Menjelajah salah satu negeri cantik, Fea masih juga terpesona dengan sekelilingnya. Ke mana juga dia dan Arnon pergi, Fea terus saja berdecak kagum. Alam, bangunan, penataan kota, dan yang lainnya, membuat sangat nyaman untuk menikmati waktu berdua.
Hari terakhir, perjalanan mereka menjelajah desa cantik Mevagissey. Fea sangat menikmati keasrian desa yang rapi dan bersih. Masih terasa suasana abad 18 yang menarik. Dengan pelabuhan kecilnya, benar-benar menakjubkan.
Selama perjalanan itu, seorang pemandu wisata cantik, masih cukup muda menyertai perjalanan Arnon dan Fea. Dia menunjukkan berbagi tempat bersejarah di desa itu. Berbagai fungsi bangunan dan bagaimana kehidupan yang terkesan kuno bisa sejalan dengan perkembangan zaman yang makin maju.
"Wow, all is amazing." Arnon sangat terpukau dengan semua yang dijelaskan pemandu wisata itu.
Apalagi saat bicara tentang kuliner, Arnon semakin bersemangat. Dalam perjalanan itu tampak keduanya makin ak
"Akhirnya ..." Fea turun dari mobil.Dia pandangi sekelilingnya. Kembali ke rumah besar, kembali pada kenyataan hidupnya."Sudah kangen rumah? Aku masih mau lebih lama berkelana denganmu." Arnon berdiri di sisi Fea."Kangen kesayangan kita. Pingin peluk dan ucel-ucel mereka." Senyum Fea melebar."Kenapa sepi, ya? Apa mereka tidak di rumah?" Arnon merasa aneh. Jika anak-anak di rumah, biasanya terdengar seruan dan teriakan. Entah mereka gembira atau sedang bertengkar."Selamat sore, Tuan Muda, Nyonya Muda!" Rahmat yang menyambut Arnon dan Fea."Pak Rahmat!" Arnon menoleh. "Mana anak-anak?""Mereka ke rumah sakit, Tuan Muda." Rahmat mengangkat koper Arnon dan Fea."Rumah sakit?" Fea dan Arnon bersamaan menyahut."Arfen atau Fernan yang sakit?" Seketika Fea menghentikan langkah. Tentu saja dia sangat terkejut. Tidak dapat berita apapun sebelum mereka kembali pulang, kenapa saat tiba di rumah justru kabar buruk yang di
"Hai, Sher ... Kenapa?" Fea keluar kamar, menerima telpon dari Sherlita."Fea, Davis rewel terus. Ga bisa tidur. Minum susu udah, Aku kipas-kipas biar ga kepanasan udah. Aku cek dia ga pup, ga juga pipis. Bingung aku. Nangis terus. Gimana ini?" Terdengar Sherlita bingung dengan bayinya."Masuk angin kali, Sher. Perutnya kembung, ga?" Fea mencoba menduga."Bentar, aku lihat." Sherlita menjawab.Fea menunggu, sambil dia melangkah menuju ke ruang makan. Fea menghampiri kulkas, mengambil susu UHT dan menuang ke gelas yang ada di meja."Kayaknya nggak, deh. Duh, kenapa, ya? Kasihan banget ini." Sherlita cemas."Hmm ..." Fea meletakkan kotak susu di meja. Dia duduk sambil memegang gelasnya. "Periksa di kakinya, apa ada ruam.""Kaki ..." Sherlita belum terlalu paham. Fea menjelaskan lagi yang dia maksud."Astaga, benar. Aduh, kok bisa gitu, Fea? Lalu gimana ini?" Sherlita terdengar makin cemas."Tenang, Sher. Itu wajar sa
Fea masih menunggu di depan ruangan itu. Suara tangis bayi tak lagi terdengar. Fea makin penasaran, tapi tidak bisa melakukan yang lain, kecuali menunggu. Hingga hampir dua puluh menit berlalu, pintu ruangan terbuka. Fea menoleh cepat ke arah pintu dan melihat Irvan berdiri di sana dengan bayi mungil dalam gendongannya."Oh, my God ..." Fea dengan cepat menghampiri dan melihat bayi kecil itu."Dia lucu sekali. Kulitnya merah, rambutnya hitam dan halus," kata Fea penuh rasa kagum."Laki-laki, Fea. Lengkap sudah. Aku punya Mutiara dan sekarang Tuhan kirimkan Bima Perkasa. Dia akan jadi anak yang kuat." Irvan menatap bayinya dengan penuh sayang."Ah, nama yang bagus." Fea tersenyum. "Lalu Stefi?""Sebentar lagi akan dipindah ke ruangan. Aku akan bawa Bima ke kamar lebih dulu," jawab Irvan."Baiklah, aku akan temani Stefi. Selamat ya, buat kelahiran Bima," kata Fea dengan hati penuh kegembiraan."Thank you." Irvab meneruskan langkahnya. B
"Terima kasih banyak. Kalian repot-repot datang. Saya tahu kalian pasti sibuk, apalagi Pak Arnon." Bu Liani menyalami Arnon dan Fea. "Kami senang bisa datang lagi, Bu. Si kembar juga lama tidak bertemu teman-temannya di sini." Fea tersneyum. Jadi juga akhirnya Arnon ikut mengantar si kembar datang ke panti membawakan hadiah ulang tahun buat Ivo. Bocah manis dengan rambut sepunggung itu genap tujuh tahun. Dia sangat senang mendapat hadiah ulang tahun dari si kembar. "Anak-anak di sini tidak biasa merayakan ulang tahun. Kami hanya bernyanyi dan berdoa bersama untuk mereka yang ulang tahun. Sengaja saya tidak biasakan, sebab tidak selalu ada berkat lebih. Saya kuatir jika satu dapat acara, yang lain tidak, maka mereka akan timbul rasa iri." Liani menjelaskan kebiasaan di panti itu. "Ya, bisa dipahami, Bu. Justru aku jadi tidak enak. Apa tidak cemburu yang lain, karena hari ini Ivo dapat kiriman hadiah ulang tahun?" Arnon melihat ke arah Ivo dan si kembar. Bersama beberapa teman lain,
"Pertolongan di antara teman itu wajar, aku setuju. Tetapi yang kamu dan Arnon lakukan, itu luar biasa. Karena kalian melakukannya bukan saat keadaan kalian baik-baik saja. Kalian masih memikirkan orang lain. Berkorban begitu banyak." Rania meneruskan apa yang lama tersimpan di hatinya.Fea dan Arnon saling memandang."Aku sangat mengerti kalau rumah ini, rumah yang pasti sangat melekat untuk kamu, Fea. Rumah ini tanda cinta Arnon buat kamu." Rania melihat pada Fea dan Arnon. "Ya, meski awalnya aku sempat merasa Arnon tidak serius dengan cintanya, hanya tidak mau kehilangan sahabat kecilnya ..."Arnon mengernyit menatap Rania."Sorry, kamu boleh tersinggung." Rania mengangkat kedua tangannya. "Aku harus jujur, aku takut Fea hanya terluka karena kamu. Ya, gimana ... waktu itu kamu ...""Playboy cap onta. Aku tahu julukanku dari kamu." Arnon tersenyum sambil melirik Rania."Maafkan aku, Arnon ..." ujar Rania merasa tidak enak juga."Itu
Fea memandang pada Herni. Dalam gendongan wanita itu ada seorang anak laki-laki, kira-kira usia tujuh tahun. Dia memeluk Herni dengan senyum lebar, bergelayut manja.Herni menurunkan bocah itu. "Didin, main di sana, ya? Boleh main lego. Nanti Ibu lihat kamu buat bangunan.""Oke." Mengangguk dengan senyum lebar, lalu anak laki-laki itu bergegas menuju ke tengah ruangan mengambil kotak mainannya."Kami sayang anak-anak, Bu Fea. Yang terbaik yang kami akan lakukan. Jika kami merasa sada sesuatu yang ternyata akan merugikan anak-anak, kami tentu tidak akan melepaskan mereka ke tangan orang lain." Herni meneruskan penjelasannya.Fea tersenyum mendengar yang Herni ucapkan."Kami juga menekankan pada anak-anak. Mereka memang tinggal di panti asuhan. Tetapi kita di sini adalah keluarga. Ini rumah mereka. Mereka tidak akan merasa terbuang dan tersisihkan, sebab mereka punya orang tua yang sayang pada mereka." Bu Liani manambahkan."Senang sekali mend
Jam enam sore, Arnon belum juga tiba di rumah. Fea sedikit gelisah. Arnon tidak ada memberi kabar akan pulang lambat. Apakah ada sesuatu tiab-tiba di kantornya? Fea mengirim pesan dan bertanya. Hingga beberapa lama belum ada balasan juga. Kesimpulan Fea, Arnon memang sibuk. Fea tidak sabar, dia menghubungi ke kantor, diterima pegawai front office. Ternyata ada tamu mendadak, sehingga Arnon harus menemui mereka. Fea menenangkan hatinya. Yang penting bukan karena ada masalah. Fea memanggil si kembar, mengajak mereka makan malam bersama. Rencana Fea ingin mengajak makan malam Arnon juga, lalu memulai kejutan khusus malam itu. Sayang, langkah pertama harus tertunda. "Tenang ... pasti bisa. Keep fighting, Fea." Fea menyemangati dirinya. Makan malam berlalu. Anak-anak sudah sibuk di kamar, ditemani Fea mengerjakan tugas mewarna. Setiap sekian menit Fea menengok ke arloji di tangannya, gelisah, Arnon tidak juga datang. "Mama, ini ... udah," kata Fernan sambil menyodorkan pekerjaannya. "
Arnon Fea membuka mata. Dia merasakan sentuhan lembut di bibirnya. Arnon ada di depannya tersenyum manis."Pagi, Sayang. Kamu capek sekali? Sampai tidak bisa bangun.""Hah?" Fea bergegas bangun dan duduk. "Jam berapa ini?""Setengah delapan." Arnon duduk di sisi Fea."Astaga. Bagaimana bisa aku ga sadar? Sekolah? Si kembar ...""Ini tanggal merah. Mereka libur." Arnon tersenyum."Aishh, aku sampai lupa hari." Fea merasa konyol."Itulah kenapa, aku kemarin mau saja menerima tamu sampai malam. Karena hari ini libur dan terlalu lama urusan jika ditunda sampai besok." Arnon mengambil nampan yang ada di atas nakas. Dia letakkan di depan Fea."Sesekali sarapan di kamar, boleh juga, kan?" Arnon tersenyum."Roti bakar, coklat panas. Terima kasih, Ar. Suami idaman sekali." Fea tampak senang."Thank you," sahut Arnon."Kita berdoa dulu." Fea menundukkan kepala. Arnon mengikutinya. Fea menaikkan doa syukur dan m