"Sayang, kau tidak papa, hem? Kenapa menangis begini? Apa Tante mengatakan sesuatu yang buruk?" Sebastian masih duduk memangku Shela yang memeluknya dengan erat, gadis itu tidak berniat mengadu sama sekali pada Sebastian. Tapi melihat Shela menangis seperti ini, apakah Sebastian akan diam saja? Tentu saja tidak akan. "Maafkan aku, Sebastian." Shela meminta maaf atas kesalahan yang Sebastian sendiri tidak ketahui. "Hei, Shela... Apa maksudmu meminta maaf, hem? Kau salah apa, Sayang?" Laki-laki itu menangkup kedua pipi Shela dengan lembut. "Lihat aku, sini, tatap aku saat kau berbicara pada suamimu!" Laki-laki itu memang tegas, apalagi menyangkut Shela yang sampai menangis-nangis seperti ini. "Mereka membawa-bawa Papa Ferdi? Mereka menyalahkanmu? Iya?!" tegas Sebastian mendesak Shela. Gadis itu menganggukkan kepalanya, dia menyandarkan kepalanya di dada bidang suaminya. Shela memeluk tubuh laki-laki itu dengan erat. "Padahal aku sama sekali tidak bermaksud apapun, aku tidak berma
"Mami, kita kangen banget. Mami lagi apa di sana? Di sini sudah turun salju, di tempat Mami turun salju, tidak?" Suara kecil Tiana di balik telepon membuat Shela tersenyum manis, pagi petang sekali anak-anaknya sudah video call. Padahal Shela kini baru saja bangun tidur dengan Sebastian memeluknya erat-erat dan mendusal padanya. "Iya Sayang, sudah. Di tempat Mami banyak yang menjual boneka tupai. Tiana mau Mami belikan boneka tupai?" tawar Shela tersenyum manis. "Mau, mau sekali, Mami!" pekik anak itu, dia mengangkat ponsel milik Stevani tinggi-tinggi. "Sayang, di mana Kakak?" tanya Shela. "Kakak masih bobo, Tiana sama Oma mau masak sarapan," ujar anak itu tersenyum manis. Baru saja Shela hendak mengatakan sesuatu lagi, tapi panggilan itu tiba-tiba dimatikan begitu saja oleh Tiana. Shela menyergah napasnya panjang dan mengeluh kesal. "Masih kangen, kenapa malah dimatikan sih, Tiana..." "Tidur lagi, Sayang," bisik Sebastian memeluk tubuh ramping Shela dan membenamkan wajahnya
"Sebastian, ada undangan juga untuk Papamu di kediaman Paman Heinz, kau mau mewakilinya datang bersama kami, tidak?" Pertanyaan itu terlontar dari Rovits pada Sebastian yang tengah menikmati makan malamnya bersama beberapa anggota keluarga di sana. "Kau bisa mengajak Shela juga, kenalkan istrimu pada semua rekan-rekan bisnismu," sahut Vincen tersenyum dia menoleh pada Shela. "Apalagi istrimu ini cantik sekali." Sebastian berdecak pelan. "Aku tidak berminat sama sekali, Tante. Aku dan Shela ke sini untuk berbulan madu, bukannya malam mengurusi pekerjaan," jawab Sebastian. "Tapi tidak sopan rasanya kalau kau tidak datang mewakili Papamu, bodoh!" Clarvin menyanggahnya. Tatapan mata Sebastian tertuju pada Shela seolah meminta persetujuan. "Shela tidak perlu takut, nanti Tante Elin juga ikut kok," sahut Elin, wanita berambut cokelat itu tersenyum pada Shela. "Iya Tante. Shela hanya ikut Sebastian saja," jawab Shela. "Iya kalau dulu selalu ada Kak Ferdi yang mewakili Paman Graham,
Perhiasan emas, berlian, batu permata yang indah dijajar rapi di hadapan Shela dan meminta gadis itu untuk memilihnya. Elin dan Vincen memang sengaja ingin memberikan hadiah spesial untuk anggota Nyonya baru di keluarga mereka. "Shela, kenapa malah diam saja? Ayo pilih mana yang kau sukai, nak," ujar Elin mengusap punggung Shela dengan lembut. Melihat wajah Shela yang bingung, Sebastian yang tengah duduk di ruang keluarga yang bersampingan dengan ruang tamu, dia memperhatikan Shela yang bingung dengan apa yang akan dia pilih dan dia inginkan. "Pasti bingung ya, karena terlalu banyak. Shela bisa mengambil mana saja yang Shela ingin," bujuk Vincen lagi. "Bu-bukan begitu Tante, tapi... Semua perhiasan ini semuanya sangat mahal-mahal, lebih baik tidak usah." Shela menggeleng-gelengkan kepalanya. Membayangkan sudah ngeri, ada yang dari permata Zamrud, batu Ruby, hingga permata-permata yang indah. "Apa dia benar-benar dari keluarga yang miskin?!" Suara Clara memecah keheningan. Seba
Entah sejak kapan Shela menyukai kecupan bibir Sebastian. Kesal, sekaligus malu kenapa Shela menjadi sangat nakal seperti ini saat sudah bersama Sebastian. Buktinya saat ini Shela memeluk leher laki-laki itu dengan mata terpejam dan bibir mereka yang bertautan saling membalas. "Kau menyebalkan," lirih Shela memalingkan wajahnya. "Siapa yang memancing, hem?" Laki-laki itu masih menempatkan wajahnya di pipi Shela. Wajah Shela semakin memerah kala dress Sabrina panjang itu mulai lolos. Malu sekali!Tapi Sebastian tahu apa yang Shela pikirkan, dia pun tidak membuang waktunya. Laki-laki itu mengecup bibir Shela dengan lembut, Sebastian menyentuh bagian mana saja yang bisa dia jangkau. Tidak akan ada bosannya, itulah Sebastian. Bodohnya Shela yang selalu larut dalam permainan menyenangkan ini. "A-apa gorden itu tidak bisa kau tutup dulu, hah?!" pekik Shela menarik selimutnya tinggi-tinggi. "Tidak, biar saja." "Kau memang gila, Sebastian!" pekik Shela. Sebastian kembali tersenyum. "
"Hah, Mami sama Papi sudah mau pulang?! Kok cepet banget sih... Kan brankas Tino masih dapat sedikit!" Bocah laki-laki dengan seragam sekolah berwarna biru muda itu memeluk kaleng biskuit yang berisi banyak uang kertasnya. Setiap hari, Ferdi harus membayar Tino selama Shela dan Sebastian pergi, kalau tidak dia mengancam akan menangis. Tapi karena Ferdi sangat menyayangi cucunya yang satu ini, maka apapun akan tetap dia berikan pada Tino. Tidak seperti dia kembarannya. "Wahh, kira-kira Tiana dibelikan apa ya sama Mami?!" seru Tiana dengan wajah berbinar. "Iya, kita mungkin dibelikan mainan yang banyak!" seru Tiano tak kalah senang. Sedangkan Tino cemberut memeluk brankas kaleng biskuitnya. "Haaahhh... Selamat terhenti, uang-uangku yang mengalir," cicit Tino sedih. "Dasar bankir!" maki Tiano pada kembarannya. "Apa hah?! Mau adu kekayaan?!" sinis Tino pada adik kembarannya. "Hei, sudah... Sudah... Hayo, kan kalian sudah janji sama Oma tidak akan ribut! Hayoo...!" Stevani mempe
"Mami, Papi... Ditaruh mana sama Mami, kok adiknya Tiana tidak ada?" Anak itu membongkar tas dan koper milik Shela dan Sebastian. Dia mencari adik-nya! Shela dan Sebastian seperti orang bodoh berdiri di dekat ranjang menatapi putri kecilnya yang mengobrak-abrik koper mencari sesuatu yang sudah Sebastian dan Shela janjikan sebelum mereka berangkat. Anak itu menyeragah napasnya panjang dan kembali menoleh ke belakang pada Shela dan Sebastian. "Mami, Papi, pasti bohongin Tiana," lirih anak menunjukkan wajahnya yang lesu. "E-ehh... Kata siapa! Mami tidak bohong kok, ini kan Mami sudah belikan adik boneka tupai buat Tiana," seru Shela meraih boneka tupai besar di atas ranjang. Wajah Tiana masih merengut. Tangan mungilnya menarik lengan boneka tupai cokelat di atas ranjang besar orang tuanya. Ditatap wajah boneka tupai itu dengan ekspresi sedih dan bibirnya melengkung ke bawah. "Tuan Tupai, ayo kita keluar," ucap anak itu memeluk bonekanya dan berjalan keluar. "Eh, Sayang... Mami t
Setelah beberapa hari Shela kembali dari bulan madunya, ia juga kembali fokus mengurus anak-anaknya. Toko roti yang sempat terjual pun kembali dibeli oleh Sebastian dari tangan Adam. Tapi kini dia sudah menjadi seorang Nyonya Sebastian, tentu suaminya melarangnya bekerja, tugas Shela hanya fokus pada anak-anaknya dan juga memperhatikan setiap kegiatan suaminya saja. Pagi ini Shela sibuk dengan kedua anaknya, Tiana dan Tiano. Sedangkan Tino ikut bersama Stevani sejak dua hari yang lalu mereka pindah rumah. "Tiano mau ke mana? Kok bawa baju banyak?" Tiana mendekati kembarannya yang duduk sibuk menata barang-barang ke dalam tas. "Mau latihan renang, kenapa? Kau mau ikut?" tawar sang kembaran. Tiana menggeleng. "Tiana tidak bisa berenang. Nanti jatuh, terus tenggelam, bagaimana?" "Kan ada aku, aku kan Kakaknya Tiana." Shela berdiri menatap mereka, mendengarkan perbincangan Tiana dan Tiano yang hangat. Keduanya adalah dua kutub tang sama, mereka memiliki sisi hangat yang seimbang, t