“Bodoh! Kenapa bisa hilang!?” sengit Cakraraya kesal, mengingat dia sudah susah payah mencari rumput dan akar-akaran untuk ramuan obat.“Saya akan mencarinya lagi! Saya lupa menaruhnya di mana,” Mbayang bergegas pergi.Permana menatap curiga dengan gelagat Mbayang yang bergegas bergegas pergi. dia merasakan ada sesuatu yang disembunyikan dari murid baru itu, tapi dia juga belum bisa menebaknya.Mbayang membuang nafas saat sudah berada di tempat yang sepi. Dia kini mulai berpikir ulang untuk memberitahu tentang apa yang dia dengar. Dia sama sekali tidak punya bukti. Tentu hal ini akan sangat berbahaya. Dia juga hanya seorang murid baru yang belum tentu ucapannya dipercaya, terlebih yang dia hadapi adalah ketua padepokan. Menimbang lebih jauh, Mbayang akhirnya memutuskan untuk tidak menceritakan apa yang dia dengar sebelum dia mempunyai bukti yang kuat.“Ya, aku harus menyelidik dulu. Dan tak boleh gegabah,” gumam Mbayang mengambil keputusan.Hari hari berikutnya, Mbayang melakukan kegi
Mbayang memberanikan diri mendekati Sukesih, dia meletak keranjang bambu, dan duduk di samping Sukesih.“Pemandangan di sini indah, ya!” Mbayang memberanikan diri membuka percakapan.Sukesih kembali menoleh ke arah Mbayang, yang tersenyum ke arahnya. Dia kembali memalingkan wajah, tidak menjawab sapaan Mbayang dan tetap diam dengan wajah dingin.“Aku minta maaf, sikapku selama ini tidak ramah. Hmm, hanya melirikmu saja saat pertama kali masuk padepokan, aku hampir dikeroyok murid laki-laki satu padepokan. Untung saja saat itu, Juraganku membawa empat pengawal yang membela, kalau tidak, mungkin aku sudah tinggal nama. Hanya gara-gara melirikmu ha ha,” Mbayang mencoba mencairkan kebekuan tapi Sukesih masih tetap diam.Mbayang menggaruk-garuk kepalanya, dia sudah mulai putus asa dengan kediaman Sukesih. Tidak menyerah, Mbayang kembali melontarkan kembali kata-kata agar Sukesih bersuara.“Hay... seandainya murid-murid padepokan tahu, aku berdua denganmu di sini, mungkin mereka akan menger
“Panas... Panas... tubuhku aaaah,” Bimantara merancau kesakitan memegangi dadanya. Wajahnya berubah makin pucat seperti tanpa darah.“Kang, bersabarlah, Dimas Cakraraya sedang mencari obat untuk luka dalammu!” ucap Gendis, menahan tangis, memegangi tangan Bimantara.Kondisi Bimantara yang makin parah dan kesakitan membuat Gendis makin bingung, tak tahu harus berbuat apa. Tabib-tabib dari banyak tempat yang dia datangkan sama sekali tak membantu. Tubuh Bimantara makin hari makin kurus, dan tak bertenaga. Pada waktu-waktu tertentu, laki-laki yang dulu gagah perkasa itu menjerit kesakitan, merasakan tubuhnya seperti dibakar. Tidak tahan melihat kondisi suaminya kesakitan, Gendis hendak berlari mencari Permana, tapi Bimantara mencegahnya.“Kau tikam saja aku dengan pedang, bila kau sudah bosan merawatku, daripada kau meminta bantuan Permana!” kata Bimantara terbata menahan sakitnya.Gendis hanya terdiam menahan air matanya yang hampir tumpah melihat penderitaan suaminya. Dia kenal betul w
“Sabar Mbakyu, aku tak bermaksud jahat!” Permana mangangkat telapan tangan, memberi tanda agar Gendis menurunkan pedangnya.“Hah, permainan apa yang kau lakukan!” Gendis tetap mengacungkan pedang dengan sikap siaga tak peduli dengan isyarat permana.Ketua padepokan itu menyarungkan pedang, lalu berjalan mendekati Gendis. Gendis sendiri masih tetap siaga mundur beberapa langkah, menjaga jarak dengan Permana.“Aku benar-benar khawatir dengan keadaan kakang. Aku dengar keadaannya makin parah, tolonglah, izinkan aku membantu!” bujuk Permana berusaha menyakinkan Gendis.Gendis yang tadinya emosi pun menurunkan pedangnya. Melihat kondisi suaminya yang kesakitan tanpa bisa melakukan apapun benar-benar membuatnya tersiksa, dalam benaknya terlintas tidak salahnya mencoba.“Apa kau tidak mempermainkanku!” Gendis melirik tajam masih belum yakin.Permana tersenyum melangkah lebih dekat ke arah Gendis yang meski sudah menurunkan pedangnya, tapi masih menatap waspada dan curiga, “Sarungkan dulu ped
Sukesih merapikan rambutnya, menatap panik ke kanan dan kiri bingung harus berbuat apa. Dia terus menggoyang-goyangkan tubuhnya Mbayang yang tak sadarkan diri.“Panas, Dadaku panas sekali,” rancau Mbayang dengan mata terpejam memegangi dadanya, lalu kembali tak sadarkan diri.“Mbayang... Oh Dewa apa yang terjadi,” Sukesih terus berusaha membangunkan Mbayang.Hari mulai Gelap, Mbayang masih tak sadarkan diri. Sukesih makin bingung. Dia tak kuat mengangkat tubuh Mbayang sendiri untuk dia bawa ke padepokan. Jarak ladang dan padepokan lumayan jauh. Dia sempat berpikir meninggalkan Mbayang sendiri untuk mencari bantuan, tapi dia tak tega meninggalkan Mbayag dalam kondisi tak sadarkan diri.Di tempat lain, Cakraraya yang baru datang, langsung menuju kediaman Gendis dan Permana. Dia berhasil mengajak seorang tabib sakti bersamanya. Tabib itu bernama Begawan Wirasena, dia adalah seorang pertapa yang sakti yang sudah lama mengasingkan diri, sahabat dari gurunya Ki Bayu Seta.Saat keduanya masu
Permana segera memerintahkan murid-murid padepokan untuk menurunkan mayat Begawan Wirasena dan menaruhnya dulu di ruangan belakang. Dia kemudian meminta Gendis dan Cakraraya ke aula padepokan untuk berdiskusi.Permana duduk di kursi ketua, sementara Cakraraya, Gendis dan Nyi Dewi duduk di kursi bawah. Wajah keempat tokoh utama pedpokan segaran itu tampak tegang. Tidak ada yang pernah menyangka akan ada kejadian seperti ini di padepokan segaran.“Sebagai ketua padepokan, aku merasa terhina sekali. Seorang Begawan Sakti bisa tewas di tempat kita, mau ditaruh dimana harkat dan martabat padepokan bila berita ini tersiar keluar! Kita harus segara menangkap dalang, dari semua ini!” Permana dengan suara prihatin membuka suara.Cakraraya dan Gendis hanya menunduk. Cakraraya yang mengundang sang Begawan benar-benar merasa terpukul. Dia semalam tidur terlalu lelap hingga sama sekali tidak mendengar apapun. hingga peristiwa naas itu terjadi.“Hmm, Kejadian seperti ini tidak akan terjadi bila kal
Matahari mulai meninggi, membuat mata Mbayang menjadi silau. Perlahan, lelaki yang terkena racun pelemas tenaga itu membuka mata, dia merasakan dadanya terasa berat. Dan alangkah terkejutnya dia saat melihat sukesih tidur dia atas dadanya. Seketika tubuhnya yang lemah jadi punya tenaga, dia buru-buru bangkit.Adanya gerakan dari tubuh Mbayang, membuat Sukesih terbangun. Wajahnya pun berubah merah saat sadar kalau semalam dia tidur di atas dada bidang Mbayang. keduanya duduk di tanah, sama-sama bingung dan malu. Mereka saling lirik tapi masih malu untuk membuka percakapan.“Uhuk! Uhuk!”Mbayang kembali batuk, merasakan dadanya kembali sesak. Sukesih secara spontan, bergeser mendekat menyentuh pundak Mbayang.“Bagaimana keadaanmu?”Mbayang menoleh pelan, menyunggingkan senyum.“Dadaku, masih terasa sesak, dan tubuhku rasanya lemas sekali. Mmm, jadi semalam...”Sukesih langsung melepas sentuhan tangannya, bergeser menjauh dari Mbayang. wajahnya kembali memerah.“Sudahlah, jangan kau baha
Iblis-iblis tak kasat mata, terus meniup tengkuk leher Mbayang dan Sukesih, membuat muda-mudi itu makin terbakar asmara, semakin dekat dengan lembah dosa karena birahi mereka terus menyala-nyala menuntun untuk dilampiaskan. Di sisi lain, Raja Akhirat tanpa sepengetahuan Dewa Pangatur Nasib, meniupkan hawa panas dari kedua mulutnya. Iblis-iblis yang menggoda pun berlarian pergi. hal itu membuat Mbayang kembali merasakan kembali racun pelemas tenaga yang ada dala tubuhnya.“Ummm,” Mbayang mengerutkan keningnya, melepaskan tangan dari tubuh Sukesih. Dia kembali memegangi dadanya yang kembali terasa sesak.“Kau kenapa?” tanya Sukesih panik melihat perubahan wajah yang nampak kesakitan.“Racun itu..., mmm, carikan aku, air kelapa…” ucap Mbayang menahan sesak di dadanya.Sukesih mengamati sekeliling. Dia melihat ada pohon kelapa hijau tak jauh darinya.“Tunggulah sebentar!” Sukesih bergegas bangkit berdiri, berjalan mendekati pohon kelapa hijau, mendongakkan kepala, mencari-cari kelapa muda