Fea mengubah panggilan suara ke video. Dia ingin melihat wajah Sherlita dan memastikan yang dia pikirkan tentang kendala soal adopsi dari panti itu benar.
"Apa yang masih belum beres?" tanya Fea.
"Sebenarnya tidak ada yang terlalu rumit. Pengacaraku sudah mengurus semuanya. Dia bilang semua aman saja. Tapi, ternyata masih perlu masa percobaan untuk aku dianggap layak jadi mama Davis. Setidaknya empat bulan. Lalu dipantau lagi perkembangan dia sampai enam bulan. Beneran diserahkan kalau udah dua tahun. Kesal nggak, sih?" Sherlita sedikit menggerutu karena aturan yang dia terima mengenai proses pengadopsian anak.
"Oh, sampai begitu?" Fea juga tidak mengira ternyata butuh waktu lama baru si anak bisa sepenuhnya jadi tanggung jawab orang tua yang mengadopsi.
"Serius. Apa mungkin kami main-main pingin merawat anak? Ga sabar aku, Fea." Sherlita masih belum lega.
"Bukannya dulu, Om Lukman dan Tante Lovi juga sama, ya? Waktu kamu mereka bawa pulang?" Fea m
"Pak Rahmat! Samir!" Suara keras Arnon menggelegar ke seluruh ruangan di rumah besar itu.Samir dan Rahmat tergopoh-gopoh datang menemui Arnon."Ya, Tuan Muda!" sahut keduanya sambil berdiri berjajar di depan Arnon."Segera urus dengan sekuriti. aku tidak mau sampai pers akan mengganggu para tamu. Sudah paham yang aku maksudkan?" Arnon tidak mau berpanjang lidah."Siap, Boss! Kalau macam-macam, mereka dituntut, kan?" Samir langsung menimpali cepat."Ya. Kalau sampai berita miring yang muncul, aku ga tanggung-tanggung kejar mereka. Itu pasti," jelas Arnon. "Sekarang silakan diurus, aku mau mandi. Gerah banget rasanya.""Siap, Boss!" Kedua pria itu mengangkat tangan memberi hormat.Arnon berbalik dan melangkah cepat menuju ke lantai atas, ke kamarnya."Siapa yang bikin ulah, siapa yang repot." Samir menggerutu."Orang punya duit itu bebas. Ga usah ngiri. Ntra kalau kamu udah kaya, bikin juga yang lebih seru. Buat hutan saa
"Nyonya, kapan saja, bisa hubungi saya. Atau, jika Nyonya tidak keberatan, saya bisa kontak, ya?" Herni yang masih di tempatnya mengulurkan tangan, bersalaman dengan Fea dan Sherlita."Tentu, Bu. Silakan saja." Sherlita mengangguk sambil tersenyum."Eh, kalau ada rekan atau keluarga mungkin ingin mengadopsi anak ..." Herni sedikit ragu mengutarakan kata-katanya."Oh, ya ... nanti juga kami hubungi." Dengan cepat Sherlita menjawab."Baik, saya permisi. Terima kasih." Herni berbalik dan menyusul segera ke dalam mobil.Fea dan Sherlita melambai hingga kendaraan yang mengantar rombongan itu meninggalkan halaman rumah besar. Arnon dan Robby sudah mengarahkan langkah balik ke dalam rumah."Davis sudah tidur?" tanya Fea."Yup. Dan si kembar tidak mau pergi. Mereka menungggui Davis yang terlelap. Beneran mereka pingin adik, Fea." Sherlita menggoda Fea."Ah, mulai lagi," sahut Fea dengan senyum tersungging di bibirnya.
"Ya, Arnon? Kenapa?" Fea menarik nafas panjang. Dia menetralkan dadanya, masih terkejut mendapat telpon tiba-tiba. "Fea, aku kena masalah!" Suara Arnon tedengar cemas. "Bisa bantu aku, please!?" "Arnon! Ada apa?" Dengan cepat Fea berdiri. Tidak tahu apa yang terjadi tapi Fea tiba-tiba saja menjadi cemas. Jika tidak serius, Arnon tidak akan memberi kabar dengan cara mengejutkan begini. "Kamu ke bandara sekarang, tidak ada waktu. Aku tidak bisa jelaskan di telpon. Waktuku tidak banyak, Fea." Arnon menjawab cepat, masih dengan suara cemas. "Bandara!? Arnon? Ada apa?" Fea makin bingung. "Pergi saja. Nanti aku jelaskan. Aku tunggu, Fea!" Dan Arnon menutup telpon. Fea terduduk. Dengan tanagn sedikit gemetar. Ada apa ini? "Ya Tuhan ... apa yang terjadi?" Fea berucap dengan memegang dadanya. Dia seketika ingat kecelakaan yang Arnon alami. Kecelakaan yang hampir merenggut nyawa Arnon. Dia hilang ingatan dan berbulan-bulan baru bis
Wajah Fea menoleh cepat ke arah pintu. Seseorang berdiri di sana. Fea berdiri dan memandang pada pria itu. Pria setengah baya, kira-kira hampir seusia Riko. "Selamat pagi, Pak. Saya Fernita Hendrawan. Suami saya menghubungi menyampaikan dia ada masalah. Bisakah beritahu saya apa yang terjadi?" Dengan cepat Fea bicara. Tidak sabar dia ingin segera tahu ada apa dengan Arnon. "Ibu, bisakah Ibu duduk sebentar. Saya tidak biasa bicara sesuatu yang serius dengan berdiri. Mari, silakan." Pria itu menunjuk ke kursi, lalu dia sendiri memutar langkahnya, dia duduk di kuris di belakang meja kerjanya. "Ah, baik." Dengan cepat juga Fea duduk. Dia silangkan kaki kanan di atas lutut. Kedua tangannya menangkup lututnya dan memandang pada pria itu. "Tuan Arnon Hendrawan." Santai, tenang, pria itu menyebut nama Arnon. "Ya, itu suami saya," sahut Fea. Dia memandang oria itu dengan harap-harap cemas. Kasus apa yang membelit Arnon? "Apa Tuan Arnon sama sek
Tepuk tangan terdengar dari orang-orang yang ada di dalam kabin pesawat itu. Fea mengangkat wajahnya. Kedua pipinya basah karena menangis. Dia melihat ke sekelilingnya. "Selamat hari pernikahan, Nyonya Hendrawan. Kita akan segera memulai perjalanan kita." Salah satu pria yang tadi berjalan di belakang Fea, bicara denagn senyum lebar. "Jadi ... semua ini ..." Fea masih merasa gemetar. Tangannya begitu dingin, suaranya pun belum normal. Dia menoleh pada Arnon yang juga belum melepas pelukan di pinggang Fea. "Kejutan buat wanita paling istimewa. Istriku tercinta." Arnon mengusap pipi Fea yang basah. "Kamu bisa tega kayak gitu sama aku, Ar." Fea memegang tangan Arnon yang masih menyentuh pipinya. "Kamu ga tahu rasa hatiku? Aku benar-benar panik, bingung, kuatir ... Segala macam campur aduk. Astaga ..." "Kru pesawat ini luar biasa, kan? Kamu tidak terpikir sama sekali kalau ini hanya settingan?" Arnon tersenyum lebar. "Nggak. Sa
Menjelajah salah satu negeri cantik, Fea masih juga terpesona dengan sekelilingnya. Ke mana juga dia dan Arnon pergi, Fea terus saja berdecak kagum. Alam, bangunan, penataan kota, dan yang lainnya, membuat sangat nyaman untuk menikmati waktu berdua. Hari terakhir, perjalanan mereka menjelajah desa cantik Mevagissey. Fea sangat menikmati keasrian desa yang rapi dan bersih. Masih terasa suasana abad 18 yang menarik. Dengan pelabuhan kecilnya, benar-benar menakjubkan. Selama perjalanan itu, seorang pemandu wisata cantik, masih cukup muda menyertai perjalanan Arnon dan Fea. Dia menunjukkan berbagi tempat bersejarah di desa itu. Berbagai fungsi bangunan dan bagaimana kehidupan yang terkesan kuno bisa sejalan dengan perkembangan zaman yang makin maju. "Wow, all is amazing." Arnon sangat terpukau dengan semua yang dijelaskan pemandu wisata itu. Apalagi saat bicara tentang kuliner, Arnon semakin bersemangat. Dalam perjalanan itu tampak keduanya makin ak
"Akhirnya ..." Fea turun dari mobil.Dia pandangi sekelilingnya. Kembali ke rumah besar, kembali pada kenyataan hidupnya."Sudah kangen rumah? Aku masih mau lebih lama berkelana denganmu." Arnon berdiri di sisi Fea."Kangen kesayangan kita. Pingin peluk dan ucel-ucel mereka." Senyum Fea melebar."Kenapa sepi, ya? Apa mereka tidak di rumah?" Arnon merasa aneh. Jika anak-anak di rumah, biasanya terdengar seruan dan teriakan. Entah mereka gembira atau sedang bertengkar."Selamat sore, Tuan Muda, Nyonya Muda!" Rahmat yang menyambut Arnon dan Fea."Pak Rahmat!" Arnon menoleh. "Mana anak-anak?""Mereka ke rumah sakit, Tuan Muda." Rahmat mengangkat koper Arnon dan Fea."Rumah sakit?" Fea dan Arnon bersamaan menyahut."Arfen atau Fernan yang sakit?" Seketika Fea menghentikan langkah. Tentu saja dia sangat terkejut. Tidak dapat berita apapun sebelum mereka kembali pulang, kenapa saat tiba di rumah justru kabar buruk yang di
"Hai, Sher ... Kenapa?" Fea keluar kamar, menerima telpon dari Sherlita."Fea, Davis rewel terus. Ga bisa tidur. Minum susu udah, Aku kipas-kipas biar ga kepanasan udah. Aku cek dia ga pup, ga juga pipis. Bingung aku. Nangis terus. Gimana ini?" Terdengar Sherlita bingung dengan bayinya."Masuk angin kali, Sher. Perutnya kembung, ga?" Fea mencoba menduga."Bentar, aku lihat." Sherlita menjawab.Fea menunggu, sambil dia melangkah menuju ke ruang makan. Fea menghampiri kulkas, mengambil susu UHT dan menuang ke gelas yang ada di meja."Kayaknya nggak, deh. Duh, kenapa, ya? Kasihan banget ini." Sherlita cemas."Hmm ..." Fea meletakkan kotak susu di meja. Dia duduk sambil memegang gelasnya. "Periksa di kakinya, apa ada ruam.""Kaki ..." Sherlita belum terlalu paham. Fea menjelaskan lagi yang dia maksud."Astaga, benar. Aduh, kok bisa gitu, Fea? Lalu gimana ini?" Sherlita terdengar makin cemas."Tenang, Sher. Itu wajar sa