Arnon merasa sentuhan di pipinya. Dia membuka mata. Fea ada tepat di sisinya, memeluknya, sementara dia masih terlelap. Tangan Fea tidak sengaja menyentuh pipi Arnon karena pindah posisi tidur. Perlahan Arnon memindahkan tangan Fea, menggenggamnya lembut.
"Terima kasih, Sayangku. Semalam kamu benar-benar manis. Ah, lama kita tidak bisa menikmati waktu begini." Arnon tersenyum. "Kamu ternyata merindukan aku juga."
Arnon melihat ke jam dinding. Jam lima lewat. Sebentar lagi si kembar akan bangun. Arnon tiba-tiba ada ide. Perlahan dia menggeser badan, melepaskan Fea dari pelukannya. Arnon merasa kondisinya sudah membaik, tidak lagi merasa pusing di kepala, tidak juga hangat suhu tubuhnya.
"Kembar, yuk, kita buat kejutan buat mama." Dengan semangat Arnon segera turun dari ranjang, lalu menuju ke kamar di kembar yang ada di sisi lain di lantai yang sama.
Arnon membuka pintu kamar di kembar. Keduanya masih lelap, di atas tempat tidur masing-masing. Arnon
Mobil Arnon berhenti di depan resto besar dan mewah itu. Dia memarkirnya, lalu segera masuk menuju ke ruangannya. Kemarin dia pulang cepat-cepat karena sedikit limbung. Sebelum pertemuan hari ini dia harus mengecek semua yang diperlukan. Besar harapan Arnon, masalah yang sedang melanda, tidak akan berlarut-larut, tapi sebaliknya bisa menemukan titik terang secepatnya. Arnon duduk di mejanya, hampir menyalakan komputer, matanya tertuju ke pigura di sebelah kanannya. Sejak punya si kembar, Arnon menambah satu pigura lagi yang dia letakkan di meja itu, bersebelahan dengan pigura gambar Fea yang tetap berada di tempatnya. Di sebelah gambar Fea, Arnon meletakkan foto keluarga. Dia dan Fea duduk sambil tersenyum lebar, masing-masing memangku satu bayi mereka. Arnon tersenyum, mendesah, tangannya mengusap foto itu. "Doakan aku. Aku sedang merasa lemah. Aku sungguh berharap semua akan segera baik lagi. Really love you all." Mata Arnon masih menatap pada foto itu, ber
Stefi terlihat resah saat bicara di telpon dengan Irvan. Stefi tahu Irvan pasti sangat terkejut karena kabar yang Stefi sampaikan. "Rumah sakit? Muti sakit?" Irvan jelas bicara dengan nada cemas. Suara ceria pria itu lenyap. Stefi menarik nafas dalam. "Bukan, Ir. Muti baik-baik. Ibu ..." "Ibu? Ibu kenapa?" Suara Irvan makin naik. Rasa cemas makin bertambah mendengar kabar ini. Dengan sedih Stefi mengatakan yang terjadi. Irvan pun memutar haluan, bukan ke butik tapi langsung menuju ke rumah sakit. Beberapa menit berikut dokter keluar ruangan dan menyampaikan kondisi Kartika. Tekanan darahnya terlampau rendah, hingga kehilangan kesadaran. Dokter sudah melakukan penanganan dan masih menunggu perkembangan dalam beberapa jam ke depan. Stefi benar-benar sedih. Matanya beberapa kali basah, meskipun dia berusaha menahan diri agar tidak menangis. "Stef, sebentar lagi anak-anak pulang sekolah. Aku harus menjemput mereka. Lalu
"Bu Tika sadar. Dia ingin bertemu Muti. Tetapi dia hampir tidak bisa bicara dan bergerak." Fea menjawab dengan rasa gundah. "Oke, kita pergi." Arnon menyahut cepat. Mereka segera membawa anak-anak ikut ke rumah sakit. Dalam perjalanan Fea memberi pengertian pada Mutiara dan si kembar jika mereka harus tetap tenang saat di rumah sakit. Tidak bisa bermain sepertu saat di rumah. Perjalanan yang hanya sekian menit itu terasa sangat lama, apalagi jalanan memang cukup padat. Arnon dan Fea sangat tegang. Dari kabar yang mereka terima dari Irvan, kesadaran Kartika yang kembali bukan berarti pertanda baik. Mereka hanya bisa berharap dan berdoa agar wanita baik hati itu mendapat berkah ilahi. Tiba di rumah sakit, Arnon dan Fea menuntun ketiga bocah itu menuju ke IGD tempat Kartika mendapat perawatan. Di depan ruangan, tampak Stefi duduk sendirian. Stefi berdiri dengan tatapan sedih ketika melihat putrinya datang dituntun Fea. "Ma!" panggil Mutiara
Arnon terus mendengar penjelasan Riko mengenai perkembangan masalah yang terjadi di resto luar kota yang masih belum tuntas. Ternyata tidak bisa teratasi oleh menajer yang dipercaya di sana. Mau tidak mau Arnon harus berangkat ke sana. "Oke, Riko. Aku tidak punya pilihan. Besok aku pergi. Jam tiga sore aku kita ketemu, menyiapkan apa yang perlu." Arnon menutup telpon. Fea yang ada di sisi Arnon mendengarkan dan mulai mengambil kesimpulan. "Kamu akan pergi?" "Ya, kuharap bisa dalam tiga hari aku urus semua. Walaupun aku ga yakin." Arnon jelas jadi tegang dan gelisah. "Jangan pergi sendiri, Ar. Bawa teman. Dengan begitu kamu ada teman bicara di jalan. Please ..." Fea mengusulkan ini karena Arnon baru sehat. Fea sedikit kuatir situasi ini akan membuat tekanan Arnon akan kembali naik. "Iya, Sayang, aku akan bawa satu pegaai menemani." Arnon menoleh pada Fea, memastikan dia mendengar permintaan istrinya. Jalanan yang ramai membu
Matias memperhatikan Arnon yang tidur dengan pulas. Sebenarnya kasihan juga kalau diganggu. Tapi mau bagaimana lagi. Pria itu melangkah ke ranjang Arnon dan menepuk pundaknya beberapa kali. "Pak Arnon, Pak ..." Matias bicara pelan, takut membuat Arnon terkejut. Arnon tidak bergerak. Lagi, tangan Matias menepuk pundak Arnon lebih keras. "Pak, Pak Arnon, maaf, Pak ..." Matias sedikit mengeraskan suaranya. Arnon menggeliat, dia memiringkan badan lalu membuka mata. Matias tepat di depannya memandang dengan wajah tegang. Arnon bergegas duduk. "Hei, kenapa?" "Dari Pak Manajer." Matias menyodorkan ponsel yang dia genggam. Masih dengan mata berat Arnon menerima telpon itu. Mendengar kabar dari resto Arnon langsung melebarkan mata. Kantuknya dengan cepat menghilang. "Oke, aku akan sampai setengah jam lagi." Arnon menutup telpon. Wajah Arnon berubah tegang juga. "Berangkat, Pak?" Matias berdiri. "Ya, tidak ada waktu
Sesuai rencana, Fea membawa si kembar pulang ke rumah besar selesai sekolah hari itu. Arfen dan Fernan langsung menuju ke taman samping, ke playgroung yang ada di sana. Seperti tidak ada lelah, mereka berlarian dan naik turun di perusutan. Pindah ke ayunan, lalu main jungkat-jungkit. Suara teriakan mereka membahana memenuhi seluruh area."Aku seperti melihat Arnon kecil. Dia sangat aktif, tidak kenal lelah. Sampai kemudian sakit asma mendera. Jika ingat saat-saat itu, masa-masa yang sulit harus Arnon hadapi." Arnella memandang pada kedua cucunya yang masih bermain dengan gembira. Dia dan Fea duduk di teras samping sambil memperhatikan keduanya."Tidak mungkin aku lupa, Ma. Arnon sangat menderita. Dia ingin berbuat banyak tapi tubuhnya lemah. Bersyukur akhirnya dia bisa sehat." Fea juga kembali terkenang bagaimana di masa kanak-kanak, dia terus di sisi Arnon, mendampingi waktu Arnon sakit."Dan sayangnya di situasi itu, kamu dan nenek kamu yang lebih sering bersa
Pagi datang. Segera Fea menghubungi Arnon memastikan semua baik-baik. Sebenarnya Fea hanya ingin yakin mimpi buruknya hanya bunga tidur yang tidak menyenangkan dan tidak ada hubungannya dengan Arnon."Aku baik-baik, Fea. Aku bangun pagi, berdoa, buat kamu dan anak-anak, buat semua yang kita sayangi, dan juga apa yang kita hadapi. Aku siap menjalani hari ini." Jawaban Arnon sangat melegakan Fea."Oke, Ar. Semoga semua lancar. Hari ini aku dan anak-anak akan jalan-jalan dengan Pak Riko. Dia akan menjemput jam sembilan." Fea memberitahu rencana mereka hari itu."Baguslah, nikmati semuanya. Be happy. Cium yang banyak buat si kembar. Love you much." Arnon mengucapkan sayang dengan sepenuh hati, lalu dia mengakhiri panggilan itu.Semua baik, semua aman. Fea pun tenang. Hari itu menjadi hari yang penuh kegembiraan. Seperti janjinya, Riko datang bersama istrinya, menjemput si kembar pergi ke tempat bermain. Riko benar-benar memanjakan si kembar. Apa saja yang mer
Fea berdiri di depan ruang gawat darurat tempat Arnon dirawat. Jantungnya berdetak begitu cepat. Tubuhnya seolah lunglai dan tak bisa bergerak. Di atas ranjang, Arnon terbaring, tak berdaya. Matanya terpejam dengan luka-luka di sekujur tubuh. di kedua tangannya jarum infus menopang agar dia bisa bertahan. Kepalanya dibalut hampir seluruhnya. Dia pucat, tak sadarkan diri. Sementara bernafas pun dia memakai alat bantu. "Bu Fea ..." Fea menoleh mendengar panggilan itu. Di ranjang sisi kanan Arnon, Matias berbaring, dengan kaki dan kanan juga dibalut. Satu tangannya diinfus. Dia memandang Fea dengan tatapan dan nanar, cemas, dan sedih. "Maaf, Bu ... saya tidak bisa menjaga Bapak." Suara pria itu bergetar, sedikit serak. Fea merasa kerongkongannya tercekat. Dia ingin menjawab perkataan Matias, tapi yang bereaksi adalah matanya. Butiran bening dengan cepat mengalir, memenuhi wajahnya yang kuyuh dan cemas. "Bu, maafkan saya ..." Matias mengulan