Seperti biasa, bagai hari-hari sebelumnya. Saat perdebatan yang terjadi mulai tak bisa dikendalikan. Diam adalah satu-satunya jalan keluar. Bahkan saat tiba di unit apartemen, aku dan Khalid sama-sama tak saling bicara. Hanya tindakan yang biasa dia lakukan bila aku mulai ceroboh dalam mengambil langkah atau sengaja bersikap ketus sepanjang perjalanan."Assalamualaikum," salam diucapkan begitu kami sampai."Waalaikumsallam." Namun, kali ini ada yang berbeda. Bukan hanya Neli, kini suara wanita lain yang tak asing terdengar.Aku dan Khalid berpandangan."Suaranya kaya--""MasyaAllah anak ganteng sama menantu cantik mama baru pulang."Sudah kuduga, yang tadi ternyata memang suara Bu Sarah!Dia langsung memeluk kami bersamaan."Ngapain Mama di sini?""Ye, nih anak, Emaknya dateng bukan disambut, malah dipertanyakan.""Bukannya Mama temenin Papa Dinas ke Singapur selama seminggu ke depan?""Mama nggak jadi ikut. Mending di sini. Bantu kalian ngurusin persiapan tujuh bulanan." Wanita yan
"Mbak, kenapa nggak ikut ke rumah utama?" Neli berdiri di sampingku yang tengah menyiram bunga. "Katanya nggak enak badan, tapi malah nyiram tanaman. Bukannya istirahat aja di dalem, nanti biar saya pijitin." Tangannya melingkar di sebelah lenganku yang bebas. Neli memiringkan kepala dan menatap nanar.Aku hanya bisa tersenyum getir melihatnya langsung menghampiri ke kamar, begitu Khalid dan Bu Sarah pergi untuk memeriksa kondisi Naya pagi ini.Sebagai sesama perempuan, Neli jelas tahu kenapa aku beralasan tak enak badan padahal baik-baik saja kemarin. Karena menjadikan kondisi kesehatan sebagai alibi untuk menutupi perasaan, adalah tindakan yang tak jarang 'kami' lakukan.Dengan situsi dan posisi sekarang. Aku hanya takut tak bisa menahan gejolak perasaan ketika melihat lelaki itu memeluk dan mencumbu mesra wanita yang hampir dua tahun dia nantikan dengan penuh harapan.Perasaan yang sebenarnya tak pantas kurasakan, perasaan yang seharusnya tidak pernah datang dengan atau tanpa sadar
"Terus sekarang keadaan Bu Melani gimana?""Terakhir dia ngajuin gugatan cere. Gue rasa dia akhirnya tahu sebejat apa kelakuan Si Indra."Kutatap ponsel di genggaman tangan. Lalu menatap lurus ke depan.Apa ini yang dikatakan sebagai mustajabnya doa orang yang teraniaya?Meski kita tak bertindak, tapi Tuhan yang langsung berkehendak.***Tak terasa, dua hari sudah berlalu sejak Naya dinyatakan sadar dari komanya. Tak seperti yang Neli katakan beberapa hari lalu. Yang terbelakang tetap akan kalah dengan sang prioritas.Selama dua hari pergi, sama sekali tak ada pesan atau panggilan yang ditinggalkan. Setelah wanita pujaannya sadar, Khalid benar-benar lupa dengan hak dan kewajiban yang tempo hari ibunya tekankan. Tapi, tidak apa-apa. Aku mengerti, semua itu sangat amat wajar mengingat kondisi Naya yang mungkin butuh banyak sekali perhatian.Bicara tentang Bu Sarah, kemarin dia juga sempat pulang dan menceritakan tentang kondisi menantunya. Tak banyak yang dibahas, selebihnya beliau just
Kemarin ....Ketika membuka mata, yang kuingat pertama kali adalah bagaimana caraku koma, Bang Khalid, Nindi, dan Bunda.Dalam mata terpejam, dengan kesadaran yang tak sepenuhnya hilang. Aku masih bisa mendengar segalanya. Segala keluh-kesah Bunda yang terus mempertanyaan tentang keputusanku memilih Nindi dari sekian banyak wanita, tentang rindu dan cinta yang coba Bang Khalid ungkapkan tiap waktunya. Serta tentang pertanyaan yang selalu Nindi ajukan di berbagai kesempatan yang ada.Jika bisa, semua pertanyaan itu mungkin akan kujawab dalam satu waktu, ketika malaikat pencabut nyawa akhirnya menjemputku. Bahkan, ketika dokter mengatakan bahwa tumor ganas itu berhasil merenggut satu-satunya kesempatanku untuk menjadi wanita seutuhnya, aku sudah mempersiapkan segala konsekuensi terburuknya.Konsekuensi yang harus kuterima karena memutuskan bungkam setelah mengetahui kebenarannya. Kebenaran tentang masa lalu Ayah dan Bunda, serta fakta bahwa aku bukan satu-satunya anak biologis seorang
"Bang!" Kutahan tangannya sebelum sempat menyodorkan sendok makanan.Dia menatap dengan kernyitan dahi. "Udah dua hari."Bang Khalid mengempaskan tubuhnya ke sandaran kursi yang sengaja ditarik mendekati ranjang."Besok Bunda sama Ayah datang. Abang pulang, ya!""Pulang gimana maksud kamu? Rumah Abang, kan di sini!"Kuraih sebelah tangannya, lalu genggam erat dengan kedua tangan."Sekarang rumah abang bukan cuma di sini, yang nunggu abang pulang bukan cuma aku lagi."Dia terdiam.Selagi ada kesempatan. Bergegas kuambil kunci yang sebelumnya Mbok Warmi berikan, lalu meletakkannya di telapak tangan Bang Khalid."Ajak Nindi keluar. Bawa dia liburan!"Bang Khalid menatapku dengan sorot yang kurang menyenangkan."Ini, kan kunci villa tempat kita bulan madu dulu. Kamu udah gila, Nay?"Aku menggeleng pelan, lalu tersenyum lebar meski sesak terasa tiap tarikan napas dihela."Nindi berhak diperlakukan dengan cara yang sama. Dia istrimu juga!"...Aku tersenyum melihat foto-foto kebersamaan B
"Di villa ini cuma ada tiga kamar. Jadi, kemungkinan Neli dan Roy menempati masing-masing kamar di lantai dasar. Sementara Nindi dan saya mengisi kamar utama di lantai dua." Khalid langsung menjelaskan begitu kami sampai di sebuah vila yang tak jauh dari tepi pantai. Untuk mencapai pulau ini kami hanya perlu menepuh lima belas sampai dua puluh lima menit perjalanan menggunakan speedboat dari Sekupang Batam menuju Belakang Padang. Kebetulan Belakang Padang termasuk salah satu pulau yang masih satu kecamatan dengan Kota Batam.Julukan Pulau Penawar Rindu tak lain karena mitos yang beredar di masyarakat, bahwa siapapun yang sudah meminum air di pulau ini, akan selalu rindu untuk kembali.Setelah melihat secara langsung keadaan pulau yang langsung berhadapan dengan Negara Singapura ini, sepertinya tanpa melakukan hal itu pun orang-orang ingin kembali setelah disuguhi view seindah ini."Interupsi!" Aku mengangkat tangan begitu Khalid menjelaskan."Ya?" Dia menoleh sembari mengangkat dua k
Dari vila kami berjalan kaki sekitar seratus meter menuju pusat wisata Pulau Penawar Rindu. Menyusuri jembatan penghubung sembari menikmati pemandangan asri yang masih terjaga di pulau ini.Tak ada polusi, karena menurut keterangan pengendara speedboad yang mengantar kami, kendaraan empat belum tersedia di pulau yang sebagian besar bersuku Melayu ini. Hanya beberapa motor yang kulihat lalu-lalang sesekali. Benar-benar jauh bila dibandingkan dengan padatnya ibu kota."Siapa yang suruh kamu pake baju begini?" Akhirnya pertanyaan itu terlontar setelah sekian lama Khalid hanya menatapku dari atas ke bawah dengan pandangan yang entah."Eyke!" Dengan percaya dirinya Roy mengaku dan menunjuk diri.Tatapan lelaki itu menajam. Sorot mata yang akhir-akhir ini sering dia tunjukan khususnya untuk sahabatku yang satu ini."Jatah makan kamu saya kurangin malam ini."Sontak ekspresi Roy berubah, dia mengerucutkan bibir, lalu beralih dari sisiku menuju sisi tubuh Khalid."Ih, Babang, kok gitu? Jangan
Hal yang tersulit dari semua ini adalah status sebagai seorang istri yang dituntut untuk mengabdi. Ketika dinding yang semula dibangun untuk membatasi akhirnya luruh dalam diri. Ketika ego dan martabat yang dibumbung tinggi akhirnya dilucuti demi hak dan kewajiban yang tak terpenuhi selama tujuh bulan ini.Aku tahu Khalid sudah berusaha dengan keras sejak kesepakatan itu terjadi, memenuhi apa yang seharusnya dia lakukan sebagai seorang suami. Menyirami tiap benih yang bersemi agar kelak tak kembali mati. Walaupun banyak yang terjadi dan ego dalam diri masih tak mampu menerima semua kenyataan yang ada. Aku berusaha untuk berdamai dengan keadaan. Mencoba menerima tiap luka dan derita yang ditorehkan mereka. Menjalani hidup yang tersisa bersama dengan pahit dan manis yang terasa di tiap perjalanannya.Ini adalah giliranku untuk berbakti, memenuhi kewajiban sebagai seorang istri, meski waktu yang tersisa hanya beberapa bulan lagi. Akan kubawa dia terbang ke langit yang tinggi, menghiasi