Satu minggu berlalu, Erland tidak pernah mendengar nama Emily bahkan tidak pernah melihat wanita itu lagi. Kini, gedung perusahaan juga semakin berkembang. Sejak dirinya membuka pendaftaran online banyak sekali yang diwawancarai oleh William hingga setiap harinya sekitar dua puluh orang masuk menjadi karyawan baru bahkan lebih. Pekerjaan saudaranya sangat membantu jadi yang biasanya kurang dari sepuluh orang saja yang masuk, kini jumlahnya dua kali lipat.Erland berjalan mengitari beberapa lantai yang dihuni oleh karyawan. Gedung ini tinggi, tetapi hanya sekitar empat lantai saja yang baru terpakai. Pria ini tidak terlalu memecah karyawan, menurutnya mereka harus tetap berdekatan apalagi jumlah team masih terbilang sedikit. Tujuannya supaya komunikasi antar karyawan bisa berjalan lebih lancar.Wajah ramah nan hangat dipasang setiap kali Erland berpapasan dengan karyawan atau dengan sengaja melihat hasil kerja mereka. Maka, di sini Erland dikenal sebagai atasan yang sangat ramah hingga
“Tunggu!” Tio segera mencegah Emily karena terlalu takut wanita itu akan kembali berbuat nekad, rangkulannya kembali melingkar di tubuh si wanita, meraupnya dengan lembut. “Duduklah ....” Bahkan kalimatnya senada dengan sikapnya. Maka, akhirnya Emily dibuat tenang. “Minum dulu, walaupun mungkin tidak akan menghentikan efek obatnya, tapi setidaknya kamu akan merasa lebih tenang setelah meminumnya.” Masih sikap lembut Tio saat menyodorkan segelas susu pada wanita yang sedang mengandung anaknya.Emily dibuat luluh oleh sikap Tio, maka dengan senang hati segelas susu dihabiskan hingga tandas. Padahal sikap Tio yang ini karena dia masih tidak ingin kehamilan Emily tercium oleh orangtuanya. “Aku sudah menghabiskannya, tapi bagaimana kalau misalnya segelas susu ini menyelamatkan bayinya. Apakah kamu siap menikahiku?” Emily mulai percaya diri jika Tio memerdulikannya. Maka pertanyaan seperti ini segera dilontarkan.Tio tersenyum hambar. “Istirahatlah di kamar sambil menunggu hasilnya.” Jadi,
Nitara hanya diam tanpa mengatakan cemburunya, dia hanya akan memerhatikan suaminya diam-diam. Pun, senyuman manis dipasang saat satu persatu sandal dipakainya. “Semua sandalnya sangat nyaman. Apa kamu yang memilihkan modelnya?” Ini bukanlah pertanyaan yang sebenarnya karena maksud Nitara hanya ingin tahu sedekat apa suaminya dan sahabatnya.William terkekeh sebelum memberikan jawaban, “Iya, Sayang. Aku yang memilih modelnya, aku sangat mengerti bagaimana selera kamu.”“Sweet sekali ....” Untuk yang ini Nitara dibuat luluh, sedangkan perasaan cinta semakin bersemi di hati William.Hari berganti, William kembali ke perusahaan dan kembali menerima banyak pelamar kerja juga kegiatan mewawancarai terus berjalan. “Aku rasa perusahaan sudah tidak terlalu kosong, setiap hari ada cukup banyak karyawan masuk.” Senyuman diumbar bangga atas kerjasama yang sangat baik antara dirinya dan Erland. “Saat ini Erland membentuk perusahaan dari nol, lalu di bulan berikutnya aku harus mengembangkannya sek
Pagi harinya Nitara mengalami mual berlebihan, tetapi kali ini tidak ada William di sisinya maka dia harus berjuang sendiri menuju ke wastapel. “Aku mau menginap di rumah mama saja,” raungannya.Miranda memang belum memeriksa menantunya karena hari masih terlalu pagi, dia pikir mungkin Nitara masih terlelap. Padahal mual yang dirasakannya bisa datang kapan saja bahkan tengah malam sekali pun, hanya saja yang rutin adalah morning sicknes. Setelah dari wastepel, Nitara mencoba berjalan keluar dari kamarnya untuk mencari buah-buahan. Suasana rumah masih sepi walau di bawah tepatnya di dapur sudah terdengar bunyi-bunyian memasak. “Kok tumben mama tidak sediakan buah-buahan, apa mama lupa ya?” gumam Nitara. Padahal selama ini Miranda sangat telaten, barulah William setelah suaminya kembali dari perusahaan.Bunyi sandal beradu ringan dengan lantai, tetapi pendengaran Miranda sangat peka saat dirinya masih berada di kamar, tetapi pintunya telah setengah terbuka. Segera, wanita ini mengintip
Di rumah sakit yang sama, Tio sedang memeriksakan keadaannya yang ternyata tidak memiliki kemajuan, tetapi dokter menghiburnya setidaknya kondisinya tidak memiliki penurunan.‘Ck!’ decak Tio dalam hatinya, ‘umurku memang tidak akan lama lagi, tapi seharusnya Tuhan tidak memerlakukanku seperti ini, seharusnya Tuhan membiarkanku mati saja!’ Sesumbarnya walau dia tahu Tuhan mendengarnya.Jesika mendampingi kakaknya yang tampak normal, penampilan Tio tetap keren dan elegan, pun cara berjalannya tetap gagah. Namun, semenjak kembali ke rumah wajahnya selalu tampak dingin pada adik perempuannya sekali pun hingga jarang sekali mereka berkomunikasi.“Kak, kita akan langsung pulang?” tanya Jesica saat menatap wajah dingin nan kaku itu.Tio menoleh kecil. “Tidak, Kakak ingin pergi ke suatu tempat, tapi kamu tidak perlu ikut.” Kalimat datarnya.Jesica segera memerotes yang dibungkus merajuk, “Ish, Kakak bagaimana sih justru Jesica di sini karena sudah tugas Jesica menemani Kakak kemanapun. Kakak
Pertemuan dengan Tio hanya seperti itu saja, kini Erland kembali menghuni ruangannya seorang diri. Ditatapnya amplop putih yang tampak formal itu, tetapi dia yakin isinya jauh dari kata formal. “Aku sangat penasaran, tapi aku juga takut mengetahui kenyataan jika Tio menuliskan sesuatu yang akan menyakitiku. Seperti kenangan mereka di masa lalu,” desahnya.Erland memilih memalingkan wajahnya dari amplop yang seolah memanggil namanya, meminta dibuka, tetapi akhirnya dia bisa mengesampingkan penasarannya berkat jadwal wawancara online yang dimulai semenjak pukul sembilan pagi. Sama halnya dengan William, Erland sangat terperinci kala memilah pelamar begitupun saat mewawancarai, jika terdapat satu saja jawaban meragukan maka orang itu akan gugur.Wawancara online berjalan lancar hingga lima orang pelamar, tetapi yang keenam Erland menerimanya karena hati nuraninya. Gadis itu seorang lulusan sekolah menengah atas dengan latar belakang cukup miris, dalam Cvnya terdapat keterangan jika gadis
Amelia bergeming selama beberapa saat. “Tio ... memberikan ini langsung ke kamu?” Segera, dia merasa tidak enak hati pada Erland sejak menerima amplop ini seiring mendengar jika benda ini dari mantan pacarnya. “Iya, Tio masuk ke ruanganku sebelum aku tiba. Dia tidak berbasa-basi, Tio menitipkanmu padaku sekaligus memintaku menyerahkan amplop itu,” kekeh Erland seolah tidak terbebani apapun walau sedikitnya terdapat sebuah di dalam hati. Maka, dia memilih tidak tahu apapun yang ada di dalam amplop.Namun, bagaimanapun penuturan Tio hal itu tetap membuat Amelia merasa tidak enak hati. Pelukannya segera melingkar di tubuh suaminya. “Aku minta maaf karena Tio sudah selancang itu padahal aku tidak pernah meladeninya.”Belaian lembut Erland dirasakan Amelia di punggungnya. “Tidak perlu minta maaf, aku tahu kamu takut aku merasa tidak nyaman dan sakit hati kan, tapi itu tidak terjadi. Tenang saja,” kekehnya lagi. Pria ini tidak ingin istrinya merasa tidak enak hati pada dirinya-suaminya ya
Erland kembali meletakan kertas di tempatnya terjatuh supaya Amelia tidak tahu jika dirinya sudah mengetahui semua. Kemudian pria ini turun ke lantai bawah untuk menemui putranya yang diasuh Sopia. Segera, mertuanya menyambut, “Sejak kapan Nak Erland pulang? Mama tidak melihat.”“Sekitar satu jam lalu. Erland memang langsung ke kamar menemui Amei.” Senyuman santunnya.“Pantas saja Mama tidak melihat kepulangan Nak Erland,” kekeh kecil Sopia, “Bagaimana bekal makannya? Amei sangat bersemangat saat membuatnya!” Antuasia Sopia yang tidak sabar mendengar penilaian baik menantunya.“Bekal makan yang dibuatkan Amei sangat enak, apalagi semua makanannya masih hangat. Erland sangat menikmatinya, bahkan lebih nikmat dibandingkan makan di luar,” kekehnya saat menyampaikan pujian yang sebenarnya, tanpa adanya embel-embel menyenangkan hati manusia karena masakan Amelia memang patut mendapatkan pujian.Sopia tersipu mendengarnya. “Terimakasih ya, sudah menerima bekal makannya.”“Tentu saja Erland