Mei tak mengerti apa yang terjadi pada tuannya. Macan kumbang itu memutuskan ikut saja sambil bertanya walau agak takut. Aya terlihat sedikit menyeramkan."Tuan Putri, kenapa tidak terlihat senang? Bukankah nant—” “Mei, Guru Wirata itu paling sakti, kan, ya? Kenapa nggak dia aja yang mengejar dan menangkap Astina?” Aya berhenti dan menatap mata dayangnya dengan tajam. Ia butuh jawaban yang jujur dari bibir Mei Mei. Kalau berbohong, maka Aya terpaksa … “Soal itu hamba kurang paham, Tuan Putri. Bisa ditanyakan pada Tuan Saka mungkin. Hamba dulu hanya dayang yang mengurus ayam peliharaan Gusti Prabu saja.” Mei menjawab apa adanya, dan bisa Aya rasakan kejujuran dari pancaran mata dayangnya. Lalu gadis bermata biru itu memutuskan masuk ke dalam kamar. *** Saka mengejar Astina yang telah berubah menjadi asap hitam dan berusaha menjauh darinya. Sejujurnya manusia harimau itu kecil hati. Dulu ia pernah kalah dari siluman kelabang tersebut, bahkan sekujur tubuhnya terkena racun mematikan.
Guru Wirata pergi dari makam kerajaan. Hampir semua yang meregang nyawa di sana dialah biang keladinya. Kecuali yang masih kecil-kecil dibunuh oleh Astina sendiri. Wirata akan masuk dalam raga Astina agar siluman kelabang itu semakin kuat dan tak terkalahkan. Selalu demikian sejak ratusan tahun lalu. Apa hubungan di antara keduanya? Tidak mungkin hanya sekedar teman bicara saja. Manusia harimau putih itu muncul di depan gua persembunyian Astina selama ini. Tempat yang ia tutupi dengan perisai, sekalipun Saka yang mencari tidak akan pernah ketemu. Hanya jika Wirata tewas saja perisai tersebut akan hilang dengan sendirinya. Namun, siapa yang mampu membunuh yang paling sakti di Gunung Kalastra? “Kang Mas,” ucap Astina sambil berbaring di atas batu. Ia kesakitan usai dihantam oleh Saka. Jika tak ada Wirata sudah lama siluman itu tewas. “Kau terlalu gegabah, bagaimana mungkin bisa muncul di dalam istana saat aku sedang mengobati Gusti Ratu.” Wirata duduk di sebelah kekasihnya. Terlih
Sebelum Aya ke Air Terjun Putri Cahaya datang ke kamar sang ratu yang sudah semakin membaik. Gadis itu memeluk Amira sangat erat. Sempat ia berpikir akan kehilangan mamanya. Namun, berkat Wirata permaisuri Abhiseka terselematkan hidupnya. Hal yang membuat Aya bingung harus bersikap bagaimana. “Aya, kamu cantik banget pakai baju ginian. Nggak tertandingi sama sekali.” Amira masih duduk di ranjang saja. Dia belum ada rencana ke mana-mana. “Mama juga, pipinya udah merah lagi, bibir nggak pecah-pecah terus rambutnya mulai halus. Hebat banget Guru Wirata bisa sampai gini nolong Mama.” “Iya, Mama juga nggak nyangka bakalan hidup lagi. Kemarin sempat mau nyerah.” “Ayahanda mana, Ma?” tanya sang putri. “Nggak tahu, dari pagi nggak kelihatan, kenapa?” “Gini.” Gadis bermata biru itu menarik napas sejenak. Mungkin lewat bujukan Amira restu bisa didapatkan dengan mudah. “Mama, kan, udah balik ke sini. Entah kenapa Aya yakin kalau bentar lagi Aya bakalan punya adek bayi.” Senyum terbit di b
Aya melihat ke sekeliling, sepi sekali, sunyi, dan begitu tenang. Namun, ia teringat dengan pesan Yunda Niken, bahwa ia harus menolong Saka yang berada dalam bahaya. Aya mencoba berlari mencari jalan keluar, tapi ia tak menemukan apa-apa. “Ayo, bangun, bangun, jangan terbawa mimpi.” Gadis bermata biru itu sampai menampar diri sendiri, tapi tak terasa sakit sama sekali. “Aduh, gimana caranya mau nolongin Pak Saka kalau gini.” Aya mencoba menghantam perisai yang menghalangi dirinya tapi tidak terjadi sesuatu di depannya. Kemudian, lintasan kejadian saudaranya mati satu demi satu dibunuh Astina dan Wirata melintas bak putaran film di bioskop di depan mata Aya. Selesai satu kematian, lalu arwah saudaranya menembus tubuh Aya begitu saja, begitu terus sampai peristiwa dibunuhnya Niken Ayu beserta anak dan suaminya. Tak tahan dengan rasa sakit akibat ditembus oleh arwah saudaranya yang berjumlah sangat banyak, Aya menjerit kesakitan. Saat itu pula dunia serasa berputar sangat cepat di ma
“Bener, Pak Saka, yok, sekarang aja nikahnya. Nggak usah tunggu lama-lama.” Buyar rencana Aya untuk membunuh Wirata dan Astina.“Belum bisa, ada syaratnya.” “Apaan, heran, banyak bener gaya Gusti Prabu Abhiseka ini. Kalau bukan ayah sendiri, udah tak hiiiih sampai ke bikini bottom.” “Syaratnya, aku harus bisa membunuh Astina. Agar kerajaan kita damai.” “Oooh, gitu doank. Gampanglah itu, kirain disuruh membelah gunung.”“Gampang dari mananya, Tuan Putri, Astina itu sakti tanpa tandingan dari dulu.” “Pokoknya gampang, serahin sama Aya. Pak Saka tinggal ikut rencana Aya, ya. Oke, deal?” Saka menatap Tuan Putri agak sedikit curiga. Meski tadi dia separuh sadar, tapi Saka bisa melihat bagaimana kemampauan Aya ketika bisa mengalahkan gurunya. Aya dan Saka masih berduaan. Ngapain? Bahas cara mengalahkan Astina, yang sebenernya gampang banget bagi Aya. Namun, menurut Saka, harus dialah yang mengalahkan siluman kelabang itu biar bisa sat set sat set nikah sama sang putri. So, pura-pura t
“Acieeeeh, Pak Saka udah berani peluk Aya. Tapi, kita, kan nggak kelihatan, Pak di mata manusia?” Aya senang bukan main dipeluk Saka. “Oh, iya lupa.” Saat itu juga Saka melepaskan pelukannya. “Tahu gitu, nggak dikasih tahu biar dipeluk agak lama.” Kecewa sang putri jadinya. “Sudah, ayo pergi dari sini. Sudah cukup 10 ekor ayam kita tangkap.” Saka mengikat ayam dengan ikat kepalanya. Lalu dia mengajak gadis bermata biru itu kembali. “Pak Sakaa, gendong.” Kumat manja si Aya. “Malas, bisa terbang padahal.” “Pelit!” “Lihatlah aku sedang bawa ayam.” “Eh, tunggu, emang udah tahu di mana tempat tinggal Astina?” tanya Aya. “Oh, iya, di mana, ya? Tuan Putri tunggu di sini, aku akan bertanya pada guru dulu, dia pasti tahu jawabannya.” “Eh, Pak Saka, nggak usah, mending cari tahu sendiri deh. Duduk, tenangkan pikiran, pasti ketemu. Feeling Aya Astina tinggal di dalam gunung. Percaya sama calon istrimu yang cantik jelita dan imut-imut ini.” Sejenak Saka memandang Aya. Dari cara berbica
“Guru Wirata, Aya tahu guru udah berjasa banget nolongin Mama, tapi ada ratusan saudara, keponakan, bahkan cucu Aya yang Guru bantai tanpa ampun. Jadi malam ini adalah malam terakhir bagi Guru untuk tinggal di gunung.” Gadis bermata biru itu memetik beberapa bunga beracun berwarna hitam. Yang paling besar bahkan ia ambil menggunakan selendangnya sendiri agar ia tak terkena efek samping bunga tersebut. Ada satu keranjang kecil Aya bawa sendirian saja, tanpa melibatkan siapa pun termasuk Saka juga Mei Mei. Namun, kedatangan Saka yang tiba-tiba membuat sang putri terpaksa menyembunyikan bunga itu. Aya langsung memasang wajah ceria seperti biasanya. “Apa yang Putri lakukan malam-malam di kebun belakang?” tanya Saka. “Lihat bunga, Pak.” “Untuk apa? Ini bunga beracun. Di bawah sana tertanam jiwa-jiwa pengkhianat yang bekerja sama dengan Astina dulu.” “Nggak ada, siapa tahu kalau kita pakai bunga ini bisa bunuh Astina kan, terus kita bisa kawin cepet,” ucap Aya dan Saka langsung melirik
Dua manusia harimau itu bersamaan berbicara. Kalau sampai salah satunya tewas, maka mereka berdua yang paling layak disalahkan. Keduanya berlari kencang dan menghilang lalu sampai di istana. Di sana Saka melihat Aya menangis sesenggukan. “Putri, apakah Gusti Ratu?” tanya Saka agak takut. “Bukan, Guru Wirata meninggal, Pak, hu hu hu, sedih banget Aya dibuatnya. Belum sempat balas budi, belum sempat minta maaf, Guru udah pergi, hu hu hu. Aya yang salah, hu huuu.” Jago banget akting Aya soalnya air matanya turun terus di pipi. “Sudah tidak apa-apa, bukan salah Tuan Putri.” Saka memeluk Aya untuk menangkan tangisan calon istrinya. “Yes, akhirnya dipeluk Pak Saka,” gumam Aya perlahan. “Apa sebab kematian, Guru?” Cakra Buana menahan dayang yang mulai mempersiapkan upacara penguburan untuk Wirata. “Bunuh diri, Tuan, beliau menelan racun bunga hitam sangat banyak. Penyebab bunuh dirinya tidak ada yang mau bilang.” “Putri Cahaya, izinkan aku untuk mengurus pemakaman guru sebagai bakti s