Arsen menghabiskan malam yang dingin di taman kota. Dia tertidur di bangku, sama sekali tidak takut jika banyak kriminal jalanan.Dia bangun saat instingnya merasa ada orang yang mengintai. Matanya terbuka— langsung melirik ke arah salah satu pohon dekat semak belukar tak jauh dari situ.Tetapi, tidak terlihat ada siapapun.Suasana pagi di taman kota ini sangat sunyi. Kabut tebal masih menggantung di antara pepohonan—membuat jarak pandang agak terganggu. Udara sangat dingin. Meski begitu, Arsen yang cuma menggunakan kemeja hitam dan celana panjang tidak merasa kedinginan sama sekali. Tubuh terlatihnya terbiasa dengan suhu dingin maupun panas.Sudah satu menit lamanya dia memandangi pohon yang sama. Dia yakin ada yang mengintai— tapi tidak ada ancaman. Itu artinya orang yang mengawasi tak punya niat membunuh."Amatir?" gumamnya lirih.Dia turun dari bangku tersebut. Dengan langkah yang hati-hati, dia berjalan ke arah berkabut. Dia sengaja melakukan itu agar mengelabui orang misterius
Arsen tidak pernah emosi sebelumnya. Dokter Gio selalu menasehati untuk menyingkirkan segala macam pemikiran negatif. Sebagai orang yang mengalami masa lalu kelam, hal-hal negatif hanya akan membuat dirinya hancur dari dalam.Karena itulah, selama bertahun-tahun, dia jarang sekali serius, apalagi stress. Dia harus tetap berpikiran positif dan tenang. Semua demi menyingkirkan rasa trauma di masa lalu. Tetapi, sekarang— dia benar-benar dilanda kegilaan. Tidak adanya Leina membuat kepalanya seakan ingin pecah.Dengan kondisi tak stabil begitu, dia masuk ke dalam kawasan rumah Nathan lewat pagar depan. Dia berhasil menghajar petugas di pos jaga, lalu berjalan di halaman depan.Satu per satu penjaga yang sedang berpatroli berdatangan. Ada sekitar dua puluh orang menghadangnya."JANGAN BERGERAK!" teriak salah satu dari mereka sambil mengancam dengan senjata api. "BERANINYA MASUK KE SINI!"Tindakan pria itu diikuti oleh yang lain. Beberapa orang mengeluarkan senjata api mereka.Arsen sama
Dada Leina terasa sakit, sesak, hidung dan tenggorokan juga.Seseorang memberikan napas buatan untuknya. Dia perlahan membuka mata— dan kemudian perlahan menyadari siapa yang melakukan itu.Arsen.Rambut, wajah, sekujur tubuh dan bajunya telah basah oleh air kolam. Dia menahan punggung Leina, berusaha untuk menyadarkan wanita itu."Leina? Leina— kamu baik-baik saja? Leina?" Arsen takut dan cemas. Jemari tangannya menyentuh lembut pipi Leina. "Leina ..."Pandangan mata Leina sudah jelas. Dia kini tahu kalau kilauan yang dilihat di bawah air saat itu memang japit rambut. Japit yang dijadikan liontin kalung oleh Arsen. Arsen tersenyum lega. "Akhirnya kamu bangun juga, Putri Tidur."Pipi Leina memerah. Barusan dia masih bisa sedikit merasakan sensasi keras nan dingin dari bibir dari Arsen. Baginya, ini adalah ciuman pertama mereka. Dia ikut tersenyum. "Arsen, kamu ... beraninya ... menciumku?""Mau bagaimana lagi, aku harus memberimu napas buatan 'kan? Atau kamu mau mati, Dasar gadis b
Arsen, Leina dan Hans makan siang bersama. Untuk beberapa menit pertama, tidak ada yang bicara. Tetapi tak lama berselang— Hans berhenti makan, lalu menatap Leina. Ada banyak sekali pertanyaan dalam benaknya."Leina, apa mungkin kamu terkena hipnotis lagi? kamu sudah bersama Nathan semalaman," ucap Hans.Leina menjawab, "yang menghipnotisku bukan Nathan. Orang yang menelpon di telepon rumah waktu itu suaranya berbeda dengan Nathan."Arsen tidak kaget. Dia sendiri sudah curiga kalau mungkin bukan Nathan pelakunya. "Kalau beda berarti memang bukan dia pelakunya. Kata Ritta, orang yang menghipnotis Leina harusnya bersuara sama. Efek hipnotisnya tidak akan terjadi jika berbeda. Lagipula—“"Lagipula?” Hans menunggu.Arsen masih berpikir sejenak. Setelah satu menit, dia melanjutkan, “lagipula saat aku berhadapan dengannya, dia tidak kelihatan seperti ahli dalam hal hipnotis.""Mungkin dia menyuruh orang lain.""Tidak ada orang lain lagi di rumahnya. Hanya dia dan para penjaganya yang patah.
Arsen pulang dengan menggunakan taksi tak lama setelah mengantarkan Serena pulang. Dia sedikit sedih— jauh di lubuk hatinya, dia tidak mau melukai hati siapapun, apalagi Serena. Ini bukan keinginannya. Bagaimana pun, Serena itu teman dekatnya sejak sepuluh tahun silam.Arsen kepikiran itu hingga sampai di rumah.Ternyata, Hans sudah pulang. Aneh memang. Kenapa pria itu pulang? Bukankah mereka akan membahas hal penting?Leina sendiri tidak memberitahu apapun. Dia hanya senyum-senyum, lalu masuk kamar. Berkat Hans, dia bisa mempersiapkan ulang tahun Arsen.Di malam hari, setelah makan— dia membuat adonan kue ulang tahun. Segala jenis masakan sudah dikuasai, jadi tak ada masalah membuat kue semacam itu.Arsen heran Leina masih betah di dapur. "Kamu sedang buat apa?""Aku mau buat kue.""Kenapa tidak besok saja? Sekarang sudah malam, loh. Sudahlah, tidur saja— besok lanjutkan.""Kamu saja yang tidur, aku tidak mengantuk, kok. Aku sedang ingin makan kue, sudah lama aku tidak makan.""Baga
Arsen dan Leina duduk bersebelahan, tepat di hadapan mereka ada kue ulang tahun. Arsen memotong kue ulang tahunnya, dan memberikan potongan pertama kepada Leina. Namun, wanita itu malah membuka mulut, tak mau makan sendiri, maunya disuapi.Sikap manja Leina sedikit mengejutkan Arsen. Dia juga agak malu. Kalau dahulu, dia mungkin biasa saja— tetapi sekarang, rasanya sangat ...... menegangkan.Mau tidak mau, dia harus menyuapi Leina. Berada dekat dengan Leina tak pernah setegang ini sebelumnya— apa karena hubungan mereka sudah jelas sekarang? Tidak mungkin menyembunyikan perasaannya lagi?Leina mengambil alih sendoknya. Giliran dia yang menyuapi Arsen. Senyuman manis tak pernah pudar dari bibirnya— betapa bahagia dia sekarang. Dia mengetahui perasaan Arsen, tinggal membuatnya mengaku saja.Selama beberapa menit terjadi keheningan di antara mereka. Tidak ada yang bicara. Keduanya saling bertukar pandangan.Kedua mata Leina memancarkan aura yang polos dan tulus— ini membuat Arsen tenggel
Leina terbangun dari tidurnya usai mendengar suara siulan aneh. Dia mengerjap-ngerjapkan mata beberapa kali— lalu melihat sekitar. Kelopak mata masih berat, benar-benar mengantuk.Jarum jam menunjuk ke pukul tujuh pagi. Normalnya, dia sudah menyiapkan sarapan. Akan tetapi, aktifitas semalam membuat sendi-sendi tubuh lemas— tak sanggup untuk bergerak leluasa.Suasana kamar Arsen remang-remang. Sinar matahari tak mampu menembus kelambu abu-abu jendela."Barusan itu siulan ... " gumam Leina menoleh ke arah jendela. Ada orang yang bersiul di luar sana. Tapi, siapa? Apa ditunjukkan ke sini?Aneh, rasanya tidak asing. Dia bingung, kenapa rasanya kenal dengan siulan tersebut. Bukankah bunyi siulan pasti sama saja?Aneh.Arsen ikut membuka mata. Pria yang tidur di sebelahnya itu sudah tahu Leina bangun dari tadi. Dengan suara agak malas, dia menyambut, "selamat pagi, Leina— ada apa?""Eh ... tidak apa." Leina tersadar kalau tidur satu ranjang dengan Arsen, dan di bawah selimut— tubuh mereka t
Leina puas menghabiskan waktu berdua dengan Arsen dengan menonton film di ruang tengah. Hari ini lebih istimewa daripada kencan-kencan mereka sebelumnya. Sangat istimewa. Iya, karena sekarang mereka adalah pasangan kekasih. Hari jadian mereka adalah hari ulang tahun Arsen. Jadi, tidak ada alasan tidak merayakannya tahun depan. Malam harinya, Leina masuk ke kamar untuk beranjak tidur. Namun, ia baru sadar ketika bantalnya tidak ada di atas ranjang. Dia mencari di sekitar, tetap tidak ada. Terpaksa, dia keluar kamar— lalu masuk ke dalam kamar Arsen. "Arsen!" panggilnya. "Apa?" Arsen berjalan ke ranjang sambil mengancingkan kemeja tidurnya. "Bantal— oh?" Leina heran melihat bantalnya sudah ada di sebelah bantal Arsen. "Kenapa bantalku ada di kasurmu?" Arsen tersenyum padanya. Dia menjawab, "sudah jelas 'kan? Mulai sekarang, kamu tidur denganku." "Kenapa?" "Ada yang salah?" Pipi Leina memerah. "Tapi ..." "Sudah telat kalau malu, Leina," balas Arsen sambil menahan t