Seperti dugaan Indah sebelumnya, ia memang belum pernah pergi ke daerah itu. Selain karena memang lahir dan dibesarkan di Bandung, saat bersama Panca mereka memang jarang ke mana-mana. Akhir pekan biasa hanya dihabiskan di rumah untuk beristirahat. Cahaya matahari yang cukup galak lumayan terhalau dengan angin, es krim dan tubuh Arsya yang dijadikan Indah tempat berteduh. Satu tangan Arsya melingkari tubuhnya. Menjadi pagar dan pelindung agar ia tidak tersenggol atau bertubrukan dengan tubuh konsumen yang selesai bertransaksi dan terburu-buru pergi. Ketika tiba giliran mereka, tangan Arsya yang dikiranya akan terurai ternyata masih betah memeluknya. Arsya bertransaksi dengan satu tangannya. “Nah, akhirnya dapat juga. Sebelum makan kamu bisa makan es krim-nya dulu.” Arsya akhirnya melepas pelukan dan berganti dengan menggandeng Indah ke bangku kayu yang melingkari sebuah pohon. Setelah antrean panjang membeli es krim, Indah menyadari kalau Arsya hanya membeli satu. “Lho, kenapa cuma
Awalnya Indah biasa saja menghadapi para dokter yang menangani Alif. Hanya merasa sedikit gugup dan berdebar yang masih mampu ia tolerir. Kadang setelah mendengar istilah kedokteran ia harus bertanya dan kadang ia harus browsing untuk menambah pemahamannya.Namun, tiap kali selesai memahami sebuah istilah baru, Indah merasa hati dan tubuhnya ngilu. Alif yang mungil harus merasakan sakit dan melalui proses pengobatan yang entah kenapa tahapannya terasa sangat panjang dan rumit. Indah terus menyaksikan bayi yang dilahirkannya tersakiti karena proses pengobatan yang sedang dijalani.Terlebih akhir-akhir ini saat dokter menjelaskan proses pembuatan anus dan proses businasi yang akan dijalani Alif. Indah merasa tubuhnya gemetar karena membayangkan Alif akan merasakan kesakitan luar biasa.Terlebih saat dokter mengatakan “Kondisi jantung Alif harus sangat baik agar bisa menolerir sakit sewaktu businasi dilakukan. Tindakan memasukkan alat busi untuk menjaga bentuk koreksi anus agar permanen
“Ayah ke sini cuma buat ngeledekin aku?” Arsya menahan senyum antara kesal dan geli melihat sikap ayahnya.“Kan, Ayah sudah bilang mau bahas makan siang. Jadi, bagaimana? Indah senang?” Ari Subianto kembali meletakkan daftar calon investor yang sekilas dibacanya.“Benar-benar cuma mau tahu soal makan siang? Soal investor yang kabur gimana?” Wajah Arsya terlihat sebal.“Serius. Ayah mau dengar soal makan siang dan kabar Indah. Kabar Alif juga. Soal investor yang kabur, Ayah nggak mau ambil pusing. Itu tanggung jawab Abang. Kalau berani berbuat harusnya, sih, Abang sudah punya solusi. Benar, nggak?” Pria yang usianya hampir tujuh puluh tahun itu lalu mengangguk sebagai isyarat terima kasih pada asistennya yang sedang mengantarkan teh.“Solusi sedang diupayakan. Aku sudah minta Sarah mengatur rapat internal untuk besok,” jelas Arsya.“Indahnya bagaimana?” Ari Subianto mengubah rautnya menjadi serius karena melihat Arsya belum luluh saat ia bertanya soal Indah.“Biasa aja, Yah. Indah sena
“Siapa…siapa laki-laki itu? Jangan bicara sesuatu yang aku nggak ngerti.” Riri terlihat pucat dengan satu tangan memegangi pintu.“Pinggir,” Tio menerobos masuk dengan menyingkirkan tangan Riri.“Om Tio … aku udah bilang jangan ganggu aku dulu. Aku capek. Aku mau istirahat sebentar aja. Apa Om nggak lihat aku juga lagi berjuang mengatasi sakitku?” Riri mengusap peluh dengan ujung lengan piyamanya. “Siapa? Mimpi apa?”Tio berjalan ke kulkas dan mengeluarkan bir kaleng. Dengan satu jentikan tangan kaleng bir itu terbuka dan ia meneguknya banyak-banyak, lalu menghempaskan tubuh ke sofa. “Aku mimpi Fanny. Dalam mimpiku Fanny nangis dan minta aku membunuh pacarnya. Mungkin Fanny tahu kalau pacarnya sudah menikah dengan orang lain. Laki-laki berengsek! Aku kira dia secinta itu sama Fanny.”Perkataan Tio menyadarkan Riri. “Apa? Maksudnya Arsya? Bunuh Arsya? Kenapa Arsya harus ikutan mati? Enggak usah ikut-ikutan nggak jelas. Harusnya Om nggak usah ikut-ikutan soal Fanny. Om bukan siapa-siapa
“Aku hamil dan memang kepengin makan di sini. Aku yang mau ke sini dan nggak ada hubungannya sama Indah. Semakin kamu nggak mau lihat Indah, aku akan semakin maksa. Kalau kamu nggak ada rasa lagi, harusnya kamu bisa bersikap biasa aja. Jangan kampungan, Ca.” Tangan Mayang mencengkeram lengan Panca kuat-kuat. Panca terlihat berusaha keras untuk tidak meringis. Sementara di sisi lain Arsya santai saja. Tidak ada perubahan berarti di wajahnya. Setelah bertanya, “Nggak ada yang ketinggalan?” Arsya meneruskan langkahnya karena Indah menggeleng. “Pak Arsya tempatnya silakan ikut saya,” ajak seoran pria berjas hitam yang name tag-nya berwarna keemasan bertuliskan Manager Operasional. “Indah mau duduk di sebelah sana atau mau tempat yang lain?” Arsya kembali bertanya pada Indah agar mereka sedikit melambat dan ia melihat ke mana perginya Panca. Ia tidak mau makan malam itu kacau karena Indah sibuk berbagi perhatian antara piring dan wajah mantan suaminya. Indah melihat ke mana tangan manag
“Panca! Panca!” Mayang berdiri memandang punggung Panca yang menjauh. Ia menyambar tasnya dan pergi meninggalkan meja.Seorang pelayan yang tadi menunggui mereka kembali mengangkat buku menu dan membereskan meja kembali seperti semula. Pertengkaran sepasang manusia dan berakhir dengan gagalnya makan malam bukan hal pertama yang terjadi di restoran itu.“Ca!” Mayang setengah berlari mengejar Panca yang sudah tiba di teras restoran. “Kamu kenapa, sih? Over acting banget pakai acara ngambek keluar restoran. Apa nggak bisa biasa aja dan nunggu kita sampai di rumah? Cuma karena ketemu Indah lantas mood kamu berubah jadi jelek?”Panca melewati teras restoran dan mengabaikan Mayang. Langkahnya tergesa menuju parkiran dan wajah menekuk. “Coba kamu ingat-ingat siapa yang memulai pertengkaran. Kamu atau aku? Kayaknya sejak awal sampai di restoran aku nggak ada ngomong apa-apa. Kamu yang nyentil-nyentil soal reaksiku yang berubah.”“Tapi kamu memang berubah,” potong Mayang. Mereka sudah tiba di m
Riri mundur selangkah karena Arsya masuk ke mobil. “Sa, aku perlu ngomong sama kamu. Ini penting banget. Sumpah, Arsya … kamu harus dengar aku.” Riri mengetuk kaca mobil dan Arsya membukanya. “Ri, kita bakal ngobrol penting. Aku juga bakal ngomong sesuatu ke kamu. Tapi nggak sekarang. Sore ini aku janji nganterin istriku ke rumah sakit. Besok pagi papanya operasi.” Arsya bicara dengan Riri tapi matanya sibuk melihat ke arah Indah yang hampir mencapai pagar gedung.“Istriku …? Sekarang enteng banget kamu nyebut dia itu istri kamu. Aku nggak nyangka permintaanku buat nyari orang yang nabrak Fanny malah berakhir dengan kamu menikahi perempuan itu. Aneh bener kamu.” Riri berdecih. Geram karena mengingat janji Arsya di awal pembicaraan mereka.“Sekarang kamu mau mempermasalahkan yang mana? Bukannya semua permintaan kamu sudah aku turuti? Kamu lihat sendiri, kan, apa yang terjadi sekarang. Minggu ini aku sibuk. Aku hubungi kamu kalau jadwalku sudah longgar. Aku pergi sekarang.” Arsya kemb
Indah merasa dirinya hampir mati rasa. Air mata yang ia kira akan keluar tanpa henti saat papanya meninggal nyatanya tidak seperti dugaannya itu. Indah tidak menangis. Ia menatap wajah pria penjaganya itu dengan sorot muram.“Papa …. Sampaikan ke Mama kalau Indah baik-baik aja. Indah pasti kuat karena Indah punya Alif. Kami berdua pasti mampu melewati semua ujian ini.” Indah sempat membisikkan kata-kata terakhir saat melihat papanya di turunkan ke dalam tanah. “Maaf karena Indah nggak bisa bawa Alif.”“Kalau Indah capek … Jangan lupa pesan Papa. Hidup itu cukup sehari demi sehari. Enggak perlu dipikirkan setahun sekaligus. Hari ini aja dulu. Besok lain lagi. Setiap pagi Tuhan selalu memberi hari baru. Kesempatan baru datang setiap pagi.”Pesan-pesan yang sering diucapkan papanya, menggema berulang di kepala Indah. Sampai-sampai suara kesibukan orang-orang yang sedang membereskan pemakaman tak terdengar di telinganya. Indah memandang kesibukan di depannya dengan sorot mata penuh kekoso