Benalu part 18
Rasanya aku sudah tak mengenal Mas Angga lagi. Semakin kesini, tingkah dia semakin di luar batas kewajaran. Mas Angga yang aku kenal dulu, berbeda jauh dengan sekarang. Apa karena memang itu sifat aslinya?
“Keputusanmu itu sudah tepat, Wi. Cerai saja! Udah pengangguran, ibunya kayak gitu? Tante bener-bener nggak nyangka Angga seperti itu?” cerocos Tante Tika membuyarkan lamunanku, sambil bantu Bi Ijah beberes. Aku duduk di sofa yang tidak jauh dari mereka. Belum ada seminggu di tinggal, rumah sudah sangat kotor penuh debu.
“Jangan jadi kompor beleduk, Ma!” sahut Om Heru, yang duduk tak jauh dariku dengan menikmati kopi buatan Bi Ijah.
“Siapa juga yang mau jadi kompor beleduk, Pa? Mama nggak rela, Dewi di perlakukan seperti itu. Apalagi hutang ibunya Angga udah menumpuk kayak gitu, nanti kalau rujuk sama Dewi, bisa-bisa Dewi yang di suruh ngelunasin.”
POV AnggaRasa cemburu berdesir, melihat Dewi tertawa tanpa beban dengan Rama. Mereka terlihat sangat bahagia. Sebenarnya aku bisa nonjok Rama, karena Dewi masih sah istriku. Tapi, dengan kondisiku saat ini, aku merasa tak percaya diri untuk mendekati Dewi. Aku dan Rama bagaikan langit dan bumi. Apalagi Dewi sekarang sudah membenciku. Sudah tak ada tatapan cinta itu lagi di matanya. Yang ada hanya tatapan kebencian.Aku memutuskan pulang. Masih nasib baik, bertemu tetangga dan ngikut di bonceng, hingga sampai rumah. Sesampainya di rumah ibu lagi bertengkar dengan Mak Wesi. Ada Pak RT juga. Ku usap wajahku dengan kasar. Kapan masalah ini akan berakhir?“Itu Angga datang!” Mak Wesi menunjukku. Aku hanya terdiam bingung. Tak ada senyum di bibirku.“Ada apa ini?” tanyaku ketika sampai di teras kontrakan.“Mau nagih hutang ibumu, Ga! Udah berapa lama ini?
Benalu part 20Entah kenapa bayangan wajah Mas Angga yang memprihatinkan tadi, berseliweran di ingatanku. Dia nampak sangat tidak terurus. Badannya juga kurus sekarang. Gaya maconya sudah tak kelihatan. Kasihan sekali.“Hallo ...” Rama memetikan jarinya di wajahku. Membuyarkan lamunanku.“Eh, Ram, maaf, maaf,” jawabku gelagapan,“Mikirin apa, sih? Dari tadi aku ngomong di cuekin?” tanyanya sambil menyeruput minumannya.“Emang ngomong apa?” tanyaku balik. Karena memang tidak fokus.“Nggak, nggak penting! Em, langsung pulang apa gimana?” sahutnya seraya bertanya.“Kalau kamu mau pulang, pulang dulu aja! Aku masih ingin di sini!” jawabku.“Ok. Aku juga akan di sini nemenin kamu!” balasnya dengan senyuman menggoda.&ld
POV Ibu“Dewi!!!” teriakku panik dengan menggedor-gedor rumah Dewi. Angga tiba-tiba pingsan. Aku nggak tau lagi mau minta tolong ke siapa.“Bu, bisa nggak datang ke rumah orang itu salam dulu? Yang sopan gitu?” sahut Bu Tika setelah membuka pintu. Kenapa harus dia yang buka pintu.“Ada apa, Ma?” tanya Pak Heru ikut keluar.“Ibunya Angga ini lo, Pa? Datang teriak-teriak,” jawabnya.“Masuk dulu, Bu!” Pak Heru mempersilahkanku. Kami masuk dan duduk di sofa. Harusnya memang kayak gitu, orang tua bertamu, bukannya di suruh masuk, malah di cerocosin.“Ada apa, Bu, kesini?” tanya Pak Angga terdengar sopan dan berwibawa.“Gini, Pak Heru. Saya nggak tahu mau minta tolong ke siapa lagi, Angga pingsan.” Jawabku dengan nada cemas.
“Dek, maafin Mas! Mas Janji akan menjadi suami yang kamu inginkan!” ucap Mas Angga serius, menatap mataku lekat. Bola mata itu memancarkan cinta. Masih terlihat besar cinta itu untukku.“Maaf, Mas! Terlalu sakit kamu menggores hatiku,” jawabku setelah terdiam cukup lama. Bola mata itu memancarkan kekecewaan. Dia menunduk, meraih kedua tanganku.“Kasih kesempatan sekali lagi untuk membuktikan ucapan Mas!” ucapnya, semakin memegang erat tanganku.“Sekali lagi maafkan aku!” ku tarik pelan genggaman tangannya, tapi percuma. Genggaman tangan itu semakin erat.“Apa karena Ibu?” tanyanya lirih. Membuat hatiku berdenyut. Takku jawab, memilih membisu.“Kalau memang karena Ibu, Mas akan antar ibu pulang kampung.” Ucapnya lagi.“Bukan hanya karena itu,” sahutku.
“Handoko?” sebut Om Heru kepada laki-laki yang main dorong pintu dengan Ibu. Seketika laki-laki itu menoleh. Menyipitkan mata, seakan mencoba mengingat. Karena lelaki itu melepaskan pintunya, kesempatan ibu untuk menutupnya. Kami berada di teras tanpa di persilahkan masuk.“Heru?” sebut lelaki itu. Mereka menyeringai seakan tak percaya. Jabat tangan dan berpelukkan khas laki-laki. Aku dan Tante Tika saling melongo. Siapa? Ada ikatan apa dengan ibu?“Lama kita tak bertemu, apa kabar?” tanya lelaki itu. Dengan menepuk-nepuk pundak Om Heru.“Kabar baik, oh ya, kenalkan ini istri dan keponakan saya!” jawab Om Heru seraya mengenalkan kami.“Handoko. Teman SMA Heru,” ucap lelaki itu mengenalkan diri, menjabat tangan kami bergantian.“Tika.”“Dewi.”Jawab kami be
Benalu part 24“Pergi!!! Jangan ganggu hidupku lagi!!”“Tenang Intan, aku bisa jelasin!”“Pergii!!! Nggak ada yang perlu di jelasin!!!”“Minta waktunya sedikit saja.”“Nggak!!! Pergi!!!”Betapa kagetnya kami semua, melihat tingkah Ibu teriak-teriak histeris, dengan melayangkan piring seng bertubi-tubi ke arah Pak Handoko. Pak Handoko hanya bisa menangkal dengan tangannya, sebisanya.“Tenang, Bu!! Tenang!!” Mas Angga berusaha memeluk ibunya, menenangkan.“Ibunya Angga kesurupan, Pa?” bisik Tante Tika ke Om Heru. Tapi aku masih mendengarnya.“Husstt! Jangan asal ngomong, nanti kalau Bu Intan denger, piring seng nya melayang ke kita!” jawab Om Heru yang juga berbisik.&ldqu
“Ada apa, Tante?” teriakku penasaran menghampiri suara teriakan Tante Tika. Begitu juga dengan Om Heru.“Iya, ada apa, sih, Ma?” tanya Om Heru juga.“Ini loo, ada kecoak, jijik,” jawabnya sambil mengelus lehernya geli.“Mama ini, ngagetin aja, kirain siapa gitu yang dateng?!” ucap Om Heru. Tante Tika hanya nyengir saja.“Iya, Tante ini ngagetin saja!” sahutku juga.“Maaf, habis buka pintu kejutuhan kecoak, reflek teriak,” jawab Tante Tika.“Eh, Rama?” sapa Om Heru.“Om, Tante!” balas Rama menjabat tangan mereka bergantian. Dengan senyum termanisnya.“Masuk, Ram!” suruh Om Heru. Rama mengangguk dan masuk ke dalam rumah. Mengerlingkan sebelah matanya saat melirikku. Ganjen banget udah punya anak istri juga.
Dengan mengendarai motor, aku di bonceng Rama. Aku tak bisa menolak keinginannya. Entahlah, niat hati ingin menjauhinya, tapi justru semakin dekat.“Dewi, mau nggak nemuin anakku, Mila?” pinta Rama tadi. Kulipatkan keningku, mencoba memahami.“Aku nemui Mila?” tanyaku mengulang kata itu.“Iya, mau kan?” jawabnya seraya bertanya lagi.“Kenapa?” tanyaku penasaran.“Tadi aku di telpon Bi Yuli ART ku, Mila rewel aja,” sahutnya.“Ibunya kemana?” tanyaku balik. Sungguh membuatku penasaran.“Mila tak akrab dengan ibunya,” jawabnya. Membuatku semakin bingung.“Kok bisa?” tanyaku lagi.“Dia ingin ketemu kamu,” jawabnya asal. Membuatku semakin bingung. Kok bisa?“Aku nggak n