Sesuai rencana, Fea membawa si kembar pulang ke rumah besar selesai sekolah hari itu. Arfen dan Fernan langsung menuju ke taman samping, ke playgroung yang ada di sana. Seperti tidak ada lelah, mereka berlarian dan naik turun di perusutan. Pindah ke ayunan, lalu main jungkat-jungkit. Suara teriakan mereka membahana memenuhi seluruh area.
"Aku seperti melihat Arnon kecil. Dia sangat aktif, tidak kenal lelah. Sampai kemudian sakit asma mendera. Jika ingat saat-saat itu, masa-masa yang sulit harus Arnon hadapi." Arnella memandang pada kedua cucunya yang masih bermain dengan gembira. Dia dan Fea duduk di teras samping sambil memperhatikan keduanya.
"Tidak mungkin aku lupa, Ma. Arnon sangat menderita. Dia ingin berbuat banyak tapi tubuhnya lemah. Bersyukur akhirnya dia bisa sehat." Fea juga kembali terkenang bagaimana di masa kanak-kanak, dia terus di sisi Arnon, mendampingi waktu Arnon sakit.
"Dan sayangnya di situasi itu, kamu dan nenek kamu yang lebih sering bersa
Pagi datang. Segera Fea menghubungi Arnon memastikan semua baik-baik. Sebenarnya Fea hanya ingin yakin mimpi buruknya hanya bunga tidur yang tidak menyenangkan dan tidak ada hubungannya dengan Arnon."Aku baik-baik, Fea. Aku bangun pagi, berdoa, buat kamu dan anak-anak, buat semua yang kita sayangi, dan juga apa yang kita hadapi. Aku siap menjalani hari ini." Jawaban Arnon sangat melegakan Fea."Oke, Ar. Semoga semua lancar. Hari ini aku dan anak-anak akan jalan-jalan dengan Pak Riko. Dia akan menjemput jam sembilan." Fea memberitahu rencana mereka hari itu."Baguslah, nikmati semuanya. Be happy. Cium yang banyak buat si kembar. Love you much." Arnon mengucapkan sayang dengan sepenuh hati, lalu dia mengakhiri panggilan itu.Semua baik, semua aman. Fea pun tenang. Hari itu menjadi hari yang penuh kegembiraan. Seperti janjinya, Riko datang bersama istrinya, menjemput si kembar pergi ke tempat bermain. Riko benar-benar memanjakan si kembar. Apa saja yang mer
Fea berdiri di depan ruang gawat darurat tempat Arnon dirawat. Jantungnya berdetak begitu cepat. Tubuhnya seolah lunglai dan tak bisa bergerak. Di atas ranjang, Arnon terbaring, tak berdaya. Matanya terpejam dengan luka-luka di sekujur tubuh. di kedua tangannya jarum infus menopang agar dia bisa bertahan. Kepalanya dibalut hampir seluruhnya. Dia pucat, tak sadarkan diri. Sementara bernafas pun dia memakai alat bantu. "Bu Fea ..." Fea menoleh mendengar panggilan itu. Di ranjang sisi kanan Arnon, Matias berbaring, dengan kaki dan kanan juga dibalut. Satu tangannya diinfus. Dia memandang Fea dengan tatapan dan nanar, cemas, dan sedih. "Maaf, Bu ... saya tidak bisa menjaga Bapak." Suara pria itu bergetar, sedikit serak. Fea merasa kerongkongannya tercekat. Dia ingin menjawab perkataan Matias, tapi yang bereaksi adalah matanya. Butiran bening dengan cepat mengalir, memenuhi wajahnya yang kuyuh dan cemas. "Bu, maafkan saya ..." Matias mengulan
Tidak ada piihan, Fea terjun ke dunia bisnis. Berat dan juga ada rasa kuatir, sebab dia sadar dia bukan wanita yang pintar dalam bisnis. Apa boleh buat, Fea memacu dirinya sendiri untuk belajar. Dia mulai berkantor untuk mengurus pekerjaan yang selama ini dilakukan Arnon. Dengan berat hati dia tinggalkan si kembar setiap hari dari pagi hingga sore hari. "Maafkan Mama, Nak. Ini bukan yang Mama mau. Tapi Mama tidak punya pilihan. Kalian bersama Oma dan Opa di rumah, mereka pasti sayang kalian." Fea menatap sendu pada kedua putranya yang dengan semangat berjalan masuk ke gerbang sekolah. Hati Fea teriris. Dia mulai merasa kehilangan momen-momen manis setiap hari dengan Arfen dan Fernan. Dan waktu-waktu itu tak bisa ditebus jika keduanya bertumbuh kelak. Fea menghentikan kendaraannya di depan sekolah si kembar. Arfen dan Fernan bersiap turun dari mobil. "Ma, kapan tengok papa lagi?" Fernan bertanya sebelum tangannya membuka pintu mobil. "Hm, hari in
Fea, Arnella, dan Ardiansyah berdiri mematung, tidak bisa percaya mendengar yang dokter katakan. Arnon mengalami gangguan ingatan. Dia kehilangan ingatan masa dewasa. Kenangan yang masih bisa muncul dalam pikirannya saat dia kanak-kanak. Orang yang paling berkesan di hidupnya itu yang dia ingat."Kami akan terus memantau perkembangannya. Kami berharap ini sementara. Bagaimanapun berbagai usaha akan kami lakukan untuk pemulihan Pak Arnon." Dokter berkata sambil memandang wajah tiga keluarga Arnon yang tampak gundah dan cemas."Ini permanen atau bagaimana, Dokter?" tanya Ardiansyah. Dadanya terasa penuh. Dia ingin sekali berteriak karena keadaan yang terjadi semakin menekan saja rasanya."Amnesia seperti ini tidak bisa diprediksi. Ada yang sementara hanya beberapa hari, tetapi ada yang berlangsung lama, bahkan permanen. Yang bisa kami lakukan memberikan obat yang paling mungkin menolong memperbaiki sel otak, jika mungkin diperlukan kami lakukan operasi
Arfen dan Fernan masuk ke kamar tempat Arnon dirawat. Arnon sudah pindah dari ruang IGD. Kedua bocah itu berlari kecil mendekati ranjang Arnon. Mereka berhenti kira-kira tiga meter dan menatap Arnon yang duduk menonton TV di dinding di depan ranjang. Dia tampak serius dengan tayangan yang muncul di layar kaca. "Papa!" panggil Fernan. Arnon tidak bergerak, masih melihat tayangan kartun di layar TV. Fernan melangkah maju. "Papa!" Lebih keras bocah itu memanggil. Sedang Arfen sudah ada di sisinya. Di belakang mereka Arnella dan Ardiansyah memperhatikan. Siang itu sepulang sekolah, si kembar sengaja dibawa ke rumah sakit. Harapan Arnella dengan melihat kembarnya yang lucu dan pintar akan membuat ingatan Arnon cepat kembali. Arnon menoleh. Dia terbelalak kaget karena ada dua anak kecil yang berwajah sama berdiri memandang ke arahnya. "Papa!" Arfen gantian memanggil. "Sudah sembuh?" Arnon menegakkan badannya yang sebelumnya ber
Langkah Fea terhenti di depan kamar Arnon dirawat. Di dalam kamar, dia melihat Arnon sedang asyik bermain dengan Arfen dan Fernan. Terdengar tawa lepas dari bibirnya sambil memutar pesawat mainan yang dia pegang. Wajah Arnon tampak ceria bermain bersama si kembar. Hati Fea terenyuh melihat itu."Mereka teman, Fea. Arnon menjadi teman si kembar. Dia seperti kakak saja buat kedua anaknya. Lihat, wajahnya begitu gembira." Arnella menyambut Fea, memberi kabar apa yang tengah berlangsung di dalam kamar itu."Dia tidak ingat si kembar?" tanya Fea dengan hati perih.Arnella menggeleng. "Dia terpesona melihat dua anak dengan wajah sama berdiri di depannya. Tapi dia sangat senang karena punya teman."Fea melanjutkan langkahnya. Dia mendekati ranjang, Arnella pun sama."Bagusnya, dia ingat aku dan papanya. Meski awalnya dia merasa heran, papa dan mamanya terlihat tua," lanjut Arnella."Ah, baguslah ..." Fea mengangkat wajahnya memandang lurus pada Arn
Kedua mata Arnon tak berkedip. Fea mengatakan janji padanya, tidak akan pernah pergi, mereka akan selalu bersama. Arnon ingat, ingat sekali kejadian itu. Dia sedang sakit, merasa sedih, dan merasa sendirian, merasa tidak ada yang peduli. Hanya Fea dan nenek yang mau memperhatikan dia. Itu yang dia rasakan. Karena itu Arnon meminta Fea untuk tetap bersamanya sampai kapanpun. "Kamu janji?" Arnon memandang masih tanpa kedip. "Iya, Arnon, aku akan terus sama kamu. Sampai tua, sampai kapanpun." Fea mengulang lagi janjinya. Arnon menggenggam erat tangan Fea. Ada senyum kecil di sana, di ujung bibirnya. Perlahan, dia mulai bisa yakin wanita cantik yang selalu datang mengurusnya itu memang Fea. Wati terenyuh menyaksikan adegan itu. Butiran bening tak bsia dia tahan, dia menangis. "Lalu nenek mana?" tanya Arnon, tidak mau dia lepaskan tangan Fea. "Ayo kita duduk di situ." Fea mengajak Arnon duduk di kursi di dapur. Arnon menurut. Mereka duduk b
Tangan Arnon teracung ke arah Fea. Wajahnya tampak sedikit takut. Fea kembali mendekat. Begitu Fea berdiri di sisi ranjang, Arnon memeluk Fea dengan erat. "Nenek tidak ada lagi. Aku ga mau kamu juga pergi. Aku ga mau." Dengan suara sendu, di tengah rasa takut Arnon bicara. "Aku tidak akan pergi, Arnon. Aku gadis kesayangan kamu. Tidak akan aku pergi. Aku janji." Fea membalas pelukan Arnon. Matanya terpejam. Yang muncul di pikiran Fea, saat Arnon menarik dia dalam pelukannya, di pinggir pantai hari itu, Arnon berbisik dia meminta Fea menikah dengannya. Pelukan itu yang Fea rindukan. Pelukan cinta yang besar seorang sahabat yang menyadari dia cinta mati pada sahabatnya. "Temani aku, Fea," pintar Arnon. "Tentu. Aku akan temani kamu." Fea memilih menuruti yang Arnon mau. Arnon melepas Fea dari pelukannya lalu dia rebahkan badannya. Kepalanya masih terasa sesekali berdenyut seperti dipukul-pukul. Arnon memejamk