Dengan tergesa Arnon masuk ke dalam rumah. Dia ingin segera melihat Fea. Di saat seperti ini dia harus sesering mungkin di sisi istrinya. Hati Fea sangat sedih karena harus kehilangan bayinya. Kondisi fisiknya pun tidak bisa dengan cepat pulih.
Di dalam kamar, Fea berbaring. Dia memejamkan mata tetapi tidak sedang tidur. Fea memaksa diri agar terlelap sehingga lupa sejenak semua kepedihannya. Sayangnya, tidur pun begitu sulit. Dan yang membuat Fea semakin sedih, dia baru mendengar kabar Rania melahirkan bayinya, seorang anak perempuan yang mungil dan cantik.
Dada Fea terasa sesak jika mengingat itu. Seharusnya beberapa bulan lagi dia juga akan menggendong bayinya. Kenyataan bicara lain. Fea tidak bisa menjaga buah hatinya dan terpaksa harus kehilangan di awal-awal kehamilan. Sakit sekali rasanya.
"Sayang ..." Arnon mengecup kepala Fea. Dia tahu Fea belum tidur.
Fea membuka matanya. Dengan tatapan sayu dia memandang Arnon. Perlahan dia bangun, duduk di
Perjalanan Fea dan Arnon berlanjut. Sebisa mungkin keduanya menyisihkan situasi yang mengganjal karena kedatangan Arnella. Arnon bertingkah seceria mungkin selama perjalanan. Dia terus mengajak Fea bercanda, tidak memberi dia kesempatan bertanya apapun tentang Arnella.Fea tahu, Arnon menghindar dari masalah yang dia hadapi dengan mamanya. Fea juga tidak mau memaksa Arnon bicara. Lebih baik dia menikmati perjalanan itu sambil mencari waktu yang tepat dia bisa mengajak Arnon bicara. Bagaimanapun orang tua adalah orang tua. Seorang anak harus menghormati orang tuanya. Itu yang Fea mau Arnon mengerti.Tiba di kediaman Lukman, pria itu dengan senyum lebar menyambut Arnon dan Fea. Pelukan hangat hadir menyapa keduanya, membuat suasana hati yang sedikit terganggu menjadi lebih nyaman."Akhirnya, Fea ... senang sekali bisa menyambut kamu di rumahku. Sherlita sudah menunggu, tidak sabar." Lukman menoleh pada wanita yang usianya tidak begitu jauh dengan Fea.Sherl
Mata Arnon yang sedikit sipit itu melebar, memandang Fea yang berdiri tegak mematung, dengan wajah tegang. Dengan cepat Arnon menghampiri Fea dan meraih kedua tangannya. "Aku tidak salah dengar, Ar? Semua yang terjadi karena Nyonya Arnella?" Senyum Fea yang tadinya cerah lenyap sudah. Dia meminta penjelasan pembicaraan yang dia dengar antara Arnon dan Lukman adalah benar. "Sayang, ga usah dipikir, ya? Kita jalan, yuk. Ke taman belakang, ke makam Tante Lovina." Arnon tidak mau memperpanjang karena Fea akan kembali bersusah hati. Lebih baik Arnon alihkan saja pada hal yang lain. "Arnon!" Fea menolak beranjak. Dia ingin Arnon tidak menghindar lagi. "Katakan saja semua padaku." Lukman masih tetap di posisinya. Dia memperhatikan Fea dan Arnon dengan rasa gundah. Kebahagiaan keduanya selalu saja ada yang mengganggu. Yang menyedihkan, justru dari orang terdekat yang seharusnya mendukung mereka. "Sayang ..." Arnon makin erat menggenggam tangan Fea. "B
Wati memanggil Arnella yang ada di dalam kamarnya. Makan malam sudah siap tetapi Arnella belum juga ke ruang makan. Di dalam kamar Arnella duduk termenung menatap keluar jendela yang menghadap gerbang rumah besar itu. Wajah sendu belum pergi darinya.Sejak Arnon datang dan marah besar hari itu, Arnella tidak bisa tersenyum. Matanya kuyuh, wajahnya tidak menyiratkan aura gembira yang biasanya terlihat. Bahkan ketika Ardiansyah pulang juga tidak terlalu berarti untuknya. Padahal Arnella selalu bersemangat jika suaminya datang dan mau tinggal beberapa hari bersamanya."Nyonya, makan malam ...""Aku tidak lapar, Wati. Kalian saja yang makan." Dengan cepat Arnella menyahut."Tapi, Nyonya ..." Wati menjadi gundah. Tidak seperti biasanya Arnella menunjukkan sikap kuat dan tegar menghadapi apapun. Dia selalu bisa berdiri dan mencari cara mengatasi kemelut yang harus dia selesaikan."Sedikit saja. Saya antar ke sini saja, jika Nyonya tidak ingin kelua
Agak aneh rasanya Wati menghubungi Arnon. Apakah ada sesuatu? Fea menajamkan pendengaran, ingin tahu apa yang akan Wati katakan. "Ada apa, Mbak?" tanya Fea. Dia mendekati ranjang besar di tengah kamar itu dan duduk di tepinya. "Fea, Nyonya Arnella. Dia sakit." Suara Wati sedikit gemetar. Masih ada rasa takut jika Fea akan menolak bicara setelah yang Arnella lakukan padanya. "Nyonya sakit?" Fea mengulang perkataan Wati. Kenapa dia Arnella sakit harus merepotkan Arnon. Keluarga Hendrawan punya dokter handal, dokter kelas satu di kota itu. Arnella pasti akan dapat perawatan terbaik. "Fea, Nyonya ... dia kena stroke. Dia terlalu sedih ..." "Apa, Mbak?" Fea menyahut tidak menunggu Wati selesai bicara. "Ya, setelah Tuan Muda ngamuk ke rumah siang itu, nyonya sangat sedih. Dan berhari-hari tidak ada keinginan makan. Dia makin lemah, lalu ..." "Sayang! Aku pakai kaos yang mana, nih?!" Terdengar Arnon bicara dengan keras. Dia sudah kelu
Panas rasanya telinga Arnon mendengar yang Fea katakan. Mengapa Fea bicara soal Arnella? Fea jelas tahu kalau Arnon tidak mau peduli dengan wanita itu lagi. Arnon melangkah menjauh, dia membuka pintu menuju ke balkon kamar. Fea memandang Arnon dengan rasa sangat tidak nyaman. Ini yang dia tidak mau, bertengkar dengan Arnon. Hubungan mereka baru pulih setelah masa berat yang mereka lalui karena Arnella. Arnon begitu senang melihat istrinya bisa lebar tersenyum bahkan tertawa lagi. Lalu tiba-tiba harus bersitegang dan itu gara-gara orang yang sama, Arnella. "Ya Tuhan, aku harus bagaimana?" batin Fea bergejolak. Buatnya ini juga bukan hal mudah. Setiap ingat Arnella, yang muncul di pikiran Fea, wanita itu tidak suka dengannya, dia berusaha menghancurkan pernikahannya dengan Arnon. Perlahan, Fea bangkit, berjalan mendekati Arnon yang berdiri menatap perbukitan di kegelapan, karena hari memang sudah malam. Fea memeluk pinggang Arnon
Arnella memandang nanar keluar kamar. Dia mengarahkan pandangan pada gerbang utama. Dia berharap mobil Arnon akan muncul, putranya akan datang melihat dia. Ingin sekali Arnella kembali bertemu Arnon dan mengucapkan maaf. Dia tidak mau Arnon meninggalkan dia seperti itu. "Nyonya ..." Suara Wati yang masuk ke dalam ruangan itu seolah tidak dia dengar. Pikiran Arnella terbawa pada hari saat Arnon meninggalkannya di depan rumah. Dengan marah, tetapi tangannya menggandeng Fea mesra, Arnon pergi. Hati Arnella begitu pahit rasanya. Arnon lebih cinta wanita itu, bukan dirinya, ibu yang melahirkannya. "Arnon ... pulang ..." ucapnya lirih dengan mata basah. Kemudian ingatannya beralih pada sore harinya, saat Arnella menghadiri acara keluarga salah satu rekan sosialitanya. Tidak dia sangka, Ardan ada di sana. Entah apa urusan anak sulung Ardiansyah itu. Yang jelas, ucapan pria angkuh itu menusuk Arnella. "Aku harus berterima kasih padamu, Istri ketiga Tu
Ardiansyah memukul meja dengan geram. Arnon terang-terangan sekarang menolak dan melawannya. Ardiansyah tidak mengira sama sekali. Setelah Ardan, putra sulungnya, Arnon adalah anak laki-laki yang dia miliki. Sekalipun anak-anak perempuannya juga punya ketrampilan kepeimpinan dan mampu diserahi sebuah perusahaan, tetap punya Arnon adalah sesuatu yang membanggakan. Ardiansyah mengembuskan nafas berat, berpikir keras harus bertindak apa. Arnon sama dengan dirinya, jika punya kemauan akan gigih berpegang pada itu dan akan mengejarnya hingga terwujud. Tapi melepas seorang anak, dia tidak mau mengakuinya sebagai orang tua, ini tidak masuk akal! "Apa yang ada di pikiran Arnon!?" Ardiansyah benar-benar kesal. Tidak mungkin dia akan mengijinkan Arnon mengganti nama belakangnya. Mau berulang kali dia berubah nama, darah Hendrawan tetap ada di dalam dirinya, tidak ada gunanya merubah identitas. Bagaimana dia bisa melunakkan hati Arnon itu yang Ardiansyah pikirkan.
Arnella ingin berteriak dan memaki Fea. Mau apa Fea sebenarnya datang menemuinya? Pasti hanya ingin melihat kesialan yang Arnella alami! Wajah Arnella memerah, dadanya naik turun menahan marah yang makin memuncak. Air mata mulai menitik di ujung mata, karena gejolak yang dia rasa. "Nyonya, aku bantu berbaring saja. Pesan Mbak Wati, Nyonya harus istirahat sekarang," ujar Fea. Dengan hati yang juga sedikit takut, Fea membantu Arnella bangun dari kursi roda, pindah ke ranjang. Arnella tidak menolak karena dia memang butuh bantuan. Tapi itu bukan berarti dia senang dengan sikap sok baik Fea padanya. "Kamu ..." Arnella memaksa bicara. Dengan emosi yang mulai tinggi, dia lebih kesulitan membuka mulutnya. "Ka ... mu ..." Fea memandang Arnella. Dia bisa merasakan betapa Arnella kesal dan ingin Fea segera keluar dari ruangan itu. "Ja ... nan ... kamu ... jan ... nan, mu ... nafik ..." Makin terbata-bata, tetapi Arnella memaksa juga mengutarakan apa yan