Tidak…tidak. Ia belum jatuh cinta. Ia hanya iba pada wanita muda yang terlihat begitu tenang dan keibuan malah harus terjebak dalam rumah tangga bersama suami yang salah. Ia hanya iba. Dalam sekelebat mata saja orang-orang bisa menilai kalau Indah terlalu baik untuk sosok pria seperti Panca. Indah yang kalem itu tidak cocok untuk suami yang bicaranya kasar dan sikapnya manipulatif. Apalagi Indah sedang berjuang untuk bayinya. Arsya menyadarinya. Bibit perasaan itu hanya sekeping iba. Ia iba mengetahui Indah yang hampir menjadi tertuduh pelaku tabrak lari ternyata seorang istri yang diselingkuhi suaminya. Ia iba karena Indah harus merawat bayi cacatnya sendirian. Ia iba karena mengetahui dari Bu Anum kalau Indah tidak dinafkahi lagi. Ia iba karena mendengar kalau Indah sama sekali tidak memiliki teman di kota Jakarta. Ia iba karena mengetahui bahwa ternyata Indah benar-benar hanya berdua bersama Alif; putranya yang masih merah dan mengidap banyak kelainan. Sekeping iba itu tertanam da
Dan setelah hampir delapan bulan berlalu, kesabaran Riri menunggu pembalasan Arsya ternyata berujung pada kekecewaan. Setelah berhasil menikahi Indah, Arsya malah terkesan lupa dengan apa yang dijanjikannya. Arsya seakan mengulur-ulur waktu dan terus menghindar tiap ia bertanya soal kejelasan. Kesabaran Riri sudah mencapai titik di mana ia tidak bisa berpangku tangan melihat Arsya yang terlihat semakin hari semakin terlena dan bahagia.“Menipu dari awal?” Riri membuat mimik wajah terkejut, lalu kemudian tertawa terbahak-bahak. Pupil matanya berkilat karena amarah. “Apa itu bisa diartikan kalau kamu memang jatuh cinta dengan perempuan itu dari awal? Dari satu minggu setelah Fanny meninggal? Benar begitu?”Arsya menggeleng. “Tidak semua yang terjadi kamu harus tahu. Biarkan itu jadi urusanku.”“Tapi kamu terlalu cepat mengkhianati Fanny! Kamu nikahi perempuan yang pernah ditiduri pelaku tabrak lari tunanganmu. Ke mana janji yang kamu sebut-sebut bakal membalas laki-laki berengsek bernam
“Belum lama …. Abang ikutan ngantuk.” Arsya meletakkan dagu di atas kepala Indah. Matanya terpejam. Ia memang sangat lelah hari itu. Bukan lelah bekerja, tapi berdebat dengan Riri. Wanita itu selalu mampu menguras emosinya. Membuatnya benar-benar yakin kalau Riri adalah kembaran Fanny.“Belum ganti baju,” kata Indah, mengusap lengan Arsya yang masih terbungkus kemeja.“Abang mau tidur di sini. Galih pulang ke rumah buat ambil pakaian Abang. Udah malam … harusnya kamu makan, bukannya tidur.” Arsya bicara dengan mata tertutup. Lengannya masih nyaman melingkar di perut Indah.“Ya, udah. Ayo kita makan.” Indah belum bisa melihat wajah Arsya dengan jelas. Ia hanya bisa mencium aroma parfum dan merasakan tubuhnya sedikit berat karena pelukan Arsya.“Sebentar lagi boleh nggak? Kenapa tiduran begini jadinya nyaman banget, ya?” Arsya bergerak, tapi tidak bangkit. Ia hanya memindahkan kepalanya. Kini ia mencium bagian belakang kepala Indah. “Pakai sampo apa? Wangi banget. Tadi keramas, ya? Mand
Indah terbangun lebih dulu dari Arsya. Lagi-lagi ia bermimpi soal papanya. Kali ini papanya datang ke rumah sakit, duduk di ruang tunggu dan diam memandangnya dengan senyum tipis. Ia terbangun dengan pipi yang dingin tapi tubuh yang sangat hangat karena berada dalam pelukan Arsya dan selimut yang diletakkan Arsya di atas tubuh mereka.Ia membuka mata dan bergeser menjauhkan kepala agar bisa melihat wajah Arsya dengan jelas. Lampu ruang rawat memang dikatakan menjelang tidur dan hanya digantikan cahaya dari lampu yang menyala kecil di sudut ruangan. Ia tersenyum melihat wajah Arsya yang masih tertidur lelap dengan satu tangan terselip di bawah kepalanya. Malam itu busana tidur Arsya berupa kaos oblong dan celana chinos yang harusnya tidak dipakai untuk tidur. Malam tadi ia mendengar Arsya mengatakan kalau tidak mungkin mengenakan piyama di ruang rawat rumah sakit. Dan pakaian yang terlihat masih cukup mewah itu dianggap Arsya sangat pantas digunakan untuk tidur. Ia meletakkan telapak t
Indah menelan ludah. Jangan menangis … jangan menangis. Ia terus membatin. Ia juga berharap kalau Panca bisa menahan emosinya meski hal itu sangat mustahil. Panca akan terus meledak-ledak sesuai keinginannya. Sebuah perangai yang sangat sulit diubah.“Mas Panca … dengar aku baik-baik.” Indah berhenti bicara karena pelayan mendekat dan meletakkan teh ke depannya. Demi menyibukkan diri sejenak, Indah memasukkan dua sachet gula dan mengaduk tehnya. Setelah pelayan pergi ia kembali memandang Panca. “Besok Alif bakal operasi koreksi anus,” ucap Indah.“Koreksi apa?” Wajah Panca terlihat mengernyit jijik.“Aku tahu Mas Panca bukannya nggak dengar dengan apa yang barusan aku bilang. Tapi rasa jijik Mas itu nggak sesuai dengan tempatnya.” Indah mengatupkan mulut. Rahangnya terlihat berkedut karena geram. “Selama sebulan ini Alif sudah dirawat di rumah sakit untuk menaikkan berat badan karena kadar albuminnya tidak mencukupi dengan angka yang dibutuhkan untuk menutup luka operasi. Sebulan ini
“Mas Harris,” sambut Arsya. “Terima kasih sudah menyempatkan datang ke sini.” Arsya mengulurkan tangan dan langsung disambut kakak sepupunya.“Tidak sibuk kalau untuk keluarga,” kata Harris.“Family man as always,” ucap Arsya. “Chika sehat, kan? Lagi sibuk apa?”Harris mengangguk pada salah seorang perawat dan perawat itu langsung mendekati ranjang Alif dengan pakaian ganti untuk masuk ruang operasi. Setelah memastikan ketiga perawat melaksanakan tugasnya, Harris kembali memandang Arsya untuk melanjutkan pembicaraan.“Chika … sedang sibuk dengan seseorang yang membantunya membuat macam-macam kuncir rambut. Kamu tahu sendiri dari tahun lalu dia sibuk memulai persaingan di sekolahnya dengan tema siapa yang kuncirnya selalu baru dan paling kreatif. Nah, Mas rasa Chika sudah ketemu dengan … seseorang yang tepat.” Harris mengangkat bahu sambil menelengkan kepalanya.“Tapi aku rasa barusan Mas bukan mendeskripsikan Chika,” balas Arsya.Harris tertawa kecil. “Terlalu kelihatan, ya?”“Terlalu
Tak sadar Indah mengeratkan pegangan tangannya pada Arsya. Kedatangan Panca sama sekali tidak diprediksi dan harapannya bisa membuka hati pria itu pun sudah pupus. Bahkan sejak meninggalkan cafe kemarin ia sudah memasrahkan diri bahwa jika terjadi apa pun; terjadi sesuatu yang tidak diinginkan pada Alif, Panca tidak akan melihat putranya itu sampai akhir. Tapi yang terjadi sore itu di luar dugaan. Panca menangis di depan dinding kaca di mana Alif yang baru selesai dioperasi berada.Indah terkesiap ketika Arsya membawanya mundur selangkah. Ia menoleh dan pria itu menggeleng dengan satu telunjuk di depan bibir. Ia pun mengerti kalau Arsya ingin memberi waktu untuk Panca. Tapi pengertian itu berubah ketika Arsya melepaskan genggaman tangannya dan menunjuk tempat di mana Panca berada.Indah bertanya dalam bisikan, “Aku ketemu dia? Kenapa? Aku nggak mau.” Perkataan itu dibarengi dengan gelengan kepala. Ia memang tidak mau kalau harus mendatangi Panca di tempat itu. Baginya kemarin pagi ada
“Dari mana kamu?” tanya Mayang dari depan pintu.Panca yang ditanya tak menjawab. Langkahnya lesu menuju tempat kosong di sebelah Mayang. Lalu, tanpa menjawab Mayang ia memeluk wanita itu.Mayang langsung terdiam. Kepala Panca terkulai di bahunya. Panca tidak pernah seperti itu dan hal itu sebenarnya menyenangkan jika saja keluarga mereka tidak sedang memiliki berita buruk.“Mungkin Tuhan benar-benar marah ke aku, ya Yang. Bukti yang dulu aku sebut-sebut disodorkan langsung di depan mataku. Aku memang banyak salah sama Indah dan Alif.” Panca menerawang siaran televisi yang sedang memutar berita.Mayang merasa harus meredam rasa penasarannya soal dari mana Panca malam itu. Ia harus mendengar curahan hati Panca yang selama ini jarang sekali menunjukkan kepekaan terhadap apa pun. Ia mengambil kesimpulan kalau saat itu Panca benar-benar butuh dihibur. Pelan-pelan tangannya terangkat dan membelai pipi Panca. Rasanya memang aneh sekali. Hubungan mereka yang selama ini dianggapnya selalu pa