SEMENTARA di tempat lain, pagi itu Kridapala tengah menyiapkan pasukannya. Kemarin sore, ia membawa para prajuritnya turun ke Lusem dan bermalam di sana karena gelap telah jatuh.Sesuai muslihatnya kemarin, Kridapala menyerahkan tanggung jawab memimpin 50 prajurit tersebut kepada Sudawarman dan Paladhu. Kepada keduanya ia memberikan pedang milik Jayastu dan Widarpa sebagai perlambang perpindahan tampuk kepemimpinan.Begitu pasukannya mendapat tempat bermalam, Kridapala mengajak Sudawarman ke Kotaraja. Sepanjang malam mereka mengorek keterangan dari beberapa telik sandi kerajaan yang dapat ditemui."Jadi, bagaimana menurutmu, Sudawarman?" tanya Kridapala setelah mereka kembali ke Lusem. Ia langsung mengumpulkan lima kaki tangannya malam itu juga.Dari beberapa telik sandi yang Kridapala temui, ada yang melihat seseorang dengan ciri-ciri seperti Tumanggala di kawasan Brang Kidul. Yang lain melihatnya di Lodoyong, lalu ada pula yang bertemu di Jimbe, di Kapungkuran dan terakhir di Lawang
PADA waktu bersamaan, sepagi itu Rakryan Rangga sudah berdiri menunggu di pendopo kediaman Rakryan Tumenggung. Ia mendapat perintah menghadap, sehingga begitu bangun tidur cepat-cepat mendatangi katumenggungan.Tak sampai menunggu lama, orang yang hendak ditemui sudah muncul. Rakryan Tumenggung berpakaian lengkap seperti akan ke medan perang, membuat Rakryan Rangga mengerutkan kening."Kau tampak heran melihatku, Rangga?" tegur Rakryan Tumenggung yang menyadari mimik keheranan pada wajah bawahannya."Ah, mohon ampun Gusti Tumenggung, saya hanya agak kaget melihat Gusti berpakaian seperti hendak berperang," jawab Rakryan Rangga dengan jujur.Rakryan Tumenggung mengungkit satu sudut bibir. Lalu sambil membenahi pakaiannya ia memberi jawaban dengan suara dalam."Aku memang hendak pergi berperang, Rangga. Tugas kita kali ini memang tak ubahnya sebuah peperangan bagiku. Sebab hidup-matiku, juga mungkin hidup-matimu, sangat tergantung pada ditemukan atau tidaknya Gusti Puteri dalam lima har
ARYA Mandura buru-buru mendekati Rakryan Rangga. Setelah menghaturkan sembah hormat, senopati itu lantas menjelaskan apa yang terjadi tadi malam."Dua orang itu sudah tewas, Gusti. Yang satu karena luka-lukanya yang tak tertolong, sedangkan yang satu lagi agaknya merasa tertekan lalu bunuh diri....""Bunuh diri?" ulang Rakryan Rangga dengan nada tak percaya."Kami sudah menanyai mereka, Gusti," sahut Arya Lembana, sembari menunjuk ketiga tahanan. "Tadi pagi para penjaga menemukan kepala orang itu pecah, sepertinya memang sengaja dihantamkan ke tiang."Rakryan Rangga menghela napas panjang. Ia merasa sangat kecolongan. Bisa jadi dua orang yang tewas itu malah merupakan kunci bagi ditemukannya Dyah Wedasri Kusumabuwana.Sementara Rakryan Tumenggung memerhatikan percakapan itu dengan raut muka penuh perhatian. Tahu sedang diperhatikan sang atasan, Rakryan Rangga segera menjelaskan duduk perkaranya."Sayang sekali," desah Rakryan Tumenggung setelah wakilnya selesai menjelaskan. "Sudahlah,
HATI Sukarta kontan mencelos. Ia tak lagi bisa bersikap masa bodoh dan sok pemberani. Parasnya sudah berubah seputih kapas, sementara keringat dingin memercik di dahi dan pucuk hidungnya.Ketika kemudian prajurit yang berdiri di hadapannya bergerak, Sukarta menangkap sebilah pisau kecil yang bagian tajamnya berkilat-kilat pada genggaman tangan si prajurit. Napas Sukarta seolah berhenti ketika mulutnya yang menganga dimasuki oleh tangan kiri prajurit tersebut.Suasana di dalam ruangan tersebut berubah tegang ketika jemari si prajurit berhasil memegang lidah Sukarta. Dengan kencang, prajurit itu menjepit lidah gembong perampok dan membetotnya keluar.Bersamaan dengan itu, tangan si prajurit yang memegang pisau terangkat. Siap menyayat daging lidah yang telah menjulur keluar. Namun belum lagi mata benda tajam itu menyentuh permukaan lidah, satu teriakan terdengar."Tunggu!"Semua kepala berpaling ke arah sumber suara. Ternyata salah satu pemuda anggota komplotan Kebo Cemeng yang bersuara
MATAHARI sudah tinggi, nyaris mencapai puncak langit. Namun ditunggu-tunggu sejak tadi, Tumanggala tak kunjung kembali ke rumah. Padahal prajurit itu tadi berkata hanya pergi sebentar.Terang saja hal ini membuat bibi Citrakara kelimpungan sendiri. Satu lagi yang membuatnya tambah bingung, sejak tadi pagi Citrakara juga tidak keluar dari kamar."Masa iya sesiang ini dia belum bangun?" gumam bibi Citrakara, sembari memandangi meja makan.Di atas meja tersebut, ketela yang bibi Citrakara rebus pagi-pagi tadi sudah dingin. Jangan tanyakan bagaimana wedang jahe yang dibuat berbarengan dengan dimasaknya tanaman umbi tersebut.Entah sudah berapa kali bibi Citrakara melongok ke belakang, ke arah sungai. Ketika dilihatnya di kejauhan sana Tumanggala sedang berlatih, pikirannya jadi sedikit lega."Dasar anak-anak muda aneh. Apa mereka tidak merasa lapar, sampai siang begini belum juga ada yang sarapan?" gumam wanita tua itu lagi.Pikir punya pikir, bibi Citrakara akhirnya memilih mendatangi ke
JIKA pertanyaan Tumanggala tadi membuat Citrakara merasa geli, tidak dengan kalimat barusan. Ucapan itu membuatnya seolah membeku seketika, sampai-sampai hanya bisa memandangi Tumanggala yang kini telah berada tepat di hadapannya. Di dalam hati Citrakara membatin, ternyata Kakang Tumanggala mempedulikan perasaanku. Pikiran itu membuat getar-getar di dalam dirinya semakin menjadi, membuat dadanya seolah sesak karena jantung yang mendadak berdegup lebih kencang. Terlebih kini Tumanggala tengah menatapnya dengan dalam. Lalu Citrakara merasakan tangannya di bawah sana diraih dan kemudian digenggam erat-erat. "K-Kakang ... a-aku ..." Citrakara juga merasakan lidahnya mendadak kelu. "Aku minta maaf untuk kejadian tadi, Kara. Aku sama sekali tidak bermaksud membuatmu bersedih," ujar Tumanggala. Nada suaranya terdengar sendu. Citrakara hanya terdiam, benar-benar tak mampu berkata-kata. Apalagi setelah dipikir-pikir, dalam kejadian tadi justru dirinyalah yang telah berlaku lancang. Malah b
SELEPAS melakukan pemeriksaan terhadap Sukarta dan dua anak buahnya, Rakryan Mantri Tumenggung mengajak Rakryan Rangga dan yang lain-lain berunding. Sang panglima merasa perlu segera menyusun rencana pencarian.Sebelumnya, siapa pembokong keji yang menewaskan ketiga tahanan tidak terkejar. Rakryan Rangga, Senopati Arya Mandura, Palasara dan beberapa prajurit yang turut mengejar kembali dengan tangan kosong.Meski kecewa, Rakryan Tumenggung tak mau berlarut-larut menyesali keadaan. Baginya, lebih baik segera bertindak walaupun hanya berbekal sepotong keterangan dari mulut Sukarta."Jenggala itu luas, ke mana kita harus mencari keberadaan Gusti Puteri. Bagaimana pendapat kalian?" ujar Rakryan Tumenggung membuka pembicaraan.Sang panglima memandangi satu demi satu semua yang duduk di hadapannya. Tampak mereka juga saling pandang, seolah berunding dengan mata siapa yang akan bertindak sebagai juru bicara."Mohon ampun, Gusti Tumenggung ..." Palasara akhirnya minta izin menanggapi. "Jika m
KEDATANGAN Rakryan Mantri Tumenggung bersama Rakryan Rangga ke ruang tahanan bawah tanah membuat para prajurit penjaga terkejut. Seorang lurah prajurit yang bertindak sebagai kepala pasukan yang berjaga langsung menghadap kedua pejabat tinggi tersebut."Antar kami ke ruang tahanan Senopati Arya Lembana!" perintah Rakryan Tumenggung, setelah menerima basa-basi dari pasukan penjaga yang menyambutnya."B-baik, Gusti," sahut lurah prajurit yang baru datang, lalu memimpin jalan menuruni tangga masuk.Arya Lembana tengah termangu-mangu di dalam ruang tahanannya. Senopati itu agaknya masih berusaha memecahkan rahasia diketemukannya seragam prajurit Panjalu di tempat kejadian penculikan Dyah Wedasri Kusumabuwana.Saat tengah asyik menyusun dugaan di dalam kepala, suara nyaring beradunya logam di pintu mengalihkan perhatian Arya Lembana. Senopati itu seketika bangkit dari duduknya ketika melihat siapa yang datang."Gusti Tumenggung ..." Arya Lembana menghaturkan sembah kepada atasannya."Tidak