“Gimana kabarmu, Wi?” tanya Rama yang sudah berada di kamarku bersama Mila, Tante Tika dan Om Heru.
“Sudah mendingan, tinggal lemesnya aja!” jawabku duduk di tepian ranjang dengan punggung menyandar. Kulihat Mila sedang di gendong Tante Tika. Dia tersenyum manis padaku. Ku membalas senyuman itu, terasa tenang hatiku melihat senyuman Mila.
“Maaf, ya, kalau tiba-tiba ke sini, karena Mila rewel pengen ketemu Tante Dewi katanya, nomor kamu nggak aktiv,” ucap Rama. Aku melipat kening, menyadari kalau gawaiku tak pernah aku cas selama sakit ini.
“Owh, iya ya? Nggak mikirin Hp, Ram. Jadi nggak aku cas Hpnya,” jawabku.
“Namanya juga sakit, pasti nggak kefikiran Hp,” jawab Rama dengan senyum manisnya.
“Iya, Ram. Tensi darahku rendah. Jadi kemarin itu lihat apa-apa muter semua, akhirnya berujung pusing dan mual,”
POV IbuHatiku berdegub tak menentu, melihat dua orang berseragam polisi itu. Aku tak mau mati di dalam penjara. Kurang ajar Pak Heru. Ternyata dia, tak main-main dengan ucapannya. Tunggu pembalasanku! Yang terpenting sekarang, aku harus menyelamatkan diri dulu.Dengan langkah bergetar aku melalui jalan tikus yang jarang di lalui orang. Sepi, tapi tak ada pilihan. Nafasku tersengal-sengal. Capek, haus dan lapar. Matahari sudah berada di atas kepala, sebentar lagi akan lengser. Aku belum makan sama sekali. Perut terasa perih dan tidak membawa uang. Sedangkan belanja tadi aja, aku hutang sama Mang Udin. Mana belanjaannya jatuh lagi. Arrgghh, sial banget nasibku.Aku berjalan sudah cukup jauh. Kaki terasa lemas. Aku memilih duduk dibawah pohon rindang. Karena matahari lagi sangat menyengat.Aku mengedarkan pandang, berharap menemukan makanan atau minuman untuk mengaliri tenggorakanku yang ke
Kesehatanku sudah semakin membaik. Tapi, masih rutin mengkonsumsi obat dari dokter kemarin. Dua nama yang mengganggu fikiranku sekarang. Rama dan Ibu. Nggak tahu kenapa aku kepikiran Ibu. Mas Angga kemarin mengabarkan kalau Ibu kabur, karena takut melihat polisi yang mengantarkan surat panggilan. Ibu kabur kemana? Dia tak punya banyak kenalan di sini. Apa ibu pulang kampung?Rama. Kalau dia ingin melamar dan menikahi Rizka, kenapa dia selama ini memberi harapan palsu padaku? Bahkan sampai menggunakan fotoku di walpaper gawainya. Dia juga sering mengirimkan emotikon love padaku. Ah, entahlah. Yang jelas, aura kecantikan Rizka memang menggoda walau dia lagi depresi. Kalau dia tak depresi, pasti lebih sangat cantik sekali.Hari ini Om Heru dan Rama sedang mendatangi rumah ibunya Rizka. Mengabarkan kondisi Rizka dan membawanya ke sini. Kalau sudah ketemu Ibunya Rizka, berarti tak lama lagi Rama akan melamar Rizka. Sakit sekali membayangkannya.
Hari ini sidang keduaku. Di temani Tante Tika, Om Heru dan juga Rama tentunya. tapi aku tak melihat kedatangan Mas Angga. Pak Handoko sebagai kuasa hukumnya juga tak terlihat.“Angga kemana, ya? Bentar lagi acara di mulai?” tanya Tante Tika seraya melongok ke arah pintu masuk.“Tunggu aja dulu, Ma! Mungkin masih di jalan,” jawab Om Heru. Tante Tika mengangguk mendengar jawaban suaminya. Untuk sidang kedua ini hatiku sudah tak segugup sidang pertama.“Ah, semoga Angga nggak datang, jadi mudah biar nggak ribet-ribet, biar bisa langsung ketok palu,” celetuk Tante Tika.“Wi? Kamu yakin betul ingin cerai dari Angga? tak berubah fikiran?” tanya Om Heru untuk menyakinkan.“Yakin Om,” jawabku seraya mengatur nafas.“Nggak ingin memberikan kesempatan kedua buat Angga?” tanya Om H
POV AnggaSempat melemas persendianku melihat sendal swallow biru milik ibu. Dengan sekuat tenaga aku memberanikan diri membuka tutup kepala jenazah itu. Ketika tutup daun pisang itu di buka, seketika aku menangis. Menangis senang karena ternyata bukan Ibu.Aku berusaha keluar dari kerumunan itu. Balik menuju mobil Pak Handoko. Mataku juga tak berkedip, mengedarkan pandang di setiap penjuru. Berharap menemukan sosok ibu. Walau bagaimanapun dia tetap ibuku. Yang telah melahirkan aku.Apalagi ibu memang tak mempunyai banyak kenalan di sini. Dan aku yakin ibu juga tak membawa uang. Jadi, menurutku ibu pergi belum jauh dari sini. Perutku berbunyi, baru menyadari kalau dari pagi belum terisi nasi. Begitu juga dengan ibu. Bagaimana kondisinya?Setelah kaki mendekati mobil Pak Handoko, tak kudapati Pak Handoko. Entah kemana beliau pergi. Panas terik matahari membuatku semakin kepikiran. Kepikiran akan
Hari ini aku bersiap-siap mengemas semua barang-barangku. Dibantu Bi Ijah tentunya. Ya, aku memutuskan untuk ikut tinggal bersama Om Heru dan Tante Tika. Karena nggak mungkin selamanya Om Heru akan tinggal di rumahku. Untuk masalah kerjaanku, aku memutuskan resign. Untuk bisnis peninggalan ayah, akan tetap berjalan dan di pantau dari jauh. Atau akan buka cabang di sana. Aku akan lebih fokus meneruskan bisnis Almarhum ayah.“Wi, ada Angga dan Pak Handoko di ruang tamu,” Tante Tika masuk ke dalam kamarku. Aku melipatkan kening dan berhenti sejenak dengan aktivitasku.“Ngapain Tante?” tanyaku. Tante Tika mengangkat bahunya.“Ya udah sana temuin! Biar di selesaikan Bi Ijah, kita juga santai ini berangkatnya,” suruh Tante Tika. Aku mengangguk dan beranjak keluar. Diikuti oleh Tante Tika menuruni tangga yang menghubungkan dua lantai ini.Mataku melihat sosok lelaki
“Kamu beneran besok nggak mau ikut ke rumah Rama?” tanya Tante Tika, seraya rebahan di sofa. Ya, aku udah empat hari berada di rumah Tante Tika. Rama mengundang kami semua lewat hape. Karena waktu mau ngantar undangan di rumahku, kami sudah tak berada di sana.“Nggak Tante, masih masa iddah juga,” jawabku, hanya sekedar alasan. Takut nggak bisa menahan rasa cemburu di sana.“Owh, iya, bener juga,” jawab Tante Tika, seraya membenahi gaya rebahannya.“Eh, tapi kamu nggak apa-apa kan?” tanya Tante Tika lagi, seakan tahu isi hatiku.“Emang, aku kenapa Tante?” tanyaku balik. Mencoba dengan nada biasa saja.“Ya, Nggak. Kan selama ini, Tante lihatnya kamu dekat dengan Rama. Terlihat juga kalau Rama ada perhatian lebih untuk kamu,” jawab Tante Tika. Aku tersenyum
Tiga bulan kemudian.Rama sudah resmi menjadi suaminya Rizka. Hatiku masih belum bisa menerimanya. Tapi, mau tak mau aku harus mengikhlaskannya. Walau susah, tapi aku harus bangkit dari keterpurukkan.“Wi, makan dulu!” suruh Tante Tika sedikit berteriak. Semenjak Rama menikah, memang berkurang nafsu makanku. Rasanya hanya ingin bermalas-malasan dalam kamar. Dengan malas aku memenuhi panggilan Tante Tika.“Iya, Tante,” jawabku, seraya bangkit dan menuju ke ruang makan. Ku lihat sudah ada Om Heru, Tante Tika dan Mita anak semata wayang mereka. Bi Ijah lagi sibuk dengan kegiatannya.Aku duduk di kursi dekat Mita. Dia melirikku seraya tersenyum. Seakan ada yang mau di katakan atau tanyakan. Entahlah.“Mbak kamu sehat?” Tanya Mita. Seakan mengkhawatirkan keadaanku. Om Heru dan Tante Tika langsung melihat ke arahku.“Iya, W
POV AnggaTerlepas dari Dewi, aku tinggal bersama Pak Handoko. Karena Pak Handoko tak tega melihat aku sendirian di kontrakkan, selain itu juga untuk menebus rasa bersalahnya di masa lalu dengan Ibu. Lagian sama-sama sendiri. Dan Ibu? Ibu masih depresi di rawat di rumah sakit jiwa.Bersama Pak Handoko setidaknya aku tidak memikirkan bayar kontrakkan dan makan. Hutang-hutang ibu semuanya di bayar oleh Pak Handoko dengan memangkas gajiku setiap bulan. Tidak masalah, lagian aku juga numpang gratis makan dan minum di rumah Pak Handoko. Walau gajiku di potong total aku juga tak masalah.Pekerjaanku yang lalu, terbengkalai karena mencari ibu dan proses penceraian dengan Dewi. akhirnya Pak Handoko memberiku pekerjaan baru, sebagai sopir pribadinya. Dewi Niqmah Imutningtyas, pemilik nama cantik dan imut itu sekarang sudah bukan istriku lagi. Menjabat sebagai jandanya Arjuna Angga Abadan. Jujur aku masih memikirkan dia. Mau di pertahankan sekuat apapun, dia sudah tak mencintaiku lagi. jadi ya