"Begini saja. Aku punya rencana bagus untukmu. Kamu tarik semua uangnya ke rekeningmu. Kuras semua hartanya. Baru, tinggalkan dia. Sayanglah, udah sekian lama kamu sama dia, gak dapat hasil apa-apa. Gimana?" Aldo memainkan alis matanya yang tebal seraya tersemyum genit. Aku terdiam sejenak, merenung kata-kata Aldo. "Tapi, gimana caranya?" tanyaku bingung."Ya, pintar-pintar kamulah merayunya. Ngomong kek, kalau kamu mau nanam modal buka usaha sama temanmu, atau apalah itu," ujar Aldo lagi."Trus, uangnya di masukkan rekeningku? Bang Ridwan itu orangnya curigaan, Do. Dia akan selalu memeriksa isi rekeningku," sahutku lagi."Gampang, kamu masukkan saja uangnya ke rekeningku. Dengan begitu, dia tidak akan tau. Nanti kalau sudah terkumpul banyak. Kamu tinggalkan dia. Lalu kita menikah dan pergi jauh dari sini. Gimana, oke, kan remcanaky?" Aldo tersenyum puas. Aku mengangguk. "Oke, aku setuju. Tapi, janji ya, setelah semua tercapai, kita menikah," ujarku lagi dengan manja. Aldo menjawil
Enam bulan sudah berlalu, hubunganku dengan Aldo sudah semakin dekat. Walaupun dia harus bolak balik dari tempat tinggalnya ke sini hanya untuk menemuiku, hal itu tak menjadi penghalang untuk hubungan kami. Malah membuat rasa rindu semakin menggunung dan akan terasa sangat indah bila sudah bertemu. Pundi-pundi rupiah kami semakin hari juga semakin bertambah, walau belum semua harta Bang Ridwan jatuh ke tanganku, aku harus tetap bersabar untuk mendapatkannya. Kalau semua uang Bang Ridwan berhasil kumiliki, aku dan Aldo akan segera kabur jauh dari kota ini. Kami akan menikah di sana dan bersama sampai tua. Aku sering mengeluh, kalau aku sudah lelah dengan kehidupanku sekarang, kepada Aldo. Aku ingin secepatnya pergi dan menikah dengannya. Tapi, Aldo selalu berhasil membuat aku bersabar. Kalau ingin mendapatkan sesuatu yang besar, pengorbanannya juga harus besar. Begitu yang selalu Aldo katakan untuk menyemangatiku. Baru saja hape kuaktifkan, sudah ada puluhan panggilan tak terjawab
"Kok gara-gara aku sih, Bang? Mayra seharian kan sama Ibu. Ibu tuh yang gak becus jaga Mayra!" sahutku membela diri.Plak!Sebuah tamparan mendarat panas di pipi ini. Bang Ridwan membelalakkan matanya dengan tajam tepat ke arahku.Aku memegangi pipi yang kena tampar oleh Bang Ridwan. Sakit dan panas rasanya. Tak mau kalah, aku juga mengerling kepada Bang Ridwan dengan tajam."Kamu pikir ibuku itu pembantumu? Seenaknya kamu suruh-suruh jaga anak. Ibu sudah tua, beliau butuh istirahat!" seru Bang Ridwan dengan penuh emosi."Cari orang dong untuk jaga Mayra!" sahutku lagi. Bagaimanapun aku tak akan mau disalahkan. Walaupun sudah jadi seorang ibu, aku tak mau aktifitasku di luar rumah dibatasi hanya gara-gara mengurus anak. Kalau saja bukan karena Bang Ridwan, mungkin sudah kucegah dari awal agar aku tak melahirkan anak itu. Bikin susah saja. "Enak saja, kamu mau lepas tangan dan enak-enakan seharian kelayapan ke luar rumah. Oh, aku jadi curiga, jangan-jangan kamu selingkuh di luar, ya?
"Baringkan Mayra di kamarnya! Setelah itu, kamu kembali ke sini!" tukas Bang Ridwan setelah kami sampai di rumah. "Iya, Bang," sahutku pelan.Aku menggendong Mayra ke kamar dan membaringkannya di atas ranjang. Apa kira-kira yang ingin dikatakan Bang Ridwan padaku. Wajahnya tegang begitu. Apa dia sudah mengetahui kalau kemarin aku terlambat datang ke rumah sakit karena aku sedang bersama laki-laki lain? Waduh, gawat kalau sampai Bang Ridwan tau. "Mayra tidur ya! Mama ke depan dulu," ucapku pada Mayra yang memang terlihat masih sangat lemah. Mayra mengangguk dan tersenyum. Aku segera kembali ke ruang tamu untuk menemui Bang Ridwan. Dengan ragu aku melangkah menghampiri Bang Ridwan yang sedang duduk di ruang tamu, menungguku. Jantungku berdegup kencang. Perasaanku juga jadi tak enak. Aku jadi was-was. Semoga bukan apa-apa. "Ada apa, Bang? Kelihatannya serius sekali," tanyaku pada Bang Ridwan. Dia mengerling tajam ke arahku, semakin membuat darahku berdesir hebat."Duduklah di sini."
Aku menangis tersedu sembari duduk bersimpuh di kaki Bang Ridwan. Aku harus bisa merayunya. Bang Ridwan masih diam terpaku. "Ada apa, Wan? Kenapa ribut-ribut? Gita ngapain bersimpuh begitu?"Ibu baru saja keluar dari kamarnya, sepertinya dia tak mendengar apa-apa dari tadi. Tapi, keadaan akan semakin tak aman dengan kehadirannya. Ibu pasti akan menghasut Bang Ridwan agar menceraikan aku. "Ke sinilah, Bu! Ada sesuatu yang harus Ibu ketahui," ujar Bang Ridwan tegas. Aku masih pada posisiku semula, bersimpuh di kaki suamiku."Ada apa, Wan?" Ibu bertanya dengan raut wajah penasaran."Ini, Bu. Hasil tes DNA-ku dengan Mayra dan ternyata Mayra bukanlah anak kandungku," ujar Bang Ridwan lirih."Apa? May—Mayra bukan anak kandungmu? Itu artinya, Mayra juga bukan cucu kandungku? Ya, Tuhan cobaan apalagi ini? Ternyata kau sudah membohongi kami, Gita. Dasar pen*pu!" Ibu menarik rambutku sangat keras, sampai-sampai aku terjengkang ke belakang."Aduh...sakit, Bu! Lepaskan rambut Gita, Bu!" Aku mem
Aku menghentikan langkah, lalu berbalik, menatap ke arah Bang Ridwan. Jantungku berdegup kencang, menunggu kata-kata keluar dari mulut lelaki yang masih berstatus suamiku itu.Apakah dia akan mengucapkan kata-kata cerai sekarang? Jangan...jangan sampai Bang Ridwan menceraikan aku saat ini juga. Bisa runyam urusannya.Kutatap manik mata Bang Ridwan dengan sendu. Jejak basah di pipi masih ada. Sengaja aku tak menghapusnya. Tingkah Mayra yang terus menangis minta digendong oleh Bang Ridwan, menambah haru suasana hari ini. Semoga dengan begini, Bang Ridwan akan berubah pikiran dan mau menerima aku lagi sebagai istrinya.Bang Ridwan berjalan mendekatiku dan Mayra. Sejurus kemudian, dia mengambil alih Mayra dari gendonganku. Aku terdiam, begitu juga dengan Mayra, tangisnya langsung berhenti ketika sudah berada di gendongan lelaki yang selama ini dianggap ayah kandungnya. Mayra memang sudah sangat dekat dengan Bang Ridwan. Dia hanya tahu, kalau Bang Ridwanlah ayah kandungnya. Selama ini, Ba
"Git...bangun, Git! Bantuin Ibu gih, di dapur!" seru Bang Ridwan sembari menarik selimut yang menempel di tubuhku. Aku mencoba membuka mata dengan susah payah. Berat sekali rasanya. Kepalaku terasa pusing. Tiba-tiba aku ingin muntah.Aku bergegas bangkit dari tempat tidur dan berlari menuju kamar mandi. Sudah beberapa hari ini aku merasakan seperti masuk angin, tapi pagi ini terasa sangat berat sekali."Maaf, Bang. Gita gak bisa bantu Ibu. Kepala Gita pusing sekali,"ucapku lemah setelah keluar dari kamar mandi."Dari kemarin kamu muntah-muntah, jangan-jangan kamu hamil," ujar Bang Ridwan seraya menatap mata ini."Hamil?" sahutku seperti tak percaya. "Iya, mungkin kamu hamil. Coba kamu beli test pack!" ujar Bang Ridwan lagi. "Iy—iya, Bang. Nanti Gita beli test packnya," sahutku ragu-ragu."Kalau begitu, Abang berangkat kerja dulu ya. Nanti, kabari Abang apa hasil test pack nya, oke?" Aku tersenyum seraya mencium punggung tangan suamiku dengan takzim.Bang Ridwan berangkat bekerja se
"Anda ini siapa? Datang ke rumah orang, marah-marah. Kenapa mencari Gita?" tanya Bang Ridwan terlihat ikut emosi."Anda tau, istri anda yang murah*n ini telah merayu suami saya. Berani-beraninya dia main gila dengan suami saya."Perempuan paruh baya itu terlihat sangat emosi. Dia berbicara sembari menunjuk-nunjuk wajahku. Aku tak mau kalah, aku menatapnya tajam sembari membelalakkan bola mata."Fitnah, pasti dia berusaha memfitnah Gita, Bang. Jangan percaya omongannya!" ujarku berusaha membela diri. Pasti perempuan ini istri si tua bangka Bram. Gawat, jangan sampai Bang Ridwan percaya pada kata-katamya. Aku harus segera mengusirnya dari sini."Lihat video ini! Anda pasti kenal dengan perempuan yang ada di sana!" Wanita itu mengeluarkan hape dari tasnya. Lalu menunjukkan sebuah video di hape itu kepada Bang Ridwan. Aku merampas hape itu untuk melihat video apa yang sedang ditunjukkan oleh wanita itu. Aku terkejut, bagaimana wanita ini mendapatkan videoku dan Bram? Apa Bram masih menyi