“Dari mana kamu?” tanya Mayang dari depan pintu.Panca yang ditanya tak menjawab. Langkahnya lesu menuju tempat kosong di sebelah Mayang. Lalu, tanpa menjawab Mayang ia memeluk wanita itu.Mayang langsung terdiam. Kepala Panca terkulai di bahunya. Panca tidak pernah seperti itu dan hal itu sebenarnya menyenangkan jika saja keluarga mereka tidak sedang memiliki berita buruk.“Mungkin Tuhan benar-benar marah ke aku, ya Yang. Bukti yang dulu aku sebut-sebut disodorkan langsung di depan mataku. Aku memang banyak salah sama Indah dan Alif.” Panca menerawang siaran televisi yang sedang memutar berita.Mayang merasa harus meredam rasa penasarannya soal dari mana Panca malam itu. Ia harus mendengar curahan hati Panca yang selama ini jarang sekali menunjukkan kepekaan terhadap apa pun. Ia mengambil kesimpulan kalau saat itu Panca benar-benar butuh dihibur. Pelan-pelan tangannya terangkat dan membelai pipi Panca. Rasanya memang aneh sekali. Hubungan mereka yang selama ini dianggapnya selalu pa
Suara-suara di ruang rawat Alif mulai tenggelam dan menjauh dari telinga Indah. Pikirannya mulai terpusat pada surat kecil yang dikirimkan Riri padanya. Walau tidak niat menghafal sederet nomor telepon yang diberikan Riri, tapi fokusnya yang sedang terpusat dengan mudah mengingat deretan angka. Ia melirik Arsya yang tengah serius mengecek ponsel. Ke mana Galih? Siapa yang mengantar bunga itu?“Siapa yang antar bunga ini? Perawat?” Indah bertanya dengan suara pelan. Suara Yeni yang sedang berceloteh juga ikut menenggelamkan suaranya.“Kayaknya bukan perawat, Mbak. Mungkin tukang suruh-suruh di rumah sakit ini. Yang antar ke sana kemari. Kalau di kantor kayak tugasku gitu, lho, Mbak.” Ridwan menjelaskan dengan amat jelas.Indah langsung bungkam. Sedikit khawatir kalau suara Ridwan menarik perhatian Arsya. Ia mengangguk pada Ridwan untuk mengisyaratkan bahwa topik pembicaraan soal bunga sudah selesai.“Ngomong-ngomong … Aa Galih mana? Di luar juga nggak ada.” Yeni menatap pintu yang tert
Sudah berapa hari ia melupakan soal Arsya yang menemaninya sebagai seorang suami sekaligus bapak sambung sebenarnya bagi Alif? Dua hari? Tiga hari? Atau hampir satu minggu? Menunggui Alif di rumah sakit membuat ia banyak lupa. Termasuk lupa waktu dan lupa terhadap kebutuhan Arsya. Selain makan malam bersama, ia lupa kalau pria itu sudah banyak diabaikan. Bisikan Arsya barusan membuat kuduknya meremang dan pikirannya berpindah-pindah. Pertanyaan Arsya juga masih menggantung di benaknya.“Kalau tiba-tiba Abang mau di sini gimana? Boleh?” Indah tak tahu harus menjawab apa. Di satu sisi ia paham sebagai pria normal dan baru memerankan suami sesungguhnya Arsya pasti menginginkan intensitas kemesraan mereka bisa lebih banyak. Di sisi lain, apa mungkin melakukan hal itu di ruang rawat? Terlebih di sana ada Alif yang sedang berbaring dengan tangan tersambung selang infus. Sebagai seorang ibu, ia merasa dirinya sangat hina karena mementingkan keinginan pribadinya saja.Ruang rawat menjadi heni
Semuanya sangat tiba-tiba dan sama sekali tidak terpikir akan terjadi secepat itu. Dalam kondisi hubungan yang membaik dan situasi kesehatan Alif, ia belum berharap banyak untuk bisa mewujudkan segala imajinasi dan fantasi dalam kepalanya.Satu dari banyak hal yang harus ia mengerti bahwa kehangatan rumah tangga yang diimpikan banyak orang bukan hanya bersumber dari kemampuan di ranjang tapi juga telinga yang hebat mendengar.Seorang Indah yang cantik dan sederhana sudah meluluhlantakkan hatinya karena kesabaran yang ditunjukkan wanita itu. Dan di dalam kamar mandi, Indah yang cantik dan sederhana membuatnya bergairah karena keberaniannya.Indah berjongkok dengan rok sebatas lutut. Hidung yang mungil dan amat ia sukai terlihat menggemaskan dari tempatnya berdiri. Jemari Indah yang lentik dan pipih panjang menggenggam kejantanannya. Lalu, hal yang paling membuat tubuhnya bergetar adalah bibir mungil Indah yang tengah menenggelamkan dirinya dalam sesapan kuat. Susah payah ia mengingatka
“Aku rasa anak dalam kandungan istri Panca sekarang juga sakit. Panca menyebut sesuatu yang berhubungan dengan jantung. Apa mungkin calon bayi mereka membawa kelainan jantung bawaan? Aku kasihan, Bang. Sejak punya Alif yang akrab dengan rumah sakit, aku semakin nggak tahan tiap dengar anak-anak yang sakit. Hatiku ngilu,” beber Indah.“Memang sudah seharusnya begitu. Itu sebabnya laki-laki itu harusnya sadar hal itu jauh sebelumnya. Jauh sebelum mendapati kenyataan bisa menamparnya sekeras itu.” Arsya bicara dengan nada datar. “Kamu bisa membalas dia kalau mau,” jelasnya lagi.Indah melepaskan pelukan itu dan mendongak menatap Arsya. “Gimana kalau aku bilang bahwa aku nggak pernah berniat membalas Panca? Abang percaya? Sewaktu Panca menjahati kami dengan … Abang ngerti maksud aku, kan? Aku memang nggak pernah kepikiran buat membalas. Aku cuma fokus di kesehatan Alif. Aku udah menganggap kalau jodoh Panca dan aku memang sudah berhenti sampai di situ. Tapi meski begitu, aku nggak mau Ali
Ketika pernikahannya bersama Panca terasa amat menyiksa dan membuat jantungnya selalu berdebar tak nyaman, Indah sudah banyak meminta pada Tuhan. Meminta Tuhan untuk melembutkan hati Panca agar peduli dan lebih mencintainya.Meminta Tuhan agar Panca jujur soal keuangan dan memberinya kepercayaan mengatur keuangan rumah tangga.Meminta Tuhan untuk membuka hati Panca untuk peduli pada orang tuanya. Dan banyak-banyak lagi. Termasuk memohon pada Tuhan agar Panca mau mengakui Alif sebagai putranya.Karena banyaknya permintaan itu tidak sebanding dengan apa yang diterimanya dari Panca, tanpa sadar Indah menurunkan ekspektasinya. Ia tidak banyak berharap lagi untuk dirinya. Semua bertumpu pada Alif. Ia hanya berharap bisa menjadi ibu yang baik buat bayi yang dilahirkannya. Namun, sore itu Indah mengeluarkan air mata bahagia. Sedikit pun tak menyangka kalau Arsya mempersiapkan kejutan buat ia dan Alif.“Ayo masuk. Semua orang sudah menunggu kita dari tadi. Bagaimana? Kamu suka dekorasinya? A
“Indah nggak usah buru-buru masuk kantor. Abang bisa perpanjang cutinya sampai Indah benar-benar puas menemani Alif. Sebenarnya nggak kerja lagi juga nggak apa-apa, kok.” Arsya mengucapkan kalimat terakhirnya cukup pelan tapi bisa didengar Indah.“Sarapannya udah siap, nih,” kata Indah setelah meletakkan sepiring club sandwich dan segelas jus jeruk di hadapan Arsya. Pagi itu ia belum mau membahas soal berhenti atau lanjut bekerja karena hal itu sudah beberapa kali mereka bahas dan keputusannya belum berubah untuk lanjut bekerja. “Hari ini aku memang belum ke kantor. Aku udah ngabarin Bu Sarah. Katanya nggak masalah. Sama seperti yang Abang bilang.” Ia duduk di sisi kanan Arsya setelah pria itu mengangkat satu sandwichnya.“Bukan Indah yang masak, kan?” Arsya mengunyah makanan dengan dahi mengernyit. Seolah dia ingin mengenali rasa makanan itu buatan siapa. “Memangnya kenapa kalau aku yang masak?” Sedikit kecewa karena sandwich yang sedang dikunyah Arsya adalah buah karya pertamanya d
Arsya memperhatikan kedatangan seorang pria yang usianya ia taksir kurang lebih hampir sama dengannya. Katanya itu sekretaris yang sudah bekerja belasan tahun. Dari gayanya yang mentereng dan akrab dengan kaum perempuan, ia sedikit heran karena sekretaris Dean adalah seorang pria.Seakan bisa membaca pikirannya, Dean berkata, “Aku kurang cocok kerja bareng sekretaris perempuan. Kadang-kadang aku harus pulang pagi untuk kerja, ke luar kota berhari-hari, juga masuk ke tempat-tempat yang lebih nyaman dimasuki dengan sekretaris pria. Terlebih kadang-kadang terlalu merepotkan. Kalau sekretaris perempuan aku harus memahami kalau mereka sedang nggak mood kerja karena PMS. Satu-satunya staf perempuan yang cocok bekerja sebagai sekretarisku adalah perempuan yang sudah menopause. Sekarang beliau sudah pensiun.” Dean mengangkat bahunya dengan santai sambil memperhatikan cangkir teh diletakkan di depannya. “Dan ini Ryan sekretarisku. Ryan adalah satu-satunya sekretaris yang merupakan ujung tombak