Boeboo tersayang .... Maafkan keabsenan saya selama ini. Hasil pemeriksaan biopsi liver dan PET SCAN saya sudah keluar hari ini. Sel kanker yg saya khawatirkan menyebar ke liver ternyata dinyatakan hanya berupa sisa yang sudah mati. Saya menangis haru karena ini. Tulang panggul kiri dan tulang belakang dinyatakan bersih dari sel yang menempelinya. Semua pembaca yang mengikuti cerita saya pasti tahu kalau hal ini memang menjadi siksaan tersendiri buat saya. Tawa dan canda beberapa Minggu terakhir seakan palsu demi menutupi kecemasan. Terima kasih doa dan support buat saya selama ini. Semoga Boeboo dan pembaca lain selalu diberi kesehatan. Jangan lelah untuk kirimkan doa terbaik untuk saya, ya. Masih ada satu hasil yang sedang saya tunggu. Doakan pemeriksaan tambahan itu juga berakhir dengan sangat baik. Sekali lagi terima kasih karena mau selalu bersabar untuk saya yang sedang berjuang.
Tadinya Indah merasa telinganya salah menangkap perkataan Arsya. Tapi melihat bagaimana senyum Mayang melengkung, ternyata ia tidak salah. Mayang bahagia dan tujuannya datang ke rumah mereka pagi itu sudah terpenuhi. Wanita itu mau Panca keluar tahanan untuk menunggui persalinan ia dan bayinya. Diamnya Indah membuat Arsya cepat melirik ke arahnya. Ia sadar kalau wajahnya saat itu pasti menyiratkan ketidaksukaan yang amat jelas. “Ini serius, Pak? Bisa?” ulang Mayang karena tak yakin dengan reaksi kaku Indah. “Kalau istri saya menyetujuinya, hal itu bisa diwujudkan. Tapi karena melihat ekspresi istri saya seperti ini, saya jadi sedikit ragu. Sebelum saya meminta Anda keluar dari sini karena sedikit mengacaukan pagi kami, sepertinya Anda dan suami Anda harus mengingat-ingat hal apa yang harusnya kalian lakukan untuk istri saya. Hal yang sudah sepantasnya kalian lakukan dari dulu. Bagaimana?” Karena wajah Indah berubah menegang, Arsya mengkhawatirkan perubahan suasana hati yang begitu
Indah menajamkan ingatannya soal Mika. Tidak mungkin dia salah orang. Wanita yang omongannya selalu ceplas-ceplos dan terakhir kali bertemu di kediaman keluarga Subianto. Mika yang mendorong stroller bayi ke kolam renang? Perempuan yang ia rasa punya angry issue dan naksir Arsya dari dulu? Indah masih berjalan pelan sambil menunggu Mika menghilang ke dalam lift. Setelah memastikan hal itu, Indah bergegas ke depan lift untuk melihat lantai yang dituju Mika. Lantai lima? Lantai lima cuma ada PT. Pelita Sentosa. Mau ke mana Mika? Apa Mika memang kerja di sana? Apa ini yang dimaksud Mika kemarin? Pindah ke Indonesia karena mendapat tawaran pekerjaan?Banyak pertanyaan muncul di kepala Indah. Ada rasa takut saat pintu lift kemudian terbuka dan kakinya melangkah ke dalam. Bagaimana kalau Mika mengenali dan mengulitinya di depan direksi perusahaan itu. Hari itu ia memang mau berpamitan. Tapi tetap saja tidak nyaman bertemu Mika di sana. Tapi … apa yang dilakukan Mika di perusahaan Eric?
Indah membutuhkan waktu beberapa detik untuk mencerna semua apa yang baru saja diucapkan oleh Mika. Ternyata wanita yang disebut-sebut supel dan berhati baik sudah menjelma menjadi sosok berbeda sekembalinya ke tanah air. Tapi kenapa semua bisa sangat kebetulan seperti itu. Kalau Mika mengatakan ia baru-baru ini kembali ke tanah air, apa itu berarti sebelumnya ia memang tidak mengenal Zhang Ma? Genggamannya semakin terasa basah. Indah mundur dua langkah dari pintu ruangan yang sedikit terbuka. Susah payah ia menenangkan detak jantungnya yang berdegup kencang. Saat sedang mempertimbangkan untuk langsung meninggalkan tempat itu dengan sebuntalan berisi hasil kerja Mika di Halmahera, Indah menemukan kesadarannya. SB Industrial Energy bisa menjadi tertuduh dan Arsya bisa dipenjara kalau ia langsung membawa semua kertas itu. CCTV ada di mana-mana. Sepenggal kesadaran membuat Indah kembali bertindak hati-hati dan mengatur perencanaan pelan-pelan. Kalau bisa, tidak perlu seorang pun tahu
Saking gugupnya, Indah merasa bisa mendengar detak jantungnya sendiri. Gemetar di tangannya semakin kentara dengan selembar kertas yang bagian ujungnya mulai basah karena keringat. “A-ku belum selesai. Sedikit lagi ini ….” Indah meratakan satu set dokumen terakhir yang akan distaples. Sudut matanya melihat proses penyalinan data tersisa satu persen lagi. “Ayo, cepat … please …,” bisik Indah. Di bawah meja, kaki Indah sudah bergoyang tak henti sejak tadi. Seumur hidup, itu adalah saat paling menggugupkan buat dia. Suara Mika yang semakin mendekat membuat tangannya yang gemetar menyentuh mouse komputer dan menyentak-nyentaknya. “Via, mana Via?” jerit Mika. Bersamaan dengan suara Mika yang semakin memggelegar dan munculnya wanita itu di pintu, Indah melepas flashdisk dan menggenggamnya dengan tangan kiri. Genggamannya sangat erat sampai ia merasa kelima kuku menekan telapak tangannya hingga sakit. “Mana Via?” tanya Mika yang memandang pegawai pria di depannya. “Via menyerahkan peker
Peristiwa pagi di PT. Pelita Sentosa sebenarnya tidak lama. Namun Indah merasa dirinya sudah menghabiskan seharian penuh di perusahaan itu. Walau tampilannya sangat tenang dan dandannya rapi seperti tidak terjadi apa-apa, Indah harus menenangkan dirinya di toilet lantai dasar. Duduk di closet yang tertutup, Indah mengatur napas seraya mencoba menghubungi Arsya. “Halo, Abang?” “Indah di mana? Sudah selesai? Galih masih menunggu. Kamu keluar dan tunggu di teras semenit. Galih pasti segera muncul.” Indah menarik napas lega karena ternyata ia tak butuh waktu lama menghubungi Arsya. Dan ternyata apa yang disampaikan pria itu benar, Galih sang ajudan yang merangkap supir muncul sebegitu Indah keluar gedung. “Tidak ada terjadi apa-apa, Bu? Bu Indah baik-baik aja?” Galih langsung bertanya saat Indah baru saja menghempaskan tubuh di jok belakang. “Kenapa nanyanya gitu, Pak Galih? Memangnya Pak Arsya ada ngomong apa?” Indah melihat raut waspada di wajah Galih. “Kayaknya Pak Galih udah
Perintah Arsya barusan malah membuat Indah semakin tegang dan berkurang rasa percaya dirinya. “Aku nggak tahu apa yang kusampaikan ini bakal penting atau enggak. Tapi mengingat apa yang dilakukan Mika dengan stroller bayi Laras, aku jadi mulai menghubung-hubungkan meski nggak tahu....” “Kamu gugup. Indah duduk ke sini,” ajak Arsya, menggandeng tangan Indah ke salah satu sofa sementara Sarah mendekati pintu dan menguncinya. “Kita bisa bicara?” kata Sarah, duduk di seberang Indah dengan sikap tubuh condong. “Saya yakin apa pun yang Bu Indah sampaikan akan sama pentingnya.” Sarah mengulas senyum menenangkan. Indah menarik napas. “Abang, sekali lagi aku nggak tahu ini bakal berguna atau enggak. Aku juga nggak tahu kalau … maksudnya bisa aja aku salah dengar. Bisa aja ini semua nggak seperti yang aku pikirkan. Aku takut kalau hal yang aku sampaikan malah membuat Abang gegabah atau semacamnya.” Arsya menggenggam tangan Indah dan menyelipkan segumpal rambut ke belakang telinga istr
“Ngapain ke rumah sakit jiwa?” Indah melepaskan pegangan tangannya.“Abang mau lihat perkembangan Riri secara langsung. Memang bukan suatu keharusan tapi Abang harus memastikan semuanya sebagai bentuk tanggung jawab. Abang nggak sendirian ke sana. Sama Mas Dean, kok. Kamu nggak usah khawatir.” Walau tersenyum, Arsya sempat melirik Sarah yang menggulir tabletnya sedikit tergesa. Ia tahu kalau sekretaris profesionalnya itu segera mengecek beberapa hal terkait smelter mereka.“Ngapain ke sana? Bukannya semua udah beres? Udah selesai, kan? Apa ada masalah lagi?” Indah masih menahan tangan Arsya seakan pria itu bisa meninggalkannya sewaktu-waktu.Arsya menggeleng. “Hari ini Abang ke sana untuk memastikan bahwa semuanya sudah selesai. Selama ini Abang hanya menerima laporan dari pegawai Mas Dean tanpa melihat langsung. Tingkat halusinasi Riri lebih parah dari sebelumnya, tapi di sisi lain Riri menjadi lebih tenang.”“Kalau gitu aku ikut,” ucap Indah, menyambar tas tangannya.“Kamu tahu ruma
Arsya kembali menggenggam tangan Indah dan mengecupnya. Ia mengabaikan seorang pria yang tengah menatapnya dengan wajah cemberut.“Maaf harus membuat Mas Dean menunggu,” ucap Arsya lalu tergelak. “Enggak apa-apa. Pulang ke rumah jam segini cuma untuk nyubit pipi istriku, mungkin aku bakal disambit tongkat mamaku. Bu Amalia paling gelisah kalau lihat anaknya di rumah tanpa alasan jelas di hari Senin sampai Jumat. Katanya aku nggak boleh malas-malasan. Anakku banyak,” ujar Dean meringis. Arsya ikut meringis dengan sepasang lesung pipinya. “Mamanya Mas Dean nggak salah.” Kedua pria itu kemudian tertawa tertahan di depan pintu ruang rawat.“Aku masuk sekarang, Sa. Istri kamu nggak perlu takut, santai aja. Kalian masuk sepuluh menit lagi.” Dean mengangguk kemudian mendorong pintu.Arsya masih menggenggam tangan Indah, ia berdiri rapat ke pintu untuk mendengar percakapan dari dalam yang pasti akan disengaja Dean agar ia ikut mendengar.“Yang pertama terima kasih untuk Pak Dokter dan tim y