Secangkir teh sangat intens ditatap oleh sepasang mata. Tak sedetik pun teralikan, seperti menatap lekat-lekat segala bentuk cangkir serta warna dari teh itu sendiri. Namun, sorot mata yang terpancar sangat kosong. Si pemilik mata hanya menatap lurus pada teh yang tak lagi hangat, sementara pikirannya telah terisi oleh hal-hal lain.Dia adalah Sarah—yang duduk termenung sendirian pada salah satu kursi sudut coffee shop. Wanita itu sudah bersikap sama sejak duduk di sana. Bahkan ketika waiters menghidangkan teh beserta dessert pilihannya, Sarah tak menggubris karena tenggelam dalam pikirannya.Sejak perdebatan yang menguras pikiran dengan Alex, Sarah menjadi tak fokus. Perkataan Alex cukup mengguncang perhatian dan pikirannya, sehingga Sarah terus-menerus memikirkan perkataan Alex.Bagaimana kalau nantinya hamil?“Sarah?!”Sarah tersentak dari lamunannya ketika suara tak asing menyapa—pun mengguncang lembut bahunya. Dengan gerak spontanitas Sarah menoleh. Matanya membulat panik ketika
“Kekasih?” Shopia mengulangi dengan nada anak-anak kebingungan yang khas. “Kekasih itu apa, Grandma?”Eva memejam singkat kedua mata ketika menyadari diri yang melakukan kesalahan—lupa bahwa Shopia masih terlalu dini mengenal kata tersebut. Namun, Eva tidak mau menyerah begitu saja sehingga langsung memberi penjelasan mudah di pahami oleh Shopia.“Kekasih itu hubungan seperti teman antara wanita dan pria. Tapi lebih akrab dan romantis karena suatu hari akan menikah.”“Jadi, Daddy dan Edeline akan menikah?” Shopia menyahut cepat, begitu antusias mendengar penjelasan Eva.“Hm ... mungkin ... bisa jadi Daddy menikah dengan Dokter Edeline itu menikah.” Eva terbata menjelaskan karena kebingungan sendirian. “Berarti Daddy sudah mengenalkanmu dengan Dokter Edeline?” tanya Eva yang tiba-tiba tersentak oleh pemikiran yang terlintas.Shopia menggeleng lemah. “Aku dan Edeline itu teman, Grandma.”“Teman?!” Eva semakin bingung. “Maksudmu apa, Sayang?” rayu Eva manja.“Aku dan Edeline saling berke
Mata Elvis telah menusuk penuh kecurigaan terhadap Edeline yang merubah ekspresi. Pria itu memutuskan beranjak dari duduk di tepian ranjang, sementara kedua kaki langsung membawa diri untuk mendekati Edeline.“Siapa yang meneleponmu?” Elvis merampas handphone yang masih menempel di sisi kiri telinga Edeline. “Sampai kau ketakutan seperti itu,” lanjutnya mengomentari.Tidak usah ditanya bagaimana terkejutnya Edeline. Mata cantiknya telah membulat panik melihat Elvis segera melayangkan tatapan ke handphone miliknya. Dengan gerakan tak kalah cepat, Edeline merampas kembali hanphone miliknya.“Dasar tidak sopan! Ini handphone milikku!” cetus Edeline penuh kekesalan setelah berhasil merampas handphone itu.Edeline langsung memeriksa handphone-nya tanpa menunda. Dia cemas jika sambungan telepon itu masih terhubung. Betapa leganya Edeline setelah memastikan sambungan telepon itu sudah terputus. Namun, rasa kesal yang bertengger kokoh di jiwa masih belum lenyap. Edeline kembali melayangkan ta
“Nyonya, aku perlu menyampaikan kebenaran agar Anda tidak salah paham.”Dahi Eva berkerut bersamaan dengan wajahnya bingung—tak memahami ucapan Edeline. “Kebenaran? Aku salah paham?”“Aku dan Dokter Elvis tidak menjalin hubungan apa pun.” Edeline sangat yakin pada keputusannya.Eva tertawa mengejek keseriusan Edeline. “Kau tidak usah takut untuk mengakui, Dokter Edeline. Sudah aku katakan di awal, jika aku tidak memiliki niat buruk padamu. Justru aku ke sini ingin meminta padamu.”“Tapi, Nyonya ... yang aku katakan—”“Aku juga sudah bertanya langsung pada Alex. Sebagai orang yang sering bersama putraku, dia mengakui hanya dirimu satu-satunya gadis yang dekat dengan putraku.”“Hubunganku dan Dokter Elvis tidak lebih dari profesional pekerjaan. Dokter Elvis adalah dokter pembimbingku,” jelas Edeline berusaha meyakinkan. Namun, penjelasannya itu belum diterima oleh Eva yang menggeleng-gelengkan kepala.“Tapi aku sangat memahami putraku satu-satunya itu. Dia tidak akan mengizinkan seorang
Pakaian pasien yang sebelumnya dipakai telah diganti dengan pakaian steril berwarna hijau yang khas. Elvis—si pasien itu langsung merebahkan tubuhnya ke atas ranjang pasien. Selimut putih yang berada di ujung kaki tak lupa ditarik untuk menutupi tubuhnya sampai sampai perut.Langit-langit kamar berplafon putih ditatap lekat oleh kedua mata. Pria itu sedang memikirkan sesuatu yang mengusik pikiran sejak kemarin malam. Sampai-sampai Elvis tidak menyadari kapan kedua orang tuanya telah berada di sana, termasuk pada dua orang perawat yang kembali memeriksa tekanan darah.Ucapan Edeline kemarin malam benar-benar mengguncang perasaan Elvis. Pria itu semakin kesulitan beristirahat ketika Edeline memutuskan menginap di sana, gadis itu tertidur pulas pada sofa panjang yang berada di kamar itu.Hampir sepanjang malam Elvis menatap Edeline yang tertidur. Sepanjang itu pula Elvis menggali-gali senyar aneh yang menggetarkan jiwa.Elvis menyukai Edeline. Dia sangat yakin pada pemikiran. Hal itu bu
“Aku tidak bisa di sini terus seperti ini!” Eva tiba-tiba beranjak dari duduknya. Dia tidak tahan selama dua belas jam menderita kegelisahan. Sampai-sampai genggaman tangan, pelukan dan kalimat penghibur dari Peter tidak bisa mengusir perasaan gelisah yang menyiksa sekujur jiwa. Jiwa Eva seperti menerima sinyal dari putra satu-satunya yang kritis di meja operasi.“Kau mau ke mana?” Peter yang telah berdiri begitu cemas menatap istrinya.“Aku mau kapel yang di bawah. Hatiku akan lebih tenang menunggu sembari berdoa di sana.” Eva menjawab dengan wajah yang tak bisa tenang.“Tunggu di sini saja. Mungkin sebentar lagi operasi akan selesai.” Peter berusaha menahan istrinya yang memucat—gelisah.Eva menggeleng cepat. “Sudah lebih dari dua belas jam kita menunggu di sini. Tapi belum ada satu pun dari mereka yang keluar. Aku akan ke sana dan berdoa.”“Sayang—”“Aku merasakan sesuatu yang membuatku sangat gelisah. Seperti ada sesuatu buruk yang terjadi sampai jantungku begitu sakit.” Eva menan
~ Satu bulan kemudian ~Snelli yang menggantung di ruangan telah Edeline pakai ke tubuhnya—menggantikan coat cokelat yang dipakai dari rumah. Stetoskop yang menggantung pada gantungan pun tak luput dari perhatian Edeline, segera dia kalungkan di lehernya. Gadis cantik itu telah bersiap melakukan tugasnya di rumah sakit megah itu. Rutinitas harian yang jauh lebih tenang dibandingkan dulu sewaktu bertugas di IGD.Edeline tak pernah lagi melewatkan waktu makannya, pun tidak lagi menjalani hari-hari melelahkan yang menguras tenaga seperti di IGD. Hal yang dilakukan Edeline hanya memantau perkembangan kondisi Elvis dan membantu Nicho—melakukan observasi dari kondisi pasien-pasiennya.Roda kehidupan memang benar-benar berputar. Edeline merasakan kedamaian hidupnya setelah melalui badai kencang yang menguras emosional diri. Sempat terbersit di dalam pikirannya, apakah semua ini nyata dan abadi? Entahlah! Edeline ingin mengabaikan pemikiran itu. Ada keegoisan di dalam diri menasihatinya untuk
Edeline benar-benar ingin kabur dan tak percaya diri untuk menunjukkan wajahnya pada siapapun. Sayangnya, dia tidak bisa melakukan hal itu di hadapan Eva yang tersenyum manis—berharap Edeline sepakat pada perkataannya.“Benarkah aku bisa memanggil Edeline ‘Mommy’?” Shopia sangat antusias.“Bisa! Shopia bisa memanggil Dokter Edeline—”“Shopia bisa memanggil seperti itu setelah Daddy yang akan memberi tahu.” Elvis terpaksa turun tangan ketika Eva bersemangat menghasut Shopia. Dia memahami situasi Edeline yang merona malu, pun tidak ingin Edeline menjadi bulan-bulanan dari ibunya.“Kapan Daddy akan memberitahuku?” Shopia begitu tak sabar.Ketika berdiri di sebelah Edeline, Elvis sudah tersenyum tampan menatap putri cantiknya itu. Jemarinya yang membelai di kepala turut menenangkan emosi Shopia yang bersungut tak sabar. “Shopia percaya pada Daddy, kan? Jadi Shopia harus bersabar! Oke?”“Aku percaya pada Daddy! Aku juga percaya pada Edeline!” sahut Shopia begitu naif.“Daddy permisi mau ke