KABAR mengenai keributan di ruang tahanan bawah tanah malam itu sampai ke telinga Rakryan Rangga. Prajurit yang memberi laporan mengabarkan, adalah seorang tahanan bernama Tumanggala yang menjadi biang keributan tersebut.
Mendengar nama Tumanggala, Rakryan Rangga langsung menghubungkannya dengan Arya Lembana. Sang rakryan yakin betul jika keributan tersebut ada kaitan dengan tuduhan senopati bawahannya itu pada Tumanggala.
"Panggil Arya Lembana kemari, sekarang juga!" perintah Rakryan Rangga pada prajurit yang memberi laporan.
"Sendika dawuh, Gusti," sahut si prajurit seraya menjura hormat. Selepas itu ia berbalik badan dan keluar dari tembok istana untuk menuju ke kediaman Arya Lembana.
Panggilan sepagi itu membuat Arya Lembana merasa tidak enak perasaan. Akalnya cepat berputar. Sebelum berangkat menghadap Rakryan Rangga, ia memerintahkan prajurit pengawalnya untuk memanggil Kridapala dan Wipaksa.
Namun Arya Lembana harus menelan kekecewaan.
KE mana sebenarnya Kridapala dan Wipaksa pergi? Apakah benar dugaan Senopati Arya Lembana, bahwa keduanya menghilang terkait peristiwa di ruang tahanan bawah tanah istana? Malam itu juga, begitu mendengar kabar mengenai kegagalan pasukan kecil yang ia kirim ke ruang tahanan Tumanggala, Wipaksa bergegas melapor pada Kridapala. Pertemuan pada dini hari itu dilakukan secara diam-diam. Kecuali para penjaga kediaman Kridapala, tak seorang pun yang mengetahui kedatangan Wipaksa. Lurah prajurit itu muncul dengan wajah tegang. "Apa yang terjadi? Kenapa kau mengganggu tidurku malam-malam begini?" tanya Kridapala begitu berhadap-hadapan dengan Wipaksa. Jelas sekali terdengar nada bicaranya gusar. "Ampunkan saya, Ki Bekel. Tapi ini sangat penting sekali. Saya harus melapor sekarang juga," sahut Wipaksa sembari menghaturkan sembah. "Penting sekali, katamu? Sepenting apa memangnya?" tanya Kridapala lagi. Wipaksa menghela napas panjang sesaat, berus
BELUM lagi jauh meninggalkan kediaman Rakryan Rangga, rombongan kecil Arya Lembana berhenti di satu tempat. Sang senopati memberi isyarat agar mereka menghentikan perjalanan di sana. "Kita berpencar di sini," ujar Arya Lembana seraya pandangi enam prajurit yang mengawalnya pagi itu. Keenam prajurit pengawal hanya diam, siap mendengarkan perintah dari sang senopati. "Kalian semua berpencar menjadi tiga kelompok kecil, masing-masing terdiri dari dua orang. Lalu ajak delapan orang lagi sehingga kelompok kalian berkekuatan sepuluh prajurit," sambung Arya Lembana, masih dengan terus memandangi keenam prajurit pengawal. "Tugas kalian masing-masing adalah mencari Bekel Kridapala dan Wipaksa. Cari di mana pun yang menurut kalian layak disusuri. Atau mungkin tempat-tempat yang biasa dikunjungi mereka berdua. "Juga datangi kediaman mereka. Korek keterangan dari siapa pun yang ada di tempat tersebut. Kalau tidak ada satu pun yang dapat memberi keterangan
ARYA Lembana tak langsung membawa Triguna ke hadapan Rakryan Rangga. Sang senopati masih harus menunggu hasil pencarian tiga kelompok prajurit yang ia tugaskan melacak keberadaan Kridapala dan Wipaksa. Sementara menunggu, dipindahkannya Triguna dari balai pengobatan ke satu kamar di kediamannya. Setengah lusin prajurit diperintahkan untuk menjaga kamar tersebut. Triguna tak diizinkan keluar meski hanya sebentar, untuk urusan apa pun. Dengan kata lain, Triguna ditahan dalam kamar tersebut dengan penjagaan ketat. Prajurit tersebut memaki panjang-pendek di dalam hati. "Semua ini gara-gara Tumanggala keparat!" maki Triguna begitu kamar tempatnya ditahan dikunci rapat. Amarah di hati Triguna terhadap Tumanggala semakin menjadi-jadi. Namun prajurit itu tak mampu berbuat apa-apa untuk menuntaskan kekesalannya. Untuk sementara ia hanya bisa pasrah. Di tempat lain, Arya Lembana juga tengah memikirkan Tumanggala. Pada pikir sang senopati, prajurit terse
DUGAAN Senopati Arya Lembana sungguh tepat. Begitu berhasil melarikan diri dari ruang tahanan bawah tanah istana, Tumanggala memilih pulang ke kediamannya di Surawana. Pagi belum lagi datang ketika Tumanggala sampai di rumah berdinding anyaman bambu tersebut. Suasana masih gelap gulita. Keadaan di dalam rumah pun terlihat sunyi dan hening. Anak-isterinya tentulah masih terlelap dalam buaian alam impian. Perlahan Tumanggala dekati jendela di mana kamar isterinya terletak. Diketuknya daun jendela dengan ketukan yang tidak terlalu keras, tapi sudah cukup jelas terdengar. "Siapa di luar?" terdengar suara perempuan dari dalam, setengah bergumam, setelah Tumanggala mengetuk beberapa saat. Wajah Tumanggala berubah cerah. Itu suara isterinya. Perempuan tersebut sudah terbangun. "Ini aku, Tumanggala," sahutnya setengah berbisik. "Oh, Kakang!" Terdengar perempuan tadi berseru. "Tunggu, aku bukakan pintu ...." "Jangan pintu depan," tukas
DIDORONG oleh rasa rindu terhadap anaknya, Tumanggala berpindah tempat. Ia masuk ke dalam kamar, lalu duduk di tepi pembaringan. Dipandanginya wajah laki-laki kecil yang tengah terlelap di atas kasur.Beberapa saat kemudian anak kecil itu menggeliat. Begitu sepasang mata mungilnya terbuka, wajah si anak seketika berubah cerah. Kedua matanya seketika berubah bulat membola."Ayah?" serunya dengan nada tak percaya.Tumanggala balas seruan tersebut dengan satu senyum lebar. Anak lelaki itulangsung bangkit dari tidurnya, dan berjingkrak-jingkrak kegirangan di atas kasur. Lalu ia melompat ke pelukan sang ayah."Ayah, aku ingin mandi di sungai," rengek anak kecil tersebut begitu berada di pangkuan Tumanggala."Sekarang?" tanya Tumanggala dengan kedua alis terangkat. Hari masih terlalu pagi. Air sungai tentulah masih sangat dingin.Anak kecil itu mengangguk dengan wajah semringah. Tanpa menghiraukan keheranan ayahnya, ia melompat turun d
TANPA sepengetahun semua orang, sepasang mata mengamat-amati semua yang terjadi di rumah Tumanggala. Pemiliknya dua orang berbadan tegap berisi, menandakan jika mereka adalah orang-orang terlatih.Orang pertama memiliki rambut panjang sebahu. Sedangkan yang satu lagi rambutnya ikal awut-awutan. Keduanya tampak saling pandang begitu rombongan prajurit yang dipimpin Wyara membawa Tumanggala.Ciri-ciri kedua orang ini sama persis dengan para pengintai rumah Tumanggala beberapa waktu sebelumnya. (Untuk mengingat kedua orang ini, silakan baca lagi bab 26 yang berjudul Pengintai di Surawana.)"Bagaimana ini? Kita keduluan oleh para prajurit sialan itu," ujar orang yang berambut ikal awut-awutan pada temannya. Wajahnya menunjukkan raut kesal.Yang diajak bicara juga menunjukkan raut muka tidak senang. Sama seperti si rambut ikal, lelaki itu pun merasa kesal karena Tumanggala keburu dibawa oleh para prajurit Panjalu. Mereka terlambat tiba di tempat tersebut, sehi
SETIBA di sebuah tikungan, rombongan prajurit Panjalu yang tengah membawa Tumanggala memperlambat laju kuda masing-masing. Di hadapan mereka tiba-tiba saja ada dua orang berkuda sangat pelan sekali. Mau tak mau para prajurit tersebut harus memperlambat diri.Tumanggala sontak palingkan wajahnya pada Wyara. Dua sahabat itu saling pandang. Sorot mata mereka sama-sama menyiratkan rasa heran.Dua orang di depan mereka bertubuh tegap berisi. Jelas bukan orang sembarangan yang memiliki perawakan seperti itu. Laju kuda mereka terlalu pelan, keduanya juga berada di tengah-tengah jalan, seolah sengaja hendak mengadang."Siapa dua orang di depan itu?" tanya Wyara dengan suara berdesis."Waspadalah, Wyara. Aku yakin mereka membawa maksud tidak baik," sahut Tumanggala.Wyara mendengus kesal."Kalau memang mereka bermaksud buruk, itu artinya mereka minta digebuk!" geram Wyara. Gerahamnya terdengar bergemeletuk keras.Usai berkata begitu Wyara lant
PARA prajurit Panjalu yang lain segera cabut pedang masing-masing dan bersiaga penuh. Pandangan mata mereka mengawasi semak belukar dan pepohonan dari arah mana anak-anak panah tadi berasal.Di depan, Wyara juga cabut pedang dari dalam warangka di pinggangnya. Pandangan prajurit tersebut sontak mengarah pada dua orang asing tadi. Kedua matanya menunjukkan tatapan tajam berkilat-kilat, mengisyaratkan amarah yang siap membuncah."Kisanak berdua, rupanya kecurigaan kami terhadap kalian tidak salah! Kemunculan kalian membawa maksud jahat!" desis Wyara dengan suara bergetar. Sementara pedangnya terhunus ke depan.Dua orang asing tadi kembali saling pandang, lalu sama tertawa mengekeh. Tanpa berkata sepatah kata pun, salah seorang dari mereka lagi-lagi keluarkan suitan nyaring."Setan alas!" maki Wyara dengan geram, tahu untuk apa suitan itu diperdengarkan. Lalu pada para prajuritnya ia berseru, "Waspadalah, mereka menyerang lagi!"Serangan anak panah be