“Mana Mayang? Kenapa nggak ikut ke sini? Apa dia nggak mau lihat Mama karena yang terakhir kali? Memangnya dia hamil berapa bulan, sih?” Bu Eta duduk di sofa dengan remote televisi berada di tangannya. “Mayang masih di kantor, Ma. Tadi sewaktu mau berangkat ke sini, aku diminta duluan. Dia masih ada kerjaan. Pasti datang, kok,” kata Panca dari depan pintu. “Mama baru bebas harusnya nggak boleh marah-marah gitu. Banyakin istirahat. Bukannya Mama yang bilang selama di tahanan nggak enak tidur, nggak enak makan.” “Memang nggak enak tidur dan nggak enak makan. Mau ngerasain di tahanan kamu?” Bu Eta menatap Panca dengan kesal. DEG Panca langsung terdiam. Pertanyaan mamanya barusan mengingatkan ia akan selembar ancaman yang diterimanya tempo hari. Ia langsung gelisah. Bagaimana nasib wanita yang ditabraknya malam itu? Apakah wanita itu selamat? Oh, tentu saja selamat. Ada seorang wanita lain yang bersama wanita itu. Wanita itu pasti segera dibawa ke rumah sakit. Atau ia harus segera men
Kurang dari delapan bulan yang lalu, Arsya terbangun setelah tertidur tak lebih dari satu jam. Ia baru pulang dari menjamu klien dari Rusia.“Aku baru tidur, Fan. Kamu kenapa? Diganggu Tio lagi? Kali ini dia ditahan di mana? Sekali-kali biarkan dia bermalam di kantor polisi. Kamu nggak punya tanggung jawab moral soal dia.” Arsya setengah emosi karena dini hari itu ia memang luar biasa lelah. Kebanyakan telepon dari Fanny di pukul segitu biasanya berkaitan dengan Tio, mantan ayah tirinya.“S-Sa …. I-ini Riri. Fanny …. Fanny kecelakaan. Meninggal. Di dekat apartemen. Tabrak lari, Sa. Fanny korban tabrak lari.”Rasanya baru semenit yang lalu ia merebahkan tubuh dan memejamkan mata. Kenapa baru satu menit berlalu tapi dunia sudah begitu banyak berubah.“Ka-kamu siapa? Riri? Kenapa handphone Fanny ada di kamu?” Arsya bangkit mengusap wajah dan menyugar rambutnya dengan bingung.“Fanny meninggal!” seru Riri di seberang telepon.Kali itu Arsya sudah benar-benar terbangun. Ia melompat dari ra
“Bagaimana, Pak? Kita pergi sekarang?” Agen swasta yang duduk di sebelah Arsya menyadarkannya dari lamunan. “Oh, ya? Siapa nama kamu tadi?” Arsya bertanya tapi matanya masih mengikuti penampakan Indah yang pergi menuju lift. “Nama saya Mahdi, Pak. Sebelum hari ini kita sudahi, apa Bapak mengerti apa yang saya maksud soal wanita bernama Indah tadi?” Mahdi masih memandang Arsya yang masih menatap Indah. “Saya mengerti. Wanita tadi memiliki suami biadab yang tidak peduli pada keluarganya. Jadi, memang mustahil wanita bernama Indah tadi terlibat kecelakaan malam hari sementara dia sendiri sibuk dengan bayinya yang sakit.” Arsya terlihat mengembuskan napas saat Indah masuk lift, lalu ia menoleh memandang Mahdi. “Bapak mau informasi soal Panca dan wanita yang bersamanya malam itu? Saya bisa–” “Boleh. Saya juga mau informasi lengkap soal wanita tadi. Indah Utari Ismawan. Saya mau cerita lengkap tentang bagaimana wanita seperti dia menikah dengan laki-laki bernama Panca itu.” Arsya bangki
Tidak…tidak. Ia belum jatuh cinta. Ia hanya iba pada wanita muda yang terlihat begitu tenang dan keibuan malah harus terjebak dalam rumah tangga bersama suami yang salah. Ia hanya iba. Dalam sekelebat mata saja orang-orang bisa menilai kalau Indah terlalu baik untuk sosok pria seperti Panca. Indah yang kalem itu tidak cocok untuk suami yang bicaranya kasar dan sikapnya manipulatif. Apalagi Indah sedang berjuang untuk bayinya. Arsya menyadarinya. Bibit perasaan itu hanya sekeping iba. Ia iba mengetahui Indah yang hampir menjadi tertuduh pelaku tabrak lari ternyata seorang istri yang diselingkuhi suaminya. Ia iba karena Indah harus merawat bayi cacatnya sendirian. Ia iba karena mengetahui dari Bu Anum kalau Indah tidak dinafkahi lagi. Ia iba karena mendengar kalau Indah sama sekali tidak memiliki teman di kota Jakarta. Ia iba karena mengetahui bahwa ternyata Indah benar-benar hanya berdua bersama Alif; putranya yang masih merah dan mengidap banyak kelainan. Sekeping iba itu tertanam da
Dan setelah hampir delapan bulan berlalu, kesabaran Riri menunggu pembalasan Arsya ternyata berujung pada kekecewaan. Setelah berhasil menikahi Indah, Arsya malah terkesan lupa dengan apa yang dijanjikannya. Arsya seakan mengulur-ulur waktu dan terus menghindar tiap ia bertanya soal kejelasan. Kesabaran Riri sudah mencapai titik di mana ia tidak bisa berpangku tangan melihat Arsya yang terlihat semakin hari semakin terlena dan bahagia.“Menipu dari awal?” Riri membuat mimik wajah terkejut, lalu kemudian tertawa terbahak-bahak. Pupil matanya berkilat karena amarah. “Apa itu bisa diartikan kalau kamu memang jatuh cinta dengan perempuan itu dari awal? Dari satu minggu setelah Fanny meninggal? Benar begitu?”Arsya menggeleng. “Tidak semua yang terjadi kamu harus tahu. Biarkan itu jadi urusanku.”“Tapi kamu terlalu cepat mengkhianati Fanny! Kamu nikahi perempuan yang pernah ditiduri pelaku tabrak lari tunanganmu. Ke mana janji yang kamu sebut-sebut bakal membalas laki-laki berengsek bernam
“Belum lama …. Abang ikutan ngantuk.” Arsya meletakkan dagu di atas kepala Indah. Matanya terpejam. Ia memang sangat lelah hari itu. Bukan lelah bekerja, tapi berdebat dengan Riri. Wanita itu selalu mampu menguras emosinya. Membuatnya benar-benar yakin kalau Riri adalah kembaran Fanny.“Belum ganti baju,” kata Indah, mengusap lengan Arsya yang masih terbungkus kemeja.“Abang mau tidur di sini. Galih pulang ke rumah buat ambil pakaian Abang. Udah malam … harusnya kamu makan, bukannya tidur.” Arsya bicara dengan mata tertutup. Lengannya masih nyaman melingkar di perut Indah.“Ya, udah. Ayo kita makan.” Indah belum bisa melihat wajah Arsya dengan jelas. Ia hanya bisa mencium aroma parfum dan merasakan tubuhnya sedikit berat karena pelukan Arsya.“Sebentar lagi boleh nggak? Kenapa tiduran begini jadinya nyaman banget, ya?” Arsya bergerak, tapi tidak bangkit. Ia hanya memindahkan kepalanya. Kini ia mencium bagian belakang kepala Indah. “Pakai sampo apa? Wangi banget. Tadi keramas, ya? Mand
Indah terbangun lebih dulu dari Arsya. Lagi-lagi ia bermimpi soal papanya. Kali ini papanya datang ke rumah sakit, duduk di ruang tunggu dan diam memandangnya dengan senyum tipis. Ia terbangun dengan pipi yang dingin tapi tubuh yang sangat hangat karena berada dalam pelukan Arsya dan selimut yang diletakkan Arsya di atas tubuh mereka.Ia membuka mata dan bergeser menjauhkan kepala agar bisa melihat wajah Arsya dengan jelas. Lampu ruang rawat memang dikatakan menjelang tidur dan hanya digantikan cahaya dari lampu yang menyala kecil di sudut ruangan. Ia tersenyum melihat wajah Arsya yang masih tertidur lelap dengan satu tangan terselip di bawah kepalanya. Malam itu busana tidur Arsya berupa kaos oblong dan celana chinos yang harusnya tidak dipakai untuk tidur. Malam tadi ia mendengar Arsya mengatakan kalau tidak mungkin mengenakan piyama di ruang rawat rumah sakit. Dan pakaian yang terlihat masih cukup mewah itu dianggap Arsya sangat pantas digunakan untuk tidur. Ia meletakkan telapak t
Indah menelan ludah. Jangan menangis … jangan menangis. Ia terus membatin. Ia juga berharap kalau Panca bisa menahan emosinya meski hal itu sangat mustahil. Panca akan terus meledak-ledak sesuai keinginannya. Sebuah perangai yang sangat sulit diubah.“Mas Panca … dengar aku baik-baik.” Indah berhenti bicara karena pelayan mendekat dan meletakkan teh ke depannya. Demi menyibukkan diri sejenak, Indah memasukkan dua sachet gula dan mengaduk tehnya. Setelah pelayan pergi ia kembali memandang Panca. “Besok Alif bakal operasi koreksi anus,” ucap Indah.“Koreksi apa?” Wajah Panca terlihat mengernyit jijik.“Aku tahu Mas Panca bukannya nggak dengar dengan apa yang barusan aku bilang. Tapi rasa jijik Mas itu nggak sesuai dengan tempatnya.” Indah mengatupkan mulut. Rahangnya terlihat berkedut karena geram. “Selama sebulan ini Alif sudah dirawat di rumah sakit untuk menaikkan berat badan karena kadar albuminnya tidak mencukupi dengan angka yang dibutuhkan untuk menutup luka operasi. Sebulan ini