[Oh iya nggak apa-apa. Santai aja.] Aku membalas setelah mengambil jarak sekitar beberapa menit.[Sip.]Dan percakapan teks berakhir begitu saja.***Sore ini, sesuai janji, Zaki datang ke rumah dengan membawa surat kuasa untuk aku tanda tangani. Surat DNA Meisha pun turut diambil sebagai bukti yang akan disertakan untuk mendaftarkan gugatan perceraian."Ya udah, gue pulang dulu, ya," ujar Zaki setelah segala keperluan dan urusan telah terselesaikan."Iya.""Soal uang penjualan rumah nanti gue kirim rinciannya, ya.""Ok."Zaki pun lantas berjalan santai menuju ke tempat di mana mobilnya diparkirkan."Zak!" Aku memanggilnya dengan sedikit lantang, membuatnya yang hampir menaiki mobilnya, menoleh padaku."Makasih."Tak menjawab, Zaki hanya tersenyum tipis sambil menganggukkan kepala. Tak berselang lama, terlihat dia merogoh saku celana dengan sedikit gugup.Terlihat dari kejauhan, pria bertubuh tinggi itu mengangkat telepon dengan senyum terkembang sempurna.Rani kah yang menelepon? Ke
"Lis, kok malah nangis?" Saat mungkin menyadari ada air mata yang menetes di pipiku, Evi buru-buru menyodorkan selembar tissue padaku.Mendengar teguran Evi, aku memilih diam."Maaf, ya. Sepertinya ucapanku tadi ... jadi bikin kamu sakit hati. Maaf." Evi memegang tanganku dengan raut wajah bersalah saat menatap wajahku. Aku menggelengkan kepala sambil tersenyum getir. Tak merasa seharusnya Evi meminta maaf seperti itu."Enggak juga, Vi. Ucapanmu ada benarnya, kok. Mungkin, aku yang terlalu cepat mengambil keputusan, tapi semuanya sudah terlambat, Vi. Proses perceraian kami sudah berjalan cukup jauh," ucapku setengah menyalahkan diri sendiri."Aku, sih, nggak ada buat hak ikut campur, Lis. Cuma, aku sarankan sebaiknya kamu shalat Istikharah dulu, deh, mendingan. Buat minta petunjuk, karena yang aku lihat, kamu seperti masih ragu-ragu sekarang, Lis. Jika sekali belum mantap, lakukan lagi sampai kamu benar-benar menemukan pilihan yang membuatmu merasa mantap." Evi memberikan saran dan n
"Demi aku, maksudnya, apa, Zak? Aku nggak ngerti." Aku bertanya dengan ekspresi yang pasti menunjukkan raut wajah bingung di depan Zaki.Ucapannya barusan memang membuat otakku blank dan tak mengerti apa maksudnya. Dan gaya bicaranya yang mendadak jadi aku-kamu pun terdengar aneh di telinga.Kalau dia bilang gara-gara aku dia jadi putus dengan Rani, rasanya terlalu berlebihan. Bagaimana tidak, bukankah hubungan aku dan Zaki sudah renggang belakangan ini?Tidak! Ini pasti cuma alasan dia saja karena kesal apa yang sempat ditakutkannya hari itu terjadi."Nggak ada. Nggak ada. Pokoknya gue gak mau tahu, kalau sampai batal cerai dengan Hamid, elu bakal gue denda karena udah bikin gue buang-buang waktu nolongin elu selama ini."Aku berdecak lirih. Merasa kesal padanya yang ternyata menolongku bukan tanpa pamrih.Perhitungan!"Ingat! Kalau sampai lu balikan sama Hamid, elu harus bayar denda karena bikin gue buang-buang waktu gue yang berharga! Paham!" Zaki menunjuk wajahku saat memperingatk
"Mungkin, keputusan cerai dari Mas Hamid memang pilihan terbaik, Vi." Sesampainya di rumah kontrakan, aku terisak saat menyampaikan hal yang sebelumnya membuatku ingin menarik keputusan.Evi menatapku sendu."Apa kamu yakin Mas Hamid benar-benar balikan sama Nova? Siapa tahu Nova dan anaknya cuma sedang main, Lis." Evi terdengar masih ingin berprasangka baik."Apa kamu nggak lihat bagaimana bahagianya mereka tadi?" Tanpa terasa intonasiku naik setengah oktaf saat mengolok Evi yang seolah ingin selalu membela Mas Hamid."Ya sudah. Ya sudah, terserah kamu saja, Lis. Apa pun keputusan kamu, aku dukung.""Memang seharusnya begitu."***Aku tersentak saat menyadari Zaki menelepon malam harinya."Gimana, jadi cerai atau mau gue denda?" tanyanya terdengar ketus."Cerai," jawabku tanpa keraguan barang sedikit pun."Lu serius?"Loh, kenapa dia malah kayak aneh begini tanggapannya?"Tentu saja.""Oke siap. Gue tunggu sampai surat cerai lu turun.""Iya ta—."Belum sempat aku membalas ucapannya,
"Oh … jadi dengan cara seperti ini aku harus berucap terima kasih padamu?" tanyaku dengan batin yang kian terasa pilu saat menatap Zaki yang terduduk kaku di sampingku, pasca sang ibu melontarkan hinaan pedas itu.Zaki menatapku dengan tatapan bersalah. Pancaran matanya seperti menyiratkan sebuah penyesalan yang aku tak tahu apa sebabnya."Lis." Lirih suara Zaki saat menyebut namaku yang kini seperti sedang ditelanjangi di hadapan orang tuanya. Terutama Bu Naimah yang jelas-jelas menganggap gelar janda seperti sebuah kenistaan yang tak termaafkan.Aku tak mengerti dengan jalan pikiran Zaki yang tiba-tiba ingin memperkenalkan aku sebagai calon istri di hadapan orang tuanya, bahkan di hari pertama aku menyandang status janda.Apa dia pikir status baruku ini sebuah lelucon, sehingga dia sangat antusias ingin mempermalukan aku hari ini juga?"Terima kasih karena sudah membantu mengurus perceraianku selama ini, dan terima kasih juga atas hinaan yang diberikan setelah gelar janda ini kudapa
"Aku mau kau menjadi istriku, Alisa."Malam ini, enam kata itu terus terngiang di telinga, membuat kepalaku pusing. Dan rasanya bakal ampuh membuat tidurku terganggu malam ini.Tidak, cukup sudah. Ini tidak bisa dibiarkan. Aku harus mengakhiri semua kekonyolan ini.Aku yang selama ini diam-diam mengantar surat lamaran kerja ke beberapa PT, tersenyum senang saat melihat email masuk ke ponselku pagi ini."Interview? Alhamdulillah."Bagai mendapat kado di hari spesial, aku berjingkrak gembira saat akhirnya bakal bisa merealisasikan rencanaku dalam waktu dekat. Membuka lembaran hidup baru dan menjauh dari mereka-mereka yang pernah begitu dalam menorehkan luka di hati, adalah pilihan terbaik. Ya pilihan terbaik.Hari ini, aku memutuskan izin cuti agar bisa melakukan interview di salah satu PT di daerah Cikarang Selatan.Selama beberapa hari ini, sambil menunggu hasil interview dan tes, aku menjalani kerjaku seperti biasanya. Bahkan desas-desus Zaki tak masuk kantor karena sakit pun tak men
Aku tertawa sumbang saat merasa Zaki tengah membuat lelucon tak bermutu sore ini. Ketika mengatakan tengah memperjuangkan cintanya. Cinta yang seperti apa? Cinta pada siapa?"Apa kamu punya incaran baru setelah putus dengan Rani hari itu? Siapa orangnya? Apa dia tinggal di sekitar sini?" tanyaku padanya yang sedari tadi tak melepas pandangan dariku."Ya, namanya Alisa Nurhafiza," balasnya pelan tapi terdengar lugas saat menyebut namaku.Kali ini aku tertawa lebih keras. Merasa dia tengah membuat lelucon paling jenaka di abad ini.Bagaimana tidak, bukankah sebelum ini dia mengatakan tak menyukai cewek Barbar dan Lola sepertiku?Kenapa sekarang dia seperti ingin menjilat ludahnya sendiri?Tidak itu saja! Akan terasa sangat aneh saat seorang direktur muda sepertinya, menyukai mantan office girl yang juga bergelar sebagai seorang janda.Benar-benar tak laku, kah dia ini? Ah, rasanya tidak mungkin. Secara, dia ini bos kan? Lantas, apa maksudnya dia mengutarakan cinta pada seorang janda sep
Selama dalam perjalanan menuju Solo, aku sama sekali tak berminat melakukan percakapan apa pun dengan Zaki yang tampak fokus menyetir.Bukan aku tak ingin berterima kasih atau tak tahu diri, cuma keinginan untuk mengobrol dan berbasa-basi memang tak ada.Hanya sesekali aku melirik ponsel sambil memantau keadaan Bapak dari pesan WA yang dikirimkan adikku.Ketika sudah sampai ke perbatasan Jogja sebelah timur, aku dibuat risau saat Dini berhenti memberikan kabar tentang kondisi Bapak.Apa yang terjadi pada Bapak? Kenapa Dini tak mengabari lagi?Hampir pukul 23.00 malam, saat sampai di kampung halaman, tepatnya di depan pelataran rumahku, aku dibuat lemas seketika, saat di depan pekarangan rumahku sudah terpasang bendera merah—bendera lelayu."Mbak, Bapak, Mbak." Dini yang masih berada di rumah sakit, menelepon sambil menangis.Ya Allah."Innalilahi wa innailaihi raji'un."Aku terus menyalahkan diriku sendiri saat merasa kondisi Bapak makin bertambah parah setelah mengetahui kabar percer