Fea yang baru muncul tahu mengapa Arnon cukup kaget dengan ucapan Fernan. Dia tersenyum dan menghampiri suaminya.
"Ada kisah serunya, Ar. Tanya saja dua kembar kita."
"Oya?" Arnon menoleh pada Fea.
Fea bergeser menyambut Sherlita dan Robby. Memeluk mereka dengan hangat, penuh kelegaan. Yang lalu, terakhir kali mereka bertemu Robby dan Sherlita sedang bersitegang karena keusilan wanita yang terobsesi dengan Robby. Hampir saja pernikahan mereka buyar. Melihat keduanya kembali mesra, hati Fea terasa sejuk.
"Bagus kalian datang pas mau makan malam. Yuk, sekalian. Sambil ngobrol, sambil kangen-kangenan." Fea mengajak mereka ke ruang makan.
Suasana meriah berlanjut di meja makan. Apalagi Arnella dan Ardiansyah ikut bergabung dengan mereka. Cerita ini dan itu membuat kegembiraan lengkap. Termasuk cerita si kembar tentang teman-temannya di panti. Mereka punya teman baru yang menyenangkan dan akan jadi teman selamanya.
Arnon seolah-olah dibawa
Fea tidak bisa menahan keinginan Wati untuk ikut menemui Bu Tinah di panti. Fea tetap minta Wati tidak bicara apa-apa lebih dulu tentang pertemuan dengan Bu Tinah selama di rumah. Mereka akan pergi ke panti sepulang Sherlita dan Robby dari bulan madu kedua mereka.Sementara menunggu waktu itu, Fea berkomunikasi dengan Bu Tinah. Dia bicara tentang hal-hal biasa, kabar, kegiatan, dan soal-soal umumnya hari-hari yang yang mereka lalui. Juga Fea menanyakan Danar. Dan benar, Danar memant anak kedua Bu Tinah, yang ditinggal pergi suaminya saat dalam kandungan."Dia senang sekali bisa berkenalan dengan anak kamu, Fea. Danar bilang anak-anak kamu lucu seperti boneka. Kalau dia punya adik pingin seperti itu. Aku tertawa saja mendengar Danar cerita tentang anak-anak kamu." Itu yang Bu Tinah ucapkan saat bertelpon dengan Fea."Iya, Bu. Siapa yang menduga kan, anak-anak kita bisa berteman," kata Fea. "Oya, Bu, kalau di panti apa yang paling diperlukan selain kebutuhan sehar
Panti masih ramai dengan suara anak-anak bermain. Si kembar tampak senang di antara anak-anka itu. Bahkan Robby, Sherlita, dan Arnon tidak canggung ikut bermain dengan mereka. Sedangkan Fea, Wati, dan Tinah, duduk di taman samping melanjutkan kisah lama yang belum tuntas dikupas. "Setelah suamiku meninggal, aku kacau. Aku bingung dan panik. Dengan anak masih bocah, lalu bayi dalam kandungan, aku tidak tahu harus berbuat apa. Di tengah keputusasaan aku tidak sengaja bertemu Bu Liani, pimpinan panti ini. Saat itu aku sedang memeriksakan kandungan, yang terakhir kali menurut pikiranku. "Bu Liani begitu baik dan ramah. Tanpa sengaja saja kami berbincang, bercerita, hingga dia mengetahui keadaanku. Dia dengan tangan terbuka mengajak aku ke sini. Aku boleh bekerja di sini, tinggal selama kapanpun aku mau." Air mata menitik di ujung mata Tinah. "Tuhan tak pernah terlambat memberi pertolongan, meskipun tampaknya sangat lambat." Wati menyahut. "Mbak Wati benar
Arnon dan Fea tersenyum lebar. Kedua kembar mereka terlalu senang karena punya teman baru dari panti. Teman-teman di sekolah seperti jadi kurang berarti saja bagi mereka. Fea maklum sekali, karena si kembar memang tidak punya teman selain yang dikenal di sekolah atau beberapa teman dari anak-anak relasi Arnon dan Fea. Karena itu saat punya teman baru dengan lingkungan berbeda pasti sesuatu yang istimewa buat mereka."Baiklah, baiklah. Nanti kita atur, ya? Kalian mau buat acara bagaimana? Biar Papa dan Mama siapkan." Arnon mengiyakan saja keinginan Arfen."Papa, pesta es krim. Pasti seru," ujar Fernan. "Sama ... mandi bola ..."Orang-orang dewasa di sekitar dua kembar itu senyum-senyum. Mereka mendengarkan saja mereka mengungkapkan apa yang muncul di pikiran mereka. Bagus buat mereka, berimajinasi dan mengembangkan daya pikir mereka.Usai makan malam, Sherlita dan Robby pamit kembali ke hotel. Mereka akan pulang keesokan harinya lalu menyiapkan semua berka
Fea mengubah panggilan suara ke video. Dia ingin melihat wajah Sherlita dan memastikan yang dia pikirkan tentang kendala soal adopsi dari panti itu benar."Apa yang masih belum beres?" tanya Fea."Sebenarnya tidak ada yang terlalu rumit. Pengacaraku sudah mengurus semuanya. Dia bilang semua aman saja. Tapi, ternyata masih perlu masa percobaan untuk aku dianggap layak jadi mama Davis. Setidaknya empat bulan. Lalu dipantau lagi perkembangan dia sampai enam bulan. Beneran diserahkan kalau udah dua tahun. Kesal nggak, sih?" Sherlita sedikit menggerutu karena aturan yang dia terima mengenai proses pengadopsian anak."Oh, sampai begitu?" Fea juga tidak mengira ternyata butuh waktu lama baru si anak bisa sepenuhnya jadi tanggung jawab orang tua yang mengadopsi."Serius. Apa mungkin kami main-main pingin merawat anak? Ga sabar aku, Fea." Sherlita masih belum lega."Bukannya dulu, Om Lukman dan Tante Lovi juga sama, ya? Waktu kamu mereka bawa pulang?" Fea m
"Pak Rahmat! Samir!" Suara keras Arnon menggelegar ke seluruh ruangan di rumah besar itu.Samir dan Rahmat tergopoh-gopoh datang menemui Arnon."Ya, Tuan Muda!" sahut keduanya sambil berdiri berjajar di depan Arnon."Segera urus dengan sekuriti. aku tidak mau sampai pers akan mengganggu para tamu. Sudah paham yang aku maksudkan?" Arnon tidak mau berpanjang lidah."Siap, Boss! Kalau macam-macam, mereka dituntut, kan?" Samir langsung menimpali cepat."Ya. Kalau sampai berita miring yang muncul, aku ga tanggung-tanggung kejar mereka. Itu pasti," jelas Arnon. "Sekarang silakan diurus, aku mau mandi. Gerah banget rasanya.""Siap, Boss!" Kedua pria itu mengangkat tangan memberi hormat.Arnon berbalik dan melangkah cepat menuju ke lantai atas, ke kamarnya."Siapa yang bikin ulah, siapa yang repot." Samir menggerutu."Orang punya duit itu bebas. Ga usah ngiri. Ntra kalau kamu udah kaya, bikin juga yang lebih seru. Buat hutan saa
"Nyonya, kapan saja, bisa hubungi saya. Atau, jika Nyonya tidak keberatan, saya bisa kontak, ya?" Herni yang masih di tempatnya mengulurkan tangan, bersalaman dengan Fea dan Sherlita."Tentu, Bu. Silakan saja." Sherlita mengangguk sambil tersenyum."Eh, kalau ada rekan atau keluarga mungkin ingin mengadopsi anak ..." Herni sedikit ragu mengutarakan kata-katanya."Oh, ya ... nanti juga kami hubungi." Dengan cepat Sherlita menjawab."Baik, saya permisi. Terima kasih." Herni berbalik dan menyusul segera ke dalam mobil.Fea dan Sherlita melambai hingga kendaraan yang mengantar rombongan itu meninggalkan halaman rumah besar. Arnon dan Robby sudah mengarahkan langkah balik ke dalam rumah."Davis sudah tidur?" tanya Fea."Yup. Dan si kembar tidak mau pergi. Mereka menungggui Davis yang terlelap. Beneran mereka pingin adik, Fea." Sherlita menggoda Fea."Ah, mulai lagi," sahut Fea dengan senyum tersungging di bibirnya.
"Ya, Arnon? Kenapa?" Fea menarik nafas panjang. Dia menetralkan dadanya, masih terkejut mendapat telpon tiba-tiba. "Fea, aku kena masalah!" Suara Arnon tedengar cemas. "Bisa bantu aku, please!?" "Arnon! Ada apa?" Dengan cepat Fea berdiri. Tidak tahu apa yang terjadi tapi Fea tiba-tiba saja menjadi cemas. Jika tidak serius, Arnon tidak akan memberi kabar dengan cara mengejutkan begini. "Kamu ke bandara sekarang, tidak ada waktu. Aku tidak bisa jelaskan di telpon. Waktuku tidak banyak, Fea." Arnon menjawab cepat, masih dengan suara cemas. "Bandara!? Arnon? Ada apa?" Fea makin bingung. "Pergi saja. Nanti aku jelaskan. Aku tunggu, Fea!" Dan Arnon menutup telpon. Fea terduduk. Dengan tanagn sedikit gemetar. Ada apa ini? "Ya Tuhan ... apa yang terjadi?" Fea berucap dengan memegang dadanya. Dia seketika ingat kecelakaan yang Arnon alami. Kecelakaan yang hampir merenggut nyawa Arnon. Dia hilang ingatan dan berbulan-bulan baru bis
Wajah Fea menoleh cepat ke arah pintu. Seseorang berdiri di sana. Fea berdiri dan memandang pada pria itu. Pria setengah baya, kira-kira hampir seusia Riko. "Selamat pagi, Pak. Saya Fernita Hendrawan. Suami saya menghubungi menyampaikan dia ada masalah. Bisakah beritahu saya apa yang terjadi?" Dengan cepat Fea bicara. Tidak sabar dia ingin segera tahu ada apa dengan Arnon. "Ibu, bisakah Ibu duduk sebentar. Saya tidak biasa bicara sesuatu yang serius dengan berdiri. Mari, silakan." Pria itu menunjuk ke kursi, lalu dia sendiri memutar langkahnya, dia duduk di kuris di belakang meja kerjanya. "Ah, baik." Dengan cepat juga Fea duduk. Dia silangkan kaki kanan di atas lutut. Kedua tangannya menangkup lututnya dan memandang pada pria itu. "Tuan Arnon Hendrawan." Santai, tenang, pria itu menyebut nama Arnon. "Ya, itu suami saya," sahut Fea. Dia memandang oria itu dengan harap-harap cemas. Kasus apa yang membelit Arnon? "Apa Tuan Arnon sama sek