Tepat di depan pintu ruangan Elvis yang tertutup rapat, Edeline menenangkan jantungnya yang berdebar-debar. Situasi sunyi di mana tidak ada seorang pun di sana memudahkan Edeline untuk menenangkan diri sejenak.Edeline melepaskan napas kasar yang panjang sembari menyingkirkan segala gugup di jiwa. Perasaan gadis cantik itu sedikit goyah setelah mengetahui Elvis yang diam-diam memperhatikan dirinya.Apa yang terjadi dengan pria itu?Entahlah! Tidak ada waktu untuk serius memikirkan hal itu. Lebih baik Edeline segera masuk ke dalam ruangan dengan menyembunyikan perasaannya yang berkecamuk tak keruan.Selain menghindari mulut Nicho yang nantinya akan memprotes keterlambatannya, Edeline tertarik pada topik operasi transplantasi hati yang diucapkan Nicho. Itu artinya Edeline diberi lampu hijau bergabung ke dalam tim?!Udara sejuk yang mendominasi di ruangan telah menyapa Edeline yang masuk setelah mengetuk pintu. Gadis itu mengulas senyuman manis, berusaha ramah menyapa Elvis—selaku pemili
Edeline tenggelam dalam perasaan terkejut, sementara matanya tak berkedip menatap Elvis. Jiwa gadis cantik itu dipenuhi oleh segala pertanyaan. Dari mana Elvis mengetahui luka memar di lengannya? Apa Rebecca sudah menceritakan semua hal yang meluruskan pada Elvis?Batin Edeline mengomel sendirian, sibuk mencari kebenaran yang sama sekali tidak diketahui. Instingnya telah menerka-nerka, sudah pasti Rebecca yang memberitahu. Mengingat hanya wanita baik itu yang mengetahui segala hal kebenaran Edeline.Edeline sangat yakin, instingnya tidak akan keliru. Keputusan itu didukung kuat oleh perubahan sikap Elvis. Sudah pasti Rebecca memenuhi janji untuk turun tangan memperbaiki keadaaan antara Edeline dan Elvis.“Kenapa kau diam saja?” seru Elvis menegur Edeline dari lamunan.“Hah?!” Edeline tersentak gugup.“Di dalam bungkusan itu ada salep yang bisa ampuh menghilangkan memar. Mau aku bantu?”Tiba-tiba saja Elvis mengambil bungkusan putih itu dari tangan Edeline. Gerakan itu mengejutkan Edel
Suasana canggung menyiksa Edeline yang berdiri di sebelah Elvis. Gadis cantik itu masih berdebar-debar, semburat rona merah di pipi masih setia menyelimuti. Padahal mereka sudah beralih tempat—sudah berada di dalam lift untuk menjenguk Shopia.Berbeda dengan Edeline, Elvis terlihat tenang tanpa beban ataupun rasa bersalah. Namun, sikap dingin seolah acuh masih ditunjukkan oleh Elvis. Seolah-olah hal itu dijadikan branding dari seorang Elvis Dalton.“Kau benar-benar mengizinkan aku bertemu Shopia, kan?”Tiba-tiba Edeline memprotes. Dia menyadari lantai tujuan mereka bukanlah lantai di mana ruangan ICU berada.“Shopia sudah dipindahkan ke kamar inap karena kondisinya jauh lebih stabil.”Edeline mengangguk-angguk sebagai tanggapan dari penjelasan singkat Elvis. Gadis cantik itu merasa lega mengetahui keadaan Shopia yang jauh lebih baik. Di dalam hati dia juga berdoa, jangan beri lagi penderitaan kepada Shopia.Edeline sedikit tersentak dari lamunan singkat ketika pintu lift terbuka. Kaki
Secangkir teh sangat intens ditatap oleh sepasang mata. Tak sedetik pun teralikan, seperti menatap lekat-lekat segala bentuk cangkir serta warna dari teh itu sendiri. Namun, sorot mata yang terpancar sangat kosong. Si pemilik mata hanya menatap lurus pada teh yang tak lagi hangat, sementara pikirannya telah terisi oleh hal-hal lain.Dia adalah Sarah—yang duduk termenung sendirian pada salah satu kursi sudut coffee shop. Wanita itu sudah bersikap sama sejak duduk di sana. Bahkan ketika waiters menghidangkan teh beserta dessert pilihannya, Sarah tak menggubris karena tenggelam dalam pikirannya.Sejak perdebatan yang menguras pikiran dengan Alex, Sarah menjadi tak fokus. Perkataan Alex cukup mengguncang perhatian dan pikirannya, sehingga Sarah terus-menerus memikirkan perkataan Alex.Bagaimana kalau nantinya hamil?“Sarah?!”Sarah tersentak dari lamunannya ketika suara tak asing menyapa—pun mengguncang lembut bahunya. Dengan gerak spontanitas Sarah menoleh. Matanya membulat panik ketika
“Kekasih?” Shopia mengulangi dengan nada anak-anak kebingungan yang khas. “Kekasih itu apa, Grandma?”Eva memejam singkat kedua mata ketika menyadari diri yang melakukan kesalahan—lupa bahwa Shopia masih terlalu dini mengenal kata tersebut. Namun, Eva tidak mau menyerah begitu saja sehingga langsung memberi penjelasan mudah di pahami oleh Shopia.“Kekasih itu hubungan seperti teman antara wanita dan pria. Tapi lebih akrab dan romantis karena suatu hari akan menikah.”“Jadi, Daddy dan Edeline akan menikah?” Shopia menyahut cepat, begitu antusias mendengar penjelasan Eva.“Hm ... mungkin ... bisa jadi Daddy menikah dengan Dokter Edeline itu menikah.” Eva terbata menjelaskan karena kebingungan sendirian. “Berarti Daddy sudah mengenalkanmu dengan Dokter Edeline?” tanya Eva yang tiba-tiba tersentak oleh pemikiran yang terlintas.Shopia menggeleng lemah. “Aku dan Edeline itu teman, Grandma.”“Teman?!” Eva semakin bingung. “Maksudmu apa, Sayang?” rayu Eva manja.“Aku dan Edeline saling berke
Mata Elvis telah menusuk penuh kecurigaan terhadap Edeline yang merubah ekspresi. Pria itu memutuskan beranjak dari duduk di tepian ranjang, sementara kedua kaki langsung membawa diri untuk mendekati Edeline.“Siapa yang meneleponmu?” Elvis merampas handphone yang masih menempel di sisi kiri telinga Edeline. “Sampai kau ketakutan seperti itu,” lanjutnya mengomentari.Tidak usah ditanya bagaimana terkejutnya Edeline. Mata cantiknya telah membulat panik melihat Elvis segera melayangkan tatapan ke handphone miliknya. Dengan gerakan tak kalah cepat, Edeline merampas kembali hanphone miliknya.“Dasar tidak sopan! Ini handphone milikku!” cetus Edeline penuh kekesalan setelah berhasil merampas handphone itu.Edeline langsung memeriksa handphone-nya tanpa menunda. Dia cemas jika sambungan telepon itu masih terhubung. Betapa leganya Edeline setelah memastikan sambungan telepon itu sudah terputus. Namun, rasa kesal yang bertengger kokoh di jiwa masih belum lenyap. Edeline kembali melayangkan ta
“Nyonya, aku perlu menyampaikan kebenaran agar Anda tidak salah paham.”Dahi Eva berkerut bersamaan dengan wajahnya bingung—tak memahami ucapan Edeline. “Kebenaran? Aku salah paham?”“Aku dan Dokter Elvis tidak menjalin hubungan apa pun.” Edeline sangat yakin pada keputusannya.Eva tertawa mengejek keseriusan Edeline. “Kau tidak usah takut untuk mengakui, Dokter Edeline. Sudah aku katakan di awal, jika aku tidak memiliki niat buruk padamu. Justru aku ke sini ingin meminta padamu.”“Tapi, Nyonya ... yang aku katakan—”“Aku juga sudah bertanya langsung pada Alex. Sebagai orang yang sering bersama putraku, dia mengakui hanya dirimu satu-satunya gadis yang dekat dengan putraku.”“Hubunganku dan Dokter Elvis tidak lebih dari profesional pekerjaan. Dokter Elvis adalah dokter pembimbingku,” jelas Edeline berusaha meyakinkan. Namun, penjelasannya itu belum diterima oleh Eva yang menggeleng-gelengkan kepala.“Tapi aku sangat memahami putraku satu-satunya itu. Dia tidak akan mengizinkan seorang
Pakaian pasien yang sebelumnya dipakai telah diganti dengan pakaian steril berwarna hijau yang khas. Elvis—si pasien itu langsung merebahkan tubuhnya ke atas ranjang pasien. Selimut putih yang berada di ujung kaki tak lupa ditarik untuk menutupi tubuhnya sampai sampai perut.Langit-langit kamar berplafon putih ditatap lekat oleh kedua mata. Pria itu sedang memikirkan sesuatu yang mengusik pikiran sejak kemarin malam. Sampai-sampai Elvis tidak menyadari kapan kedua orang tuanya telah berada di sana, termasuk pada dua orang perawat yang kembali memeriksa tekanan darah.Ucapan Edeline kemarin malam benar-benar mengguncang perasaan Elvis. Pria itu semakin kesulitan beristirahat ketika Edeline memutuskan menginap di sana, gadis itu tertidur pulas pada sofa panjang yang berada di kamar itu.Hampir sepanjang malam Elvis menatap Edeline yang tertidur. Sepanjang itu pula Elvis menggali-gali senyar aneh yang menggetarkan jiwa.Elvis menyukai Edeline. Dia sangat yakin pada pemikiran. Hal itu bu