31-08-2023 Dilanjutkan segera 🖤
Ponsel di tangan Indah masih menampilkan pesan Panca. Beberapa saat lamanya ia tertegun, lalu membaca kembali pesan itu. Apa ia akan berubah menjadi orang yang tidak punya belas kasih demi membalaskan sakit hatinya untuk pengkhianatan Panca?Indah menutup pesan dan menyingkirkan ponsel ke dalam tas lalu melanjutkan pekerjaan. Selesai merapikan notulen rapat dan mengarsipkannya, Indah menghela napas panjang dan berat. Waktu menunjukkan bahwa ia sudah bisa meninggalkan kantor. Tapi ia kembali mengingat pesan dari Panca.Indah kembali melirik jam di mejanya. “Sebenarnya aku bisa menjenguk. Tapi aku harus izin sama dia,” gumam Indah, mengeluarkan ponsel bermaksud menghubungi Arsya untuk meminta izin. “Minta izin … memang seharusnya aku minta izin ke dia. Bagaimana pun dia suamiku sekarang. Tapi … gimana kalau belum apa-apa malah diomelin?” Setelah berkasak-kusuk sendiri dari tadi, akhirnya Indah menyimpan ponsel dan meninggalkan lantai itu.‘Aku udah pulang dari kantor dan bisa jenguk Pa
Papa Panca yang biasa dipanggil Indah dengan sebutan Papa Fuad urung mendekat. Tangan Arsya terulur padanya namun pria tua itu malah terlihat sedikit mundur.“Ini suami Indah? Akhirnya saya bisa ketemu juga. PresDir SB Industrial, ya? Berarti anaknya Pak Ari Subianto. Indah sangat beruntung mendapat mertua yang bisa memberikan segala kecukupan buat dirinya dan Alif.” Pak Fuad bicara pada Arsya. Bermaksud ramah untuk menghibur dirinya sendiri dari sorot mata Arsya yang cukup mengintimidasi. Bukannya malah bertambah ramah, Arsya malah tertawa kecil ketika mendengar ucapan Pak Fuad. “Kenapa mertua yang bisa memberikan segalanya? Saya suaminya. Itu tugas suami, Pak. Bukan tugas mertua.”“Maaf kalau kata-kata saya tidak sesuai. Kadang apa yang terlihat memang tidak sama dengan apa yang kita pikirkan,” tambah Pak Fuad lagi.Sebelum melepaskan tangan Pak Fuad, Arsya membalas ucapan itu dengan, “Tapi yang terjadi pada Indah dan semua yang disebabkan putra Bapak malah tidak perlu dipikir lagi
“Sebaiknya Abang tunggu di sana,” Arsya menunjuk satu set sofa yang menghadap sebuah televisi besar.“Sebaiknya memang begitu,” sahut Indah dengan sangat cepat. Ia melirik Alif yang menyusu dengan mata terpejam. Terbukti kalau bayi mungil itu memang sudah mengantuk. Arsya kembali memandang Alif. Yah, setidaknya itu yang ingin ia percayai. Arsya hanya memandang wajah Alif, bukan dadanya yang sedang tumpah ruah.“Oke.” Arsya berbalik, lalu iateringat sesuatu. “Oh, ini ada tirainya.” Arsya berjalan ke dekat nakas dan menarik tirai yang mengelilingi ranjang dengan senyum tertahan. Arsya baru tersadar dari kebodohan beberapa saat yang lalu. “Kita makan malam sama-sama,” ujarnya lagi. Saat duduk menghempaskan tubuh di sofa, ia meraba jantungnya yang berdebar tak nyaman. Dasar gila, pikirnya. Hal sepele seperti itu harusnya tidak membuatnya salah tingkah. “Alif mulai nyenyak. Kita makan malam sebentar lagi,” sahut Indah. Tak ada yang bisa dilakukannya Indah selain bersikap seperti biasa. M
Kurang jelas apa yang terlintas di benaknya soal hubungan dengan Arsya. Indah tidak mau menjadikannya salah satu hal penambah beban pikiran. Belakangan ia merasa hidup sudah terlampau sulit. Hingga ajakan makan siang bersama membuatnya cukup bahagia. Rasanya sudah lama sekali. Ia hampir lupa kapan terakhir kali duduk di restoran untuk memenuhi ajakan makan siang dari seorang pria.Indah mengenakan satu setel pakaian kantor abu-abu dengan bagian dalam kemeja sutra krem yang bagian lehernya bisa dijalin membentuk pita. Setelah selesai memoles lipstiknya, Indah tersenyum ke cermin kamar mandi. Tiga detik tersenyum, wajahnya kembali datar.Tidak seharusnya ia bisa tersenyum di saat bercermin di kamar mandi bayinya yang sedang sakit. Beberapa lantai dari tempatnya berdiri pun papanya juga sedang terbaring. Kenapa ia malah seperti bersenang-senang? Senyum di wajahnya sirna. Sepertinya dandanan bagus hari itu akan tetap bagus tanpa tersenyum. Ia tidak perlu tersenyum. Bu Anum memujinya sepert
“Anda sepertinya terlalu banyak bermain akhir-akhir ini,” kata Zhang Ma. Wajahnya serius, lalu pria itu terkekeh-kekeh. “Walau buat saya ini bisa diartikan penghinaan, tapi bisnis tetap bisnis. Kita akan masuk ke ruang rapat dan berbicara selama dua jam ke depan seperti yang sudah kita sepakati.”“Terima kasih,” sahut Arsya dingin. Suasana hatinya sudah tak sebaik beberapa menit lalu.Sebelum masuk, Zhang Ma menyempatkan diri berbalik untuk kembali memandang Indah yang dari kejauhan sudah terlihat duduk kembali di belakang mejanya. Sorot matanya sulit diartikan.Di pintu masuk, Sarah menyambut tamu dengan wajah ramah seperti tak terjadi apa pun. Lalu kemudian menutup pintu setelah merasa bahwa keributan kecil barusan sudah terlewati. Namun, rupa-rupanya kekesalan dua pemimpin perusahaan itu belum surut. Selama rapat berlangsung Zhang Ma lebih irit bicara dan Arsya semakin dingin menjawab pertanyaan. Sarah mencium gelagat tidak baik dan memutuskan untuk tidak memperpanjang topik obrola
Indah berdeham dan membasahi tenggorokannya berkali-kali. Suasana ruang kerja Arsya terasa lebih mencekam setelah kepergian Sarah dan Yeni. Dari sudut matanya, Indah bisa melihat Arsya mengawasi sampai Sarah dan Yeni keluar dari ruangan. Saat terdengar suara pintu ditutup, Arsya bangkit dari kursi dan pergi ke depannya. Indah bingung harus melihat ke bagian mana. Arsya menyandari meja kerja dengan kedua tangan berada di saku celana. Jarak mereka sangat dekat sampai ia bisa melihat permukaan mengilap setelan jas krem yang dikenakan Arsya. “Indah …,” panggil Arsya dengan sangat lembut.Indah sontak mendongak. “Ya?” Terkejut karena nada suara Arsya berubah. Kaku dan dingin tadi hilang. Sepertinya sekarang Arsya tengah menjelma menjadi ‘Bang Asa’. “Maaf soal yang tadi,” ucap Arsya, menunduk memandang sepasang mata Indah yang menatapnya teduh. Mata Indah memang begitu. Sorotnya teduh dan tanpa rasa bersalah. “Saya janji hal seperti tadi tidak akan terjadi lagi. Tapi … Saya juga mau kamu
Seperti dugaan Indah sebelumnya, ia memang belum pernah pergi ke daerah itu. Selain karena memang lahir dan dibesarkan di Bandung, saat bersama Panca mereka memang jarang ke mana-mana. Akhir pekan biasa hanya dihabiskan di rumah untuk beristirahat. Cahaya matahari yang cukup galak lumayan terhalau dengan angin, es krim dan tubuh Arsya yang dijadikan Indah tempat berteduh. Satu tangan Arsya melingkari tubuhnya. Menjadi pagar dan pelindung agar ia tidak tersenggol atau bertubrukan dengan tubuh konsumen yang selesai bertransaksi dan terburu-buru pergi. Ketika tiba giliran mereka, tangan Arsya yang dikiranya akan terurai ternyata masih betah memeluknya. Arsya bertransaksi dengan satu tangannya. “Nah, akhirnya dapat juga. Sebelum makan kamu bisa makan es krim-nya dulu.” Arsya akhirnya melepas pelukan dan berganti dengan menggandeng Indah ke bangku kayu yang melingkari sebuah pohon. Setelah antrean panjang membeli es krim, Indah menyadari kalau Arsya hanya membeli satu. “Lho, kenapa cuma
Awalnya Indah biasa saja menghadapi para dokter yang menangani Alif. Hanya merasa sedikit gugup dan berdebar yang masih mampu ia tolerir. Kadang setelah mendengar istilah kedokteran ia harus bertanya dan kadang ia harus browsing untuk menambah pemahamannya.Namun, tiap kali selesai memahami sebuah istilah baru, Indah merasa hati dan tubuhnya ngilu. Alif yang mungil harus merasakan sakit dan melalui proses pengobatan yang entah kenapa tahapannya terasa sangat panjang dan rumit. Indah terus menyaksikan bayi yang dilahirkannya tersakiti karena proses pengobatan yang sedang dijalani.Terlebih akhir-akhir ini saat dokter menjelaskan proses pembuatan anus dan proses businasi yang akan dijalani Alif. Indah merasa tubuhnya gemetar karena membayangkan Alif akan merasakan kesakitan luar biasa.Terlebih saat dokter mengatakan “Kondisi jantung Alif harus sangat baik agar bisa menolerir sakit sewaktu businasi dilakukan. Tindakan memasukkan alat busi untuk menjaga bentuk koreksi anus agar permanen