Hari berganti, William membawa pulang Kenzo setelah demamnya turun dan dokter mengatakan Kenzo bisa dirawat di rumah. Bagaswara tidak di rumah, maka kepulangan Kenzo tidak mendapatkan sambutan dari kakeknya. “Pa, William tidak akan datang ke perusahaan.” Panggilan di udara segera dihubungkan supaya ayahnya tidak menunggu.“Iya, tidak apa, jaga saja Kenzo.” Lagi, Bagaswara memberikan izin begitu saja. Namun, dirinya tidak pernah menduga jika William mengundang Amelia ke kediamannya untuk memperlihatkan keadaan Kenzo.“Sayang ....” Amelia meraung setelah mendengar Kenzo terjatuh hingga demam dan dirawat di rumah sakit. Pelukannya sangat membatin, “sayang ..., maaf karena Mama jauh dari Kenzo jadi Mama baru saja tahu kalau Kenzo demam.” Dalam dunianya kini, Amelia hanya melihat Kenzo tanpa menganggap William sama sekali. Dirinya memberikan pelukan yang dapat menenangkan putranya.Cukup lama William membiarkan Amelia dan Kenzo menikmati waktu mereka, hingga akhirnya pria ini bersuara. “Ak
Setelah berbicara formal dengan semua anggota keluarga, William dan Nitara menyempatkan berbicara empat mata, kini waktu menunjukan pukul sepuluh malam, memang terlalu malam untuk mengunjungi kediaman seorang wanita hingga tetangga sedikit berbisik, tetapi tidak pernah berani mencemooh keluarga Nitara walau keadaan ekonimo mereka di bawah rata-rata karena keluarga ini terhormat, ditambah pertunangan anak gadis di keluarga itu bersama anak orang paling kaya hingga membuat tetangga silau dengan keluarga satu ini.“Apa kamu siap? Maaf, ini sangat mendadak,” desah William yang duduk di seberang Nitara.“Aku siap kapanpun, cuma ... sebenarnya besok papa harus pergi menjadi perwakilan daerah.”William terkesiap, “Jadi bagaimana dengan papa kamu?”“Tidak tahu, tadi papa tidak mengatakan apapun kan, jadi mungkin papa akan tetap pergi, paling mama yang akan mengumumkan hal ini pada semua anggota keluarga, sedangkan aku besok harus tetap bekerja karena aku tidak enak kalau meminta izin di hari
Kacau. Itu yang dirasakan Amelia. “Bagaimana dengan Kenzo, apa William yakin bisa menjaga Kenzo tanpa harus Nitara tahu?” Amelia berdiam diri di toilet setelah membasuh wajahnya yang dipenuhi kecemasan. “Wil, Kenzo anak kita, aku tidak mau Nitara tahu itu. Alasan apa yang akan kamu berikan pada Nitara?” sendu merajang pada setiap bilik hatinya.Kriet ....Salah satu pintu kamar mandi terbuka. Nitara keluar. “Mei, apa tadi kamu bilang kamu dan William punya anak?”Amelia memandang pantulan wajah Nitara dalam permukaan datar cermin, tidak disangka karena ternyata terdapat seseorang di dalam toilet. Dirinya menoleh cepat bersama kedua mata membelalak dan wajah pucat. “Tara ....” Keduanya saling memandang tidak percaya. Nitara melanjutkan langkah hingga kedua wanita ini benar-benar berhadapan.“Mei, jawab aku?” Wajah Nitara memucat sangat cepat senada dengan wajah Amelia.“Ta-Tara ..., tolong jangan salah paham ....” Bibir Amelia bergetar.Nitara menggeleng halus. “Tidak Mei, aku yakin ti
William terkesiap mendengarnya, dari mana Nitara mengetahui nama seorang balita bernama Kenzo?“Sayang, kamu bicara apa?” Senyuman hambarnya bersama kekhawatiran.“Amei bilang Kenzo anak kalian, apa benar?” Air mata masih berlinang, tetapi Nitara tidak dapat melewatkan hal ini karena sebelum penyesalan datang setelah menikah, jadi lebih baik mengetahu hal pahit itu sekarang.William terpaku, senyumannya pudar, raut wajahnya berubah datar dipenuhi kebingungan. “Siapa yang mengatakannya? Hanya orang tidak waras yang mengatakan itu.” Maksudnya jika Amelia mengatakannya maka wanita itu sangat gila. Apa tujuannya, apakah karena dirinya akan menikahi Nitara, tapi bukankah walaupun dirinya selalu menjadi Erland di mata si wanita, tetapi selama ini Amelia tidak pernah memiliki rasa cemburu. Maka aneh rasanya jika tiba-tiba saja Amelia berusaha menghentikan pernikahan ini karena rasa cemburu.Nitara menggeleng sengit. “Katakan saja iya dan tidak!” Riuh di hatinya semakin menjadi, itu diwakilka
Langkah ini diambil William tanpa persetujuan Amelia karena dirinya tidak memiliki banyak waktu untuk membicarakannya, situasi saat ini sedang mendesaknya untuk tetap berada di sisi Nitara, bicara empat mata dengan dalam, bukan waktunya berbicara panjang lebar dengan Amelia. “Aku ... dan Amelia memang memiliki seorang putra bernama Kenzo.” Kalimat ini diucapkan walau ini adalah dusta terbesarnya. Segera, kedua mata berbinar Nitara yang bahkan belum mendapatkan cahaya kebahagiaannya kembali, justru kini kembali diselimuti oleh butiran bening.“Kenapa Wil, kenapa kamu melakukannya?” Air mata tidak dapat dibendung, itu benar-benar meluap dari tanggulnya bahkan lebih parah dari sebelumnya.“Aku minta maaf ..., kejadian itu di luar akal sehatku.” Pelukan William kembali meraup Nitara sangat sayang, tetapi segera wanita itu menghindar, merasa jika pria yang notabene sebagai tunangannya adalah pembohong besar.“Jangan katakan apapun lagi.” Suaranya sangat membatin ketika Nitara meraung menan
Waktu terus mengalir, William terlalu banyak membuang waktu jadi kini segera dirinya membawa Nitara untuk memilih gaun. “Sayang, kamu sudah yakin kan akan menikah denganku?” Sekali lagi William memastikan. Nitara tersenyum sangat manis dan wajahnya tampak sangat indah.“Aku yakin karena kamu sudah membuktikan sebesar apa keseriusan kamu padaku.” Keduanya saling bertukar senyuman bahagia karena memang sudah tidak memiliki masalah apapun lagi, tetapi segera raut wajah William redup karena mungkin dirinya akan kehilangan Amelia dan Kenzo.Pada sore hari Amelia mengunjungi kediaman Bagaswara tanpa disambut oleh tuan rumah karena memang tidak terdapat siapapun di sana selain para pekerja. Satpam meloloskan wanita ini begitu saja setelah mendapatkan perintah dari William, pun pengasuh Kenzo segera menemuinya. “Nona, tuan William memerintahkan saya membawa Kenzo ke hotel yang sudah dipesankan.”
“Ma ....” Kedua mata William membelalak, “Ma, apa Mama sudah bisa berjalan?” Rangkulannya sangat melindungi karena mungkin saja Miranda akan kehilangan keseimbangan kapan saja.Miranda tersenyum, kemudian berkata dengan suara seperti biasanya, butuh translate, kemampuan itu hanya dimiliki oleh keluarga serta pengurus Miranda. “Mama ingin menyaksikan pernikahanmu, Mama ingin terlibat dalam acara.” Itu kalimat Miranda setelah diartikan oleh William.Mendengarnya membuat William lesu, alih-alih bersemangat. “Mama tidak perlu memaksakan diri ....”“Mama bisa melakukannya, tenang saja.” Langkahnya sangat lemah, hingga William tidak berhenti memapah ibunya. Saat ini pengurus Miranda baru saja tiba.“Astaga Nyonya, kapan Anda bisa meninggalkan kamar?” Dirinya terpukau atas kemajuan Miranda, tetapi rasa kaget tidak dapat ditutupi.
Beberapa jam berlalu, kini keluarga Adhinatha sudah tiba di resepsi pernikahan William dan Nitara. Sosok Miranda baru saja dilihat oleh semua orang hingga wanita itu menjadi bahan perhatian. Dirinya sangat cantik, ditambah balutan make up mewah hingga membuatnya tampak seperti orang sehat walau tidak pernah meninggalkan duduknya.Ahinatha dan Sopia sama tercengangnya karena ini adalah pertama mereka melihat istri dari orang paling hebat dalam berbinis. “Senang bertemu dengan Nyonya, ini pertama kalinya untuk saya.” Sopia meraih lengan halus Miranda. Kulit wanita itu tampak putih pucat karena memang jarang sekali terkena sinar matahari.Namun, kalimat ramah Sopia hanya dibalas senyuman lembut tanpa berkata-kata karena Miranda tahu tidak akan ada seorang pun yang mengerti kalimat yang terlontar dari mulutnya selain keluarga dan perawatnya. Di detik ini Sopia masih menunggu jawaban hangat wanita ini, tetapi sejurus kemudian merasa d