Fea masih menunggu di depan ruangan itu. Suara tangis bayi tak lagi terdengar. Fea makin penasaran, tapi tidak bisa melakukan yang lain, kecuali menunggu. Hingga hampir dua puluh menit berlalu, pintu ruangan terbuka. Fea menoleh cepat ke arah pintu dan melihat Irvan berdiri di sana dengan bayi mungil dalam gendongannya.
"Oh, my God ..." Fea dengan cepat menghampiri dan melihat bayi kecil itu.
"Dia lucu sekali. Kulitnya merah, rambutnya hitam dan halus," kata Fea penuh rasa kagum.
"Laki-laki, Fea. Lengkap sudah. Aku punya Mutiara dan sekarang Tuhan kirimkan Bima Perkasa. Dia akan jadi anak yang kuat." Irvan menatap bayinya dengan penuh sayang.
"Ah, nama yang bagus." Fea tersenyum. "Lalu Stefi?"
"Sebentar lagi akan dipindah ke ruangan. Aku akan bawa Bima ke kamar lebih dulu," jawab Irvan.
"Baiklah, aku akan temani Stefi. Selamat ya, buat kelahiran Bima," kata Fea dengan hati penuh kegembiraan.
"Thank you." Irvab meneruskan langkahnya. B
"Terima kasih banyak. Kalian repot-repot datang. Saya tahu kalian pasti sibuk, apalagi Pak Arnon." Bu Liani menyalami Arnon dan Fea. "Kami senang bisa datang lagi, Bu. Si kembar juga lama tidak bertemu teman-temannya di sini." Fea tersneyum. Jadi juga akhirnya Arnon ikut mengantar si kembar datang ke panti membawakan hadiah ulang tahun buat Ivo. Bocah manis dengan rambut sepunggung itu genap tujuh tahun. Dia sangat senang mendapat hadiah ulang tahun dari si kembar. "Anak-anak di sini tidak biasa merayakan ulang tahun. Kami hanya bernyanyi dan berdoa bersama untuk mereka yang ulang tahun. Sengaja saya tidak biasakan, sebab tidak selalu ada berkat lebih. Saya kuatir jika satu dapat acara, yang lain tidak, maka mereka akan timbul rasa iri." Liani menjelaskan kebiasaan di panti itu. "Ya, bisa dipahami, Bu. Justru aku jadi tidak enak. Apa tidak cemburu yang lain, karena hari ini Ivo dapat kiriman hadiah ulang tahun?" Arnon melihat ke arah Ivo dan si kembar. Bersama beberapa teman lain,
"Pertolongan di antara teman itu wajar, aku setuju. Tetapi yang kamu dan Arnon lakukan, itu luar biasa. Karena kalian melakukannya bukan saat keadaan kalian baik-baik saja. Kalian masih memikirkan orang lain. Berkorban begitu banyak." Rania meneruskan apa yang lama tersimpan di hatinya.Fea dan Arnon saling memandang."Aku sangat mengerti kalau rumah ini, rumah yang pasti sangat melekat untuk kamu, Fea. Rumah ini tanda cinta Arnon buat kamu." Rania melihat pada Fea dan Arnon. "Ya, meski awalnya aku sempat merasa Arnon tidak serius dengan cintanya, hanya tidak mau kehilangan sahabat kecilnya ..."Arnon mengernyit menatap Rania."Sorry, kamu boleh tersinggung." Rania mengangkat kedua tangannya. "Aku harus jujur, aku takut Fea hanya terluka karena kamu. Ya, gimana ... waktu itu kamu ...""Playboy cap onta. Aku tahu julukanku dari kamu." Arnon tersenyum sambil melirik Rania."Maafkan aku, Arnon ..." ujar Rania merasa tidak enak juga."Itu
Fea memandang pada Herni. Dalam gendongan wanita itu ada seorang anak laki-laki, kira-kira usia tujuh tahun. Dia memeluk Herni dengan senyum lebar, bergelayut manja.Herni menurunkan bocah itu. "Didin, main di sana, ya? Boleh main lego. Nanti Ibu lihat kamu buat bangunan.""Oke." Mengangguk dengan senyum lebar, lalu anak laki-laki itu bergegas menuju ke tengah ruangan mengambil kotak mainannya."Kami sayang anak-anak, Bu Fea. Yang terbaik yang kami akan lakukan. Jika kami merasa sada sesuatu yang ternyata akan merugikan anak-anak, kami tentu tidak akan melepaskan mereka ke tangan orang lain." Herni meneruskan penjelasannya.Fea tersenyum mendengar yang Herni ucapkan."Kami juga menekankan pada anak-anak. Mereka memang tinggal di panti asuhan. Tetapi kita di sini adalah keluarga. Ini rumah mereka. Mereka tidak akan merasa terbuang dan tersisihkan, sebab mereka punya orang tua yang sayang pada mereka." Bu Liani manambahkan."Senang sekali mend
Jam enam sore, Arnon belum juga tiba di rumah. Fea sedikit gelisah. Arnon tidak ada memberi kabar akan pulang lambat. Apakah ada sesuatu tiab-tiba di kantornya? Fea mengirim pesan dan bertanya. Hingga beberapa lama belum ada balasan juga. Kesimpulan Fea, Arnon memang sibuk. Fea tidak sabar, dia menghubungi ke kantor, diterima pegawai front office. Ternyata ada tamu mendadak, sehingga Arnon harus menemui mereka. Fea menenangkan hatinya. Yang penting bukan karena ada masalah. Fea memanggil si kembar, mengajak mereka makan malam bersama. Rencana Fea ingin mengajak makan malam Arnon juga, lalu memulai kejutan khusus malam itu. Sayang, langkah pertama harus tertunda. "Tenang ... pasti bisa. Keep fighting, Fea." Fea menyemangati dirinya. Makan malam berlalu. Anak-anak sudah sibuk di kamar, ditemani Fea mengerjakan tugas mewarna. Setiap sekian menit Fea menengok ke arloji di tangannya, gelisah, Arnon tidak juga datang. "Mama, ini ... udah," kata Fernan sambil menyodorkan pekerjaannya. "
Arnon Fea membuka mata. Dia merasakan sentuhan lembut di bibirnya. Arnon ada di depannya tersenyum manis."Pagi, Sayang. Kamu capek sekali? Sampai tidak bisa bangun.""Hah?" Fea bergegas bangun dan duduk. "Jam berapa ini?""Setengah delapan." Arnon duduk di sisi Fea."Astaga. Bagaimana bisa aku ga sadar? Sekolah? Si kembar ...""Ini tanggal merah. Mereka libur." Arnon tersenyum."Aishh, aku sampai lupa hari." Fea merasa konyol."Itulah kenapa, aku kemarin mau saja menerima tamu sampai malam. Karena hari ini libur dan terlalu lama urusan jika ditunda sampai besok." Arnon mengambil nampan yang ada di atas nakas. Dia letakkan di depan Fea."Sesekali sarapan di kamar, boleh juga, kan?" Arnon tersenyum."Roti bakar, coklat panas. Terima kasih, Ar. Suami idaman sekali." Fea tampak senang."Thank you," sahut Arnon."Kita berdoa dulu." Fea menundukkan kepala. Arnon mengikutinya. Fea menaikkan doa syukur dan m
Fea segera menelpon Tinah. Dia tidak tahu ada apa. Tapi Fea bisa menduga ada sesuatu yang terjadi."Iya, Bu, kenapa?" Fea bicara di telpon.Arnon melirik padanya, lalu balik memperhatikan jalanan."Fea, bagaimana, ya? Aku takut sekali. Tapi tidak tahu mau bicara dengan siapa. Aku tidak mau ada yang mengira aku mengada-ada." Tinah bicara dengan gelisah."Ada apa, Bu? Katakan saja. Aku pasti akan bantu." Fea mencoba menenangkan Tinah."Justru itu, Fea. Aku merasa tidak enak. Sejak kalian ke panti, sudah banyak sekali yang kalian lakukan buat kami. Jujur, aku maju mundur mau bilang. Aku tidak mau makin merepotkan kamu. Tapi, kalau aku tidak beritahu seseorang, bisa jadi ada yang lebih buruk akan terjadi." Tinah masih belum mau mengatakan ada apa."Bu, mesti bilang dulu kenapa. Aku juga jadi bingung kalau begini," ujar Fea.Arnon kembali menoleh. Mendengar kata-kata Fea, Arnon pun penasaran."Aku ga bisa bilang di telpon. Kalau kir
Fea memandang Dewi dan Tinah. Ibu dan anak itu menatap Fea dengan pandangan penuh harap. "Kami sulit membuktikan ini sendiri. Takut jika timbul perselisihan dan situasi di panti akan tidak kondusif. Sangat tidak baik untuk anak-anak nanti, Fea." Tinah memaparkan apa yang dia bayangkan. "Benar, Bu. Bu Herni memang masih bersikap baik, tapi dia menatap aneh padaku. Kalau sampai aku yang melapor, atau aku yang membuka rahasianya, bisa jadi masalah juga." Dewi ikut menimpali. "Tapi, aku orang lain. Aku orang luar, dan tidak tahu yang terjadi di dalam panti." Fea juga mengungkapkan situasinya. "Lalu bagaimana?" Tinah mendesah, wajahnya memelas. "Aku akan memikirkannya. Tapi tentu ini tidak bisa dibiarkan." Fea akhirnya setuju. "Semisal, Bu Tinah dan Dewi mencoba mencari bukti lagi. Bisa kan?" Dewi dan Tinah berpandangan. "Hari ini aku hanya dapat info. Ini tanpa bukti bisa jadi fitnah. Misal, ada rekaman percakapan, ada bukti transfer pribadi, atau foto, atau yang lain, yang jelas fi
Mata Fea membulat. Dia memandang Arnon yang menatap serius padanya. "Ar, kamu bilang apa? Kamu ga mau pergi? Kita sudah bersiap begini. Mama dan papa juga sudah nunggu. Kamu kenapa?" tanya Fea heran. Arnon melangkah mendekat, berdiri tepat di depan Fea. "Pingin di rumah aja. Kamu secantik ini, aku ga mau ada yang menikmati kecantikan kamu. Biar aku saja." "Aah ... Arnon ..." Fea manyun seketika. "Kamu menggoda aku? Astaga ... Kupikir beneran." Arnon merangkul bahu Fea sambil tergelak. "Senang liat kamu cemberut, tambah cantik." "Apaan? Udah, ayo. Kita sudah ditunggu," ajak Fea. Arnon meraih tangan Fea dan menggandengnya. Mereka berjalan berdampingan turun ke lantai bawah. Di ruang depan Arnella dan Ardiansyah sudah menunggu. Mereka tampak bercanda dengan si kembar. Melihat Arnon dan Fea datang, segera mereka keluar rumah, menuju ke tempat parkir. Arnon dan Fea mengikuti di belakang. Mereka berangkat hanya dengan sat