Fea, Arnella, dan Ardiansyah berdiri mematung, tidak bisa percaya mendengar yang dokter katakan. Arnon mengalami gangguan ingatan. Dia kehilangan ingatan masa dewasa. Kenangan yang masih bisa muncul dalam pikirannya saat dia kanak-kanak. Orang yang paling berkesan di hidupnya itu yang dia ingat.
"Kami akan terus memantau perkembangannya. Kami berharap ini sementara. Bagaimanapun berbagai usaha akan kami lakukan untuk pemulihan Pak Arnon." Dokter berkata sambil memandang wajah tiga keluarga Arnon yang tampak gundah dan cemas.
"Ini permanen atau bagaimana, Dokter?" tanya Ardiansyah. Dadanya terasa penuh. Dia ingin sekali berteriak karena keadaan yang terjadi semakin menekan saja rasanya.
"Amnesia seperti ini tidak bisa diprediksi. Ada yang sementara hanya beberapa hari, tetapi ada yang berlangsung lama, bahkan permanen. Yang bisa kami lakukan memberikan obat yang paling mungkin menolong memperbaiki sel otak, jika mungkin diperlukan kami lakukan operasi
Arfen dan Fernan masuk ke kamar tempat Arnon dirawat. Arnon sudah pindah dari ruang IGD. Kedua bocah itu berlari kecil mendekati ranjang Arnon. Mereka berhenti kira-kira tiga meter dan menatap Arnon yang duduk menonton TV di dinding di depan ranjang. Dia tampak serius dengan tayangan yang muncul di layar kaca. "Papa!" panggil Fernan. Arnon tidak bergerak, masih melihat tayangan kartun di layar TV. Fernan melangkah maju. "Papa!" Lebih keras bocah itu memanggil. Sedang Arfen sudah ada di sisinya. Di belakang mereka Arnella dan Ardiansyah memperhatikan. Siang itu sepulang sekolah, si kembar sengaja dibawa ke rumah sakit. Harapan Arnella dengan melihat kembarnya yang lucu dan pintar akan membuat ingatan Arnon cepat kembali. Arnon menoleh. Dia terbelalak kaget karena ada dua anak kecil yang berwajah sama berdiri memandang ke arahnya. "Papa!" Arfen gantian memanggil. "Sudah sembuh?" Arnon menegakkan badannya yang sebelumnya ber
Langkah Fea terhenti di depan kamar Arnon dirawat. Di dalam kamar, dia melihat Arnon sedang asyik bermain dengan Arfen dan Fernan. Terdengar tawa lepas dari bibirnya sambil memutar pesawat mainan yang dia pegang. Wajah Arnon tampak ceria bermain bersama si kembar. Hati Fea terenyuh melihat itu."Mereka teman, Fea. Arnon menjadi teman si kembar. Dia seperti kakak saja buat kedua anaknya. Lihat, wajahnya begitu gembira." Arnella menyambut Fea, memberi kabar apa yang tengah berlangsung di dalam kamar itu."Dia tidak ingat si kembar?" tanya Fea dengan hati perih.Arnella menggeleng. "Dia terpesona melihat dua anak dengan wajah sama berdiri di depannya. Tapi dia sangat senang karena punya teman."Fea melanjutkan langkahnya. Dia mendekati ranjang, Arnella pun sama."Bagusnya, dia ingat aku dan papanya. Meski awalnya dia merasa heran, papa dan mamanya terlihat tua," lanjut Arnella."Ah, baguslah ..." Fea mengangkat wajahnya memandang lurus pada Arn
Kedua mata Arnon tak berkedip. Fea mengatakan janji padanya, tidak akan pernah pergi, mereka akan selalu bersama. Arnon ingat, ingat sekali kejadian itu. Dia sedang sakit, merasa sedih, dan merasa sendirian, merasa tidak ada yang peduli. Hanya Fea dan nenek yang mau memperhatikan dia. Itu yang dia rasakan. Karena itu Arnon meminta Fea untuk tetap bersamanya sampai kapanpun. "Kamu janji?" Arnon memandang masih tanpa kedip. "Iya, Arnon, aku akan terus sama kamu. Sampai tua, sampai kapanpun." Fea mengulang lagi janjinya. Arnon menggenggam erat tangan Fea. Ada senyum kecil di sana, di ujung bibirnya. Perlahan, dia mulai bisa yakin wanita cantik yang selalu datang mengurusnya itu memang Fea. Wati terenyuh menyaksikan adegan itu. Butiran bening tak bsia dia tahan, dia menangis. "Lalu nenek mana?" tanya Arnon, tidak mau dia lepaskan tangan Fea. "Ayo kita duduk di situ." Fea mengajak Arnon duduk di kursi di dapur. Arnon menurut. Mereka duduk b
Tangan Arnon teracung ke arah Fea. Wajahnya tampak sedikit takut. Fea kembali mendekat. Begitu Fea berdiri di sisi ranjang, Arnon memeluk Fea dengan erat. "Nenek tidak ada lagi. Aku ga mau kamu juga pergi. Aku ga mau." Dengan suara sendu, di tengah rasa takut Arnon bicara. "Aku tidak akan pergi, Arnon. Aku gadis kesayangan kamu. Tidak akan aku pergi. Aku janji." Fea membalas pelukan Arnon. Matanya terpejam. Yang muncul di pikiran Fea, saat Arnon menarik dia dalam pelukannya, di pinggir pantai hari itu, Arnon berbisik dia meminta Fea menikah dengannya. Pelukan itu yang Fea rindukan. Pelukan cinta yang besar seorang sahabat yang menyadari dia cinta mati pada sahabatnya. "Temani aku, Fea," pintar Arnon. "Tentu. Aku akan temani kamu." Fea memilih menuruti yang Arnon mau. Arnon melepas Fea dari pelukannya lalu dia rebahkan badannya. Kepalanya masih terasa sesekali berdenyut seperti dipukul-pukul. Arnon memejamk
Wati berdiri di depan Fea. DIa tersenyum kecil tetapi juga masih ada raut sedih bergelayut di wajahnya. "Kenapa, Mbak?" tanya Fea. Sebenarnya apa yang Arnon mau kali ini. "Tuan Muda minta omelet, Nyonya. Tapi Omelet nenek," jawab Wati. "Omelet nenek?" Fea mengerutkan kening. Dia langsung mengerti apa yang terjadi. "Arnon mengancam tidak mau makan kalau dia tidak dapat omelet nenek?" Wati mengangguk.Maish terbayang di kepalanya senyum kesal Arnon saat dia disuguhi sup ayam untuk makan. "Rania, aku harus pergi. Tunggu sebentar, aku ..." "Kalau ada yang bisa aku bantu, Fea." Rania menawarkan diri. "Baiklah. Kita ke dapur. Aku akan coba memasak omelet buat Arnon. Ala Nenek Ellina." Fea melangkah masuk ke dalam rumah. Wati dan Rania bergegas mengikuti di belakangnya. Fea harus bergegas, jika tidak Arnon bisa berteriak-terika karena marah. Saat dia bocah, memang akan menyebalkan dia melakukan itu. Tetapi itu wajar, dia masih
Riko menatap Arnon yang serius memperhatikan gambar di tangannya. Ekspresi wajahnya tampak campur aduk. Ada senyum, tapi juga jelas dia sedang berpikir sementara matanya tidak beralih dari gambar itu. Gambar seorang anak laki-laki dan perempuan yang bergandengan tangan."Ini gambar Fea." Arnon mengangkat mukanya dan melihat pada Riko. Arnon tidak lupa seperti apa coretan Fea di atas kertas. "Bapak dapat gambar ini dari mana?""Kamu membawa gambar itu ke kantor, Arnon. Ada di atas meja kerja kamu. Bahkan sejak masih depot kecil yang kamu punya, gambar itu juga ada di mejamu." Riko berusaha mengingatkan Arnon tentang gambar itu.Arnon memejamkan matanya. Sesuatu menggelitik di dadanya. Ada sekelebatan bayangan senyum gadis kecil sedang menyodorkan gambar itu padanya. Arnon bisa ingat saat pertama Fea memberikan gambar itu. Yang dia tidak ingat, dia membawanya ke meja di kantor. Kantor apa? Arnon saja masih bocah, masih sekolah."Bapak pasti salah. Aku
Tangan Fea memeluk Arnon yang tertidur lelap. Setelah akhirnya kerinduan tertuang hingga tuntas, Arnon benar-benar pulas. Fea memandang wajah Arnon dan mengusap pipinya pelan. Arnon belum pulih, tapi dia bisa bersikap sebagai pria dewasa, sebagai suami Fea. "Terima kash, Ar. Aku tahu kamu merasa seperti sedang melakukan malam pertama. Kamu sedikit bingung dan canggung. Aneh sekali." Fea bergumam lirih. "Kuharap apa yang terjadi malam ini akan membuka ingatan kamu. Kita sudah disatukan sekian lama, cinta kita sangat kuat. Yang terjadi kali ini tidak akan mengubah cinta itu. Aku yakin." Fea masih menatap wajah tampan Arnon yang masih membuat Fea terpesona. "Aku bisa tidur di sisi kamu, memelukmu. Sejak kamu pulang dari rumah sakit, aku tidur di kamar sebelah dengan anak-anak. Sesekali aku hanya bisa mencium kening dan pipimu saat kamu tidur. Andaikan, saat kamu bangun kamu ingat semuanya. Andaikan." Fea kembali merangkul pinggang Arnon dan memejamkan mata
Mata Arnon tidak berkedip. Dia memperhatikan satu demi satu foto, lembar demi lembar dari tumpukan album kenangan. Arnella memberikan semua album yang dia simpan sejak Arnon bayi hingga dia menginjak dewasa. Arnon mencoba menelusuri semua ingatannya dengan melihat kenangan yang tersimpan melalui foto-foto itu. "Kamu bisa ingat yang mana, Arnon?" Arnella bertanya. Arnon menoleh. "Banyak, tapi melompat-lompat di kepalaku, Ma. Aku bingung." "Baiklah. Jangan kamu paksakan. Fokus pada yang paling kamu ingat saja," kata Arnella. Arnon termenung. Pikirannya justru tertarik pada situasi yang terjadidi rumah itu. Dia ingat sekali, saat dia kecil, papanya jarang di rumah. Tapi sejak dia pulang dari rumah sakit, Ardiansyah setiap hari muncul. Buat Arnon itu sesuatu yang aneh. "Ma, papa tidak pulang ke rumah Nyonya satu dan dua?" Arnon bertanya. Arnella tidak langsung menjawab. Pertanyaan Arnon pendek, tetapi perlu jawaban panjang. Arnella berpiki