TUMANGGALA dan Wyara meninggalkan kediaman Rakryan Rangga dengan mengendap-endap. Seorang prajurit jaga di gerbang depan mengantar mereka ke sebalik semak-semak di seberang jalan.
Bertepatan pada saat mereka tiba di seberang jalan, terdengar derap kaki kuda banyak sekali. Prajurit jaga yang mengantar langsung mendorong tubuh Tumanggala dan Wyara. Kedua sahabat itu kaget dan tersuruk ke dalam semak-semak.
Wyara merutuk panjang-pendek. Hampir saja dia jatuh tersuruk ke tanah andai tidak segera dipegangi oleh Tumanggala. Ingin rasanya dia mendamprat prajurit jaga yang mengantar. Namun prajurit jaga tersebut sudah memberi isyarat untuk diam.
"Aku yakin sekali itu utusan Gusti Rakryan Tumenggung," bisik si prajurit jaga.
Dari tempat mereka berada, ketiganya dapat melihat sero
SERANGAN yang datang sangat tiba-tiba. Sama sekali tidak memberi kesempatan bagi Tumanggala dan Wyara untuk berpikir. Tak ingin mendapat celaka, kedua prajurit Panjalu itu langsung mencabut pedang masing-masing dari warangka di pinggang. Sambil menggembor marah, Tumanggala bergerak maju seraya mengayunkan pedang di tangan. Di sebelahnya, Wyara juga sudah melesat dan menyongsong datangnya serangan. Dua pedang menyambut sambaran enam golok. Traaang! Traaang! Suara berdentrangan keras memecah keheningan malam manakala delapan senjata itu beradu. Percikan api bertebaran di udara, untuk kemudian menghilang tersapu embusan angin nan dingin. "Siapa kalian? Mengapa kalian menyerang kami tanpa alasan?" tanya Tumanggala dengan suara keras membentak.
TUMANGGALA dan Wyara saling berpandangan sesaat, untuk kemudian sama berseru keras dan bergerak menyongsong datangnya serangan. Pedang di tangan kedua prajurit Panjalu itu berkiblat di udara. Siap menyambut datangnya sambaran lima golok.Sriiing! Sriiing!Dua pertempuran segera pecah. Yang satu pertempuran tiga lawan satu yang melibatkan Tumanggala. Sedangkan yang satu lagi pertarungan satu lawan dua antara Wyara dan sisa anggota kelompok bercadar.Diiringi suara menderu kencang, tiga golok besar nan tajam terayun cepat. Semuanya mengarah pada tiga titik mematikan di tubuh Tumanggala: perut, ulu hati, dan batang leher.Hal ini membuat Tumanggala menggeram marah. Jelaslah sudah, gerombolan bercadar ini muncul untuk mengincar nyawanya. Sang prajurit Panjalu tahu dirinya ha
SEMENTARA di gelanggang lain, Wyara tengah berada di atas angin. Satu dari dua lawan yang tadi mengeroyok sahabat Tumanggala itu sudah tergeletak di tanah. Sebuah luka besar menganga di punggung si korban. Darah menggenang di dekat tubuh terluka yang sudah tidak lagi bergerak itu. Tinggal berhadapan satu lawan satu, tampak sekali lelaki bercadar yang dihadapi Wyara keteteran. Dalam dua jurus terakhir lelaki tersebut hanya menghindari setiap serangan Wyara, tanpa sekali pun dapat balas menyerang. Tidak mungkin itu disengaja. Sebaliknya, hal ini menunjukkan jika kemampuan Wyara lebih tinggi dari lawan. Tinggal menunggu waktu saja sampai Wyara mendapat kesempatan emas untuk melumpuhkan lelaki bercadar itu. "Awas pedang!" seru Wyara, sembari kibaskan senjata di tangan. Sriiing! Pedang panjang berkelebat cepat. Angin sabetannya menimbulkan suara berkesiuran tajam nan meruntuhkan nyali. Lelaki bercadar yang jadi sasaran serangan tampak mengkerut dengan paras pucat ketakutan. Sepasang
KETIKA kembali ke tempat Wyara tadi berada, Tumanggala menyaksikan sahabatnya itu terbujur lemah di tanah dalam keadaan miring. Tak bergerak sama sekali. Batang anak panah masih menancap di pangkal bahu Wyara. Kulit di sekeliling luka terlihat telah berubah warna menjadi kehitaman. Paras Tumanggala langsung berubah melihat itu. “Wyara!" seru Tumanggala, sambil bergegas mendekat. Ia sungguh tak dapat menyembunyikan rasa khawatir di dalam dada. Buru-buru sang prajurit berjongkok di sisi tubuh Wyara. Napasnya seketika tertahan saat menyentuh bahu sahabatnya itu. Bagian tubuh Wyara terasa sangat panas, serupa rebusan air di tungku. Terutama di sekitar tempat tertancapnya anak panah. “Gawat! Racun di mata anak panah ini pasti sudah menyebar!” desis Tumanggala dengan suara bergetar. Tangan sang prajurit lantas menyentuh batang anak panah di punggung Wyara. Mulanya ia berniat mencabut benda panjang tersebut, tetapi segera dibatalkannya niat tersebut. Sebagai gantinya, dengan perlahan Tu
KITA kembali sejenak ke semak-semak tak jauh dari tembok belakang istana. Ke tempat di mana Senopati Arya Lembana dan lima pengawal Dyah Wedasri Kusumabhuwana berpencar usai melarikan diri dari ruang tahanan bawah tanah. Keputusan untuk berpencar itu diambil Arya Lembana dengan pertimbangan sederhana tetapi masuk akal. Sebuah keputusan cepat yang sudah ditimbang baik-buruknya secara masak-masak. Tepat seperti dugaan Tumanggala, Arya Lembana menyadari jika dirinya dikenali para prajurit penjaga gerbang belakang istana. Mau melarikan diri ke mana saja, Rakryan Tumenggung pasti akan tetap tahu jika senopati itulah yang membawa lima prajurit pengawal Dyah Wedasri kabur dari tahanan. Begitu tubuh Tumanggala dan Wyara menghilang di sebalik semak-semak dan menjauh, Arya Lembana memberi isyarat kepala pada tiga prajurit yang bersamanya. "Ayo!" serunya dengan suara agak berbisik. Kemudian tanpa menunggu tanggapan, sang senopati sudah mendahului bergerak. Tiga prajurit saling berpandangan.
MALAM mulai merangkak naik. Hawa dingin semakin mencucuk tulang. Embun mulai turun, membentuk bayangan-bayangan keputihan di beberapa tempat. Sementara rembulan di langit memancarkan cahaya benderang dengan anggun. Suasana tahanan bawah tanah istana sangat senyap. Para penjaga yang sudah terkantuk-kantuk, terkesiap dan buru-buru melebarkan kelopak mata saat Rakryan Tumenggung dan pasukannya tiba membawa empat tawanan. "Gusti Tumenggung …" Para penjaga tahanan serentak menyembah hormat. "Antar aku membawa pengkhianat-pengkhianat ini ke dalam," ujar Rakryan Tumenggung pada para penjaga tahanan bawah tanah, tanpa basa-basi sama sekali. "Sendika, Gusti," sahut para prajurit penjaga tahanan, lalu mengambil alih empat tawanan dari tangan prajurit anggota pasukan pengejar. Rakryan Tumenggung mendahului masuk. Suara tapak kakinya saat meniti anak tangga batu satu demi satu ke bawah, terdengar menggema di segenap ruangan yang hening. Delapan prajurit penjaga ruang tahanan mengikuti di bel
BANGUNAN berbentuk persegi terdiri atas beberapa tingkat itu tampak kelam dalam gelapnya malam menjelang pagi. Hanya beberapa bagian saja yang diterangi nyala api kecil pada obor yang nyaris padam. Matahari belum lagi terbit di kaki langit sebelah timur. Hari masih gelap menghitam. Hawa dingin menusuk tulang masih menyungkupi seantero wilayah Kerajaan Panjalu. Di beberapa tempat bahkan tampak kabut mengambang di udara dini hari. Tak terkecuali di sekitar bangunan yang terletak di kawasan selatan Panjalu itu. Tepatnya di perbatasan Lodoyong dengan wilayah Kotaraja. "Yang mana kamarnya?" gumam satu bayangan hitam yang mengendap tak jauh dari bangunan tersebut. Sepasang matanya yang merah tampak nyalang mengamati keseluruhan gedung. Sosok berupa bayangan hitam itu mendekam tak jauh dari gerbang masuk bangunan. Pada papan nama yang ada di dekat gapura paduraksa, terpampang satu nama, Penginapan Jatiwangi. "Aku tidak mungkin bertanya. Jangan sampai keberadaanku di sini diketahui orang,
DALAM keadaan berbaring telentang di atas tilam, sepasang mata Citrakara jadi menatap ke atap. Pada saat itulah pandangannya menangkap satu sosok hitam di langit-langit kamar.Seolah melihat hantu, setengah melompat Citrakara kembali bangkit dan duduk di tepi pembaringan. Sementara sosok hitam yang berpegangan pada kayu-kayu atap melenting turun.Tap! Tap!Sepasang kaki bayangan hitam itu mendarat tepat di hadapan Citrakara. Membuat jalir itu menjerit sekali lagi, lalu meringkuk ketakutan di sudut pembaringan. Kedua tangannya menutupi wajah rapat-rapat."Sssh! Kara, ini aku!" Sosok tersebut berkata setengah berbisik, sembari mendekati Citrakara.Mendengar suara itu jantung Citrakar