Nikita mendadak gugup. "Ma-maksudku, bagaimana jika nanti Kak Luna kelelahan di jalan, karena jarak dari sini ke kantor Kak Rayyan cukup jauh. Dua kali lipat dari jarak tempat tinggal kami yang dulu." ucapnya terbata-bata. Amanda mengerutkan dahi. Ada benarnya juga perkataan Nikita. Pasalnya, Luna memang memilih tempat tinggal yang tidak terlewati oleh Rayyanza jika pergi ke kantor. Alhasil, jarak tempuh menjadi semakin jauh. "Tidak apa-apa, aku kuat, kok!" sanggah Luna. Nikita tersenyum tipis. "Oh, ya. Aku lupa kalau Kakakku ini adalah strong woman," katanya, mencoba mencairkan suasana. Sebelum berpamitan pulang, Amanda memegang gelas berisi teh manis hangat kemudian menyeruputnya dengan pelan. "Ahh ... enak sekali," ucapnya. "Ayo, Kak. Habiskan minumnya," sahut Nikita. Amanda beranjak dari duduknya. "Baiklah, aku pamit ya. Jangan Lupa, besok jam delapan pagi kamu harus sudah berada di kantor. Oke?" peringat Amanda. Luna mengangguk penuh semangat. "Baik, Manda!" Sahabat Luna
Ingatan itu menimbulkan dilema yang berat di hatinya. Anak yang dikandungnya pasti akan membutuhkan sosok ayah. Namun, bagaimana mungkin ia berbagi suami dengan sahabatnya sendiri. Luna terjebak dalam renungan. Memikirkan bagaimana masa depan akan berjalan. Ia menyadari bahwa keputusan apapun yang diambilnya akan membawa dampak besar, baik bagi dirinya maupun bagi orang-orang di sekelilingnya. Malam itu, akhirnya rasa lelah membawanya ke dalam lelap. Ia tertidur dalam keheningan malam.Pagi hari, sinar matahari mulai menerobos masuk melalui celah jendela, diiringi bunyi jam weker yang memecah keheningan. Luna membuka matanya secara perlahan, kemudian duduk di tepian ranjang. Perutnya yang kian membesar, mulai membuatnya merasa tidak nyaman. Dengan penuh semangat, ia mulai bersiap untuk bekerja. Beranjak dari duduknya dan melangkah masuk ke dalam kamar mandi. Nikita sudah terlihat rapih dengan seragam sekolahnya. Rupanya, ia bangun lebih awal dan sudah menyiapkan sarapan untuk Luna
"Maaf, Pak Rayyan. Wanita ini mengaku sebagai karyawan baru. Ia seenaknya saja menerobos masuk tanpa memperlihatkan ID Cardnya. Kemungkinan, dia adalah penyusup!" terang sekuriti tersebut. Wajah Rayyanza langsung mengeras. "'Apa kamu bilang? Penyusup?! sekuriti itu mengangguk. "Betul, Pak.""Kamu tau dia itu siapa, hah?" tanyanya dengan wajah memerah menahan marah. "Dia adalah-." Rayyanza menghentikan kata-katanya lalu menoleh ke arah Luna. "Wanita yang sangat aku cintai" sambungnya dalam hati. Dari nada bicaranya, ia mengetahui bahwa sang CEO itu marah. Sekuriti langsung menundukkan wajah, tak berani menatap Rayyanza. "Maaf, Pak jika saya salah." "Ayo, masuk!" titah Rayyanza pada Luna. Sebenarnya, Rayyanza ingin sekali memarahi bahkan memecat sekuriti itu karena sudah memperlakukan Luna dengan kasar. Namun, sebagai CEO, tentu saja ia harus bersikap bijaksana. Ia tidak bisa seenaknya memecat sekuriti tersebut karena telah menjalankan tugasnya sesuai prosedur. Hanya saja, itu men
Masih di dalam ruang khusus personal assistant yang tempatnya bersebelahan dengan ruangan Rayyanza. Sedari tadi, Luna sibuk mengerjakan tugas yang diberikan oleh Dessy.Tok. Tok. Tok.Suara pintu ruangan di ketuk oleh seseorang dari luar. Dessy beranjak dari duduk lalu membukanya. "Pak Rayyanza?" Wanita cantik itu beringsut mundur, merasa kaget, karena selama dirinya bekerja di sana lebih dari tiga tahun, Bosnya itu tidak pernah sekali pun masuk ke dalam ruangannya. "Eung ... a-ada yang bisa saya bantu, Pak?" gagap Dessy. Rayyanza tak menjawab. Ia mengedarkan pandang, menatap wanita yang ada di dalam ruangan. Wanita tersebut terlihat fokus menatap layar komputer. Jari-jemarinya sibuk menari di atas keyboard. Pria yang mengenakan jas silver tersebut melangkah masuk mendekati Luna. Ia berdehem pelan untuk menunjukan keberadaanya di sana. Luna menoleh, menatap Rayyanza dengan bingung. "Ada apa?" tanyanya dengan ketus. Dessy masih berdiri di ambang pintu, terpaku melihat Rayyanza yang
Luna langsung menyeruput orange juice melalui sedotan. "Ah ... nikmat sekali." "Dulu, ketika aku hamil, aku selalu meminum orange juice ini hampir setiap hari," ujar Dessy. "Hah?!" Luna berekspresi kaget. "Kamu sudah mempunyai anak? Aku kira, kamu masih pengantin baru," cetus Luna. Dessy menggeleng, melebarkan senyum. "Anakku saat ini sudah berumur satu tahun tujuh bulan. Rencananya, dia akan kubawa ke German ikut bersama suamiku tinggal di sana. Itulah sebabnya Pak Rayyanza mencari penggantiku," terangnya. "oh, ya, bagaimana ceritanya kamu bisa masuk ke perusahaan ini? Sementara diluaran sana banyak sekali yang ingin bekerja di sini, namun sulit untuk ditembus!" lanjutnya lagi. "Aku sahabat istrinya Pak Rayyanza," terang Luna. "Ooooh ... Sahabat Ibu Amanda, ya?!" "Ya. Dia yang memintaku untuk bekerja disini membantu Pak Rayyanza," jawab Luna. "Wah ... sepertinya aku harus berhati-hati padamu, karena kamu orang terdekatnya mereka," ucap Dessy seraya tersenyum. Dessy memp
Keadaan di ruangan tersebut mendadak kaku. Rayyanza segera mencari alasan yang masuk akal. Ia menghela napas, mencoba menenangkan diri. "Barusan, ofice boy yang mengantar minuman ke ruanganku mengatakan kamu ada di sini, Sayang. Jadi, aku menyusulmu ke sini," terang Rayyanza. "Oh ... kamu menyusulku?" Amanda melangkah mendekati Rayyanza, kemudian memeluknya dengan mesra. Luna langsung mengalihkan pandang. Entah mengapa pemandangan yang seperti itu mulai membuatnya merasa tidak nyaman. Rayyanza menghela napas lega. Akhirnya ia bisa menjawab pertanyaan yang dilayangkan Amanda tanpa membuatnya curiga. Walaupun sebenarnya ia tidak takut kehilangan Amanda, namun ia berusaha menjaga persahabatan Luna dan wanita yang dinikahinya itu. "Ayo, Sayang. Kita keruanganmu," ajak Amanda, menarik tangan Rayyanza ke luar dari ruangan asisten. "Dah, Luna. Aku keruangan Rayyan dulu, ya!" serunya pada Luna. Luna tersenyum dan mengangguk. Ia merapihkan meja kerjanya, memasukkan dokumen yang bercecera
Dalam keheningan malam, Luna merebahkan tubuhnya di atas ranjang. Matanya menatap langit-langit kamar, pikirannya kembali melayang pada tawaran Amanda untuk tinggal di apartemen miliknya.Luna merenung sejenak. Namun, keputusannya sudah bulat. Ia tetap akan menolak untuk tinggal di apartemen tersebut.Malam itu, Luna lebih cepat memejamkan mata akibat kelelahan. Ia tidur dengan nyenyak hingga pagi tiba. Sama seperti hari sebelumnya, wanita cantik itu bersiap untuk pergi bekerja. Ia duduk di halteu bus menunggu kedatangan bus berikutnya.Luna duduk dengan resah. Pasalnya, bus yang ia tunggu tak kunjung tiba. Sudah kali ke empat ia melirik jam tangan yang melingkar di lengan kirinya. Kemungkinan, hari ini ia akan terlambat masuk bekerja. Setengah jam telah berlalu. Luna menjadi kebingungan, akibat tidak memiliki ponsel, menjadikanya tidak dapat menghubungi Rayyanza untuk mengabarkan bahwa dirinya mungkin akan datang terlambat.Ia beranjak dari duduknya, berdiri dengan resah. Matanya b
Wanita bermata hazel itu tak mengindahkan perkataan Dessy. Luna tidak bisa percaya begitu saja pada rekan kerja setelah sebelumnya mempunyai pengalaman yang sangat buruk. Ia menjadi lebih tertutup untuk urusan pribadi. Dessy menyadari bahwa Luna tidak mudah terbuka. Ia tak ingin memaksa. Dengan cepat ia mengalihkan pandangan menuju layar komputer. Luna sibuk dengan ponsel barunya. Namun, ia merasa sungkan melihat Dessy yang tengah sibuk bekerja sendirian. "Sebentar, aku harus menghubungi Bu Amanda secepatnya. Setelah itu, baru aku akan mulai bekerja," izinnya pada Dessy. Dessy mengangguk. "Santai saja, Luna. Lagi pula, ini tidak terburu-buru." "Terima kasih, Des," ucap Luna seraya tersenyum. Wanita berambut panjang itu segera menekan tombol pada layar touchscreen sesuai dengan nomor ponsel Amanda yang ia hafal diluar kepala, karena sedari dulu Amanda tidak pernah mengganti nomor ponselnya. "Hallo, Manda," sapanya ketika mendengar suara panggilan yang terjawab. "Siapa ini? Luna?