Arsya memaksa sepasang matanya memandang Riri. Ia lalu menghela napas dan tertawa. Satu tangannya kemudian mendorong lengan Riri menjauh. “Sudah…sudah. Kembali duduk ke tempat kamu. Meski wajah kamu dan Fanny hampir serupa, tapi entah kenapa kamu terasa beda banget.” Arsya menolak meneruskan tatapan sendu Riri yang menggiringnya pada suasana romantisme.“Kamu kayaknya memang nggak cinta sama Fanny,” ujar Riri, kembali menyandarkan punggungnya ke dinding penyekat.“Kamu sudah makan? Lebih baik kamu makan dulu sebelum pulang.” Arsya menyodorkan menu pada Riri.“Pulang? Kamu udah mikirin soal pulang? Percakapan kita belum ada apa-apanya,” ujar Riri, menepis menu yang disodorkan Arsya.“Apa ada hal lain yang mau kamu bicarakan? Aku sudah update semua berita tentang keluarga Panca. Aku rasa penjelasanku sudah cukup jelas.” Arsya mengambil buku menu lain dan membuka-bukanya.“Kamu nggak dengar apa yang barusan aku tanya? Kamu nggak cinta, ya, sama Fanny? Makin ke sini kesannya kamu memang n
Meski Alif sudah masuk ke ruang rawat dan tidur mapan di ranjangnya, Indah belum bisa meluruskan kaki karena barang bawaan yang harus ia bereskan. Setelah menyusun botol susu Alif ke mini bar, Indah duduk menunggu Bu Anum yang tadi pamit turun. Sepuluh menit mengusap-usap tangan Alif, suara pintu diketuk membuat Indah menegakkan tubuh. “Permisi …,” ucap Bu Anum, menyusul ketukannya tadi. Wanita itu mengulum senyum karena Indah memandang tentengan di tangannya dengan penasaran. “Penasaran, ya? Bisa tebak ini apa?” Bu Anum meletakkan semua bawaannya di meja ruang tamu. “Bu Anum ke bawah ngambil itu semua? Siapa yang kasih?” Indah berdiri menghampiri dan duduk di sofa. Ikut menunggui Bu Anum yang mengeluarkan satu persatu isi bungkusan super besar. Bu Anum mengangkat tas pakaian besar dan menyodorkannya pada Indah. “Ini pakaian ganti buat Mbak Indah selama di sini. Juga ada tiga set pakaian kantor kalau mau masuk kerja dari sini. Tapi Pak Abang ngomong kalau Mbak Indah sebaiknya nggak
Indah dan Arsya duduk nyaris bersebelahan. Melirik diam-diam pasti akan mudah terlihat. Apalagi kalau hal itu dilakukan terang-terangan. Indah setengah bengong dan tanpa sadar ketika meneliti penampilan Arsya. Pria itu baru saja mengatakan bahwa ia boleh bertanya. Bukankah sebaiknya ia tidak bertanya apa pun? Cukup menjalani apa yang sudah diatur Arsya untuknya, kan? Bukankah pria itu memintanya untuk percaya saja?“Penampilan kayak begini … Abang dari mana?” Indah diam beberapa detik mencerna ucapannya sendiri. Lalu Indah tak perlu waktu lama untuk menyesali pertanyaan itu. Rasanya takut sekali kalau Arsya merasa diusili.“Kayak begini?” Arsya ikut melihat penampilannya sendiri. “Memangnya kenapa dengan begini?” Arsya tidak merasa ada yang aneh atau berlebihan dengan penampilannya. Di luar jam kantor ia kebanyakan berpenampilan seperti itu untuk keluar rumah. Memangnya harus berpenampilan seperti apa lagi?“Iya, ya. Memang nggak kenapa-napa, sih. Aku aja yang baru tahu kalau penampil
Usul Fanny memang tidak langsung diterima terang-terangan oleh Arsya. Tidak juga ditolak mentah-mentah. Karena tangan Fanny sudah menyusup cukup dalam ke kemeja Arsya dan pria itu membiarkannya.Gairah yang penasaran seiring kematangan usia kadang membuat Arsya kewalahan. Ia membiarkan tangan Fanny menggaruk dan membelai perutnya. Lalu membuka sisa kancing kemeja kantor yang sejak tadi sebenarnya masih sangat rapi.“Sepertinya kita harus bersabar sampai sah menjadi suami istri.” Arsya memejamkan mata saat bibir Fanny mengecup lehernya berpindah-pindah. Hangat napas Fanny sudah terasa menghantam kulitnya dengan terburu-buru. “Aku harus pulang …,” bisik Arsya, meraup tubuh Fanny dalam pelukan, lalu membuka mata dan menangkup wajah untuk melumat bibir wanita itu.Gumaman dan erangan tidak jelas terdengar dari sela-sela bibir keduanya. Saling menyesap dan melumat. Sampai Arsya menekan tubuh Fanny ke pintu dan membuat tubuh mereka hanya terhalang selembar kain.“Asa … malam ini nggak usah
Melihat Fanny menangis, Riri langsung diam. Ketegangan di wajahnya mengendur dan ia memungut pakaian yang tadi dicampakkan adiknya. “Udah…udah. Jangan nangis.” Riri maju memeluk Fanny. Mengusap dan menepuk-nepuk punggung adiknya sebentar. “Sebaik apa pun kita menutupi kebenaran, kebenaran akan selalu menemukan caranya untuk muncul. Cepat atau lambat. Dan solusi dari semua ini cuma berkata jujur, Fan. Kalau Arsya sayang ke kamu, dia pasti bakal tetap menerima.”“Apa harus jujur sementara aku sendiri nggak yakin apa yang dilakukan Om Tio dulu? Kayaknya nggak sampai sebegitunya.” Suara Fanny lirih meyakinkan kakak kembarnya.Riri melepaskan pelukannya. “Kalau kamu yakin, ayo periksa ke dokter. Bakal lebih nggak baik kalau kamu bohong. Andai dulu kamu nggak terlalu ramah meladeni Om Tio sebagai ayah sebenarnya.” Riri terduduk lemas. “Kalau kamu nggak bisa ngomong ke Arsya, biar aku yang ngomong. Dia laki-laki baik yang berhak tahu kebenaran.”“Kamu benar-benar mau ngomong ke Arsya? Apa ngg
Sesaat sebelum Fanny diserempet mobil sampai menghantam aspal hujan memang tidak henti dari sore. Gerimis, lalu deras, lalu kembali gerimis yang cukup deras saat malam hari. Panca dan Mayang baru saja keluar dari night club selesai menjamu tamu atasan Panca dari luar negeri. Karena Panca setengah mabuk, Mayang menyeretnya masuk ke mobil dan memintanya untuk beristirahat sebentar sebelum mereka pulang. “Yang … kita ke hotel aja. Aku mau ini. Kamu yang nyetir. Ayo, kita switch kursi.” Tangan kiri Panca menyusup ke dalam rok pendek yang dikenakan Mayang. Dengan mata terpejam dan kepala bersandar ke jok, jemarinya dengan mudah menemukan celah kenikmatan yang dicarinya. Tertutup dengan selembar pakaian dalam dari lace yang tipis. “Kamu mabuk, aku juga masih pusing meski minum dikit. Lain kali kalau mau nyenengin atasan kamu, aku enggak mau ikut, Ca. Capek,” omel Mayang, ikut menyandarkan punggungnya di jok dan memejamkan mata. “Tapi aku mau …,” lirih Panca, telunjuknya sudah menekan tit
“Nggak usah gila, Yang! Udah berapa kali, sih, aku bilang kalau Indah itu perempuan nggak neko-neko. Aku nggak tahu apa yang dia rasain ke aku di malam pertama. Kaku kayak dipaksa. Kayak nggak tahu mau ngapain aja. Enggak ada inisiatif apa-apa. Udah, deh, nggak usah ngomongin itu. Dia nggak pernah kenal laki-laki lain selain aku. Malam ini kamu pulang ke rumah kamu aja.” Menceritakan soal malam pertama bersama Indah membuat hasrat kecil tiba-tiba memercik dalam diri Panca. Ia membayangkan Indah yang amat jarang disentuhnya sejak menikah karena bayangan hubungan ranjang bersama Mayang. Kuduknya meremang. Tiba-tiba ia menginginkan kepolosan Indah di ranjang. “Aku antar kamu,” tukas Panca. “Enggak! Aku mau ke rumah kamu. Aku nggak mau pulang!" teriak Mayang, memukul lengan Panca. “Mayang! Kita lagi di—” BRAKK “Apa itu? Apa itu? Kamu barusan nabrak orang, Ca. Nabrak!” pekik Mayang, menoleh ke belakang. “Kita dikejar…kita dikejar!” Mayang kini mencengkeram lengan Panca. “Kamu diam!” te
Memutuskan bekerja pagi itu dan meninggalkan Alif bukan dilakukan Indah dengan asal-asalan. Bukan juga kemaruk karena Arsya sudah mengizinkannya tidak masuk tapi ia sok-sokan tetap muncul di kantor. Sepanjang malam kemarin Indah tidak bisa tidur. Karena sempat tidur sebentar lalu makan bersama Arsya di jam yang cukup larut membuat kantuknya hilang. Setelah kepergian Arsya, Indah termangu-mangu. Pembicaraannya bersama pria itu kembali terngiang. Arsya terlihat sewot sekali saat ia menyebut Panca dengan ‘Mas’. Dua bagian hati Indah terasa tidak nyaman. Padahal tidak ada maksud apa-apa. Di satu sisi Indah tidak ingin membuat Arsya yang selama ini sudah begitu baik dan banyak membantu malah kecewa karena ia yang terlalu ‘mengasihi’ keluarga Panca. Di sisi lain, ia memang tidak tega melihat video mantan papa mertuanya digelandang polisi. Sudah tua. Kalau dipenjara pasti bisa sakit-sakitan, pikirnya. Indah lalu tertidur dan terbangun di pagi yang masih gelap. “Sesudah tidur pun masih