini sudah ke
Malam ini Bintang panas. Dia menggigil hebat di balik selimut. Aku yang tadi masih di restoran tiba-tiba mendapat panggilan dari Mbak Tini yang mengabarkan bahwa kondisi Bintang memburuk. Aku sedikit menyesal mengapa hanya meminta pengasuh putraku itu untuk memberikan obat penurun panas saat siang tadi wanita itu memberi kabar untuk pertama kali. Aku egois. Terlalu sibuk dengan proyek pembukaan kafe yang tinggal menghitung hari membuatku bekerja bagai kuda tak kenal lelah. Jika saja fisikku mampu mengerjakan, aku lupa bahwa ada anak yang harus tetap menjadi prioritasku. Aku langsung meminta izin Pak Rama untuk pulang terlebih dahulu. Beruntung lelaki itu mengerti kondisiku. Sedikit banyak Pak Rama sudah paham mengenai statusku. Mungkin Satya yang sudah memberitahunya. Tidak mungkin Giandra yang memberitahunya. Lelaki itu tak mungkin menggali kuburannya sendiri dengan menceritakan kisahku dengannya di masa lalu. Dan lihatlah kini. Aku harus menerima kabar yang membuatku lemas baga