"Oh … jadi dengan cara seperti ini aku harus berucap terima kasih padamu?" tanyaku dengan batin yang kian terasa pilu saat menatap Zaki yang terduduk kaku di sampingku, pasca sang ibu melontarkan hinaan pedas itu.Zaki menatapku dengan tatapan bersalah. Pancaran matanya seperti menyiratkan sebuah penyesalan yang aku tak tahu apa sebabnya."Lis." Lirih suara Zaki saat menyebut namaku yang kini seperti sedang ditelanjangi di hadapan orang tuanya. Terutama Bu Naimah yang jelas-jelas menganggap gelar janda seperti sebuah kenistaan yang tak termaafkan.Aku tak mengerti dengan jalan pikiran Zaki yang tiba-tiba ingin memperkenalkan aku sebagai calon istri di hadapan orang tuanya, bahkan di hari pertama aku menyandang status janda.Apa dia pikir status baruku ini sebuah lelucon, sehingga dia sangat antusias ingin mempermalukan aku hari ini juga?"Terima kasih karena sudah membantu mengurus perceraianku selama ini, dan terima kasih juga atas hinaan yang diberikan setelah gelar janda ini kudapa
"Aku mau kau menjadi istriku, Alisa."Malam ini, enam kata itu terus terngiang di telinga, membuat kepalaku pusing. Dan rasanya bakal ampuh membuat tidurku terganggu malam ini.Tidak, cukup sudah. Ini tidak bisa dibiarkan. Aku harus mengakhiri semua kekonyolan ini.Aku yang selama ini diam-diam mengantar surat lamaran kerja ke beberapa PT, tersenyum senang saat melihat email masuk ke ponselku pagi ini."Interview? Alhamdulillah."Bagai mendapat kado di hari spesial, aku berjingkrak gembira saat akhirnya bakal bisa merealisasikan rencanaku dalam waktu dekat. Membuka lembaran hidup baru dan menjauh dari mereka-mereka yang pernah begitu dalam menorehkan luka di hati, adalah pilihan terbaik. Ya pilihan terbaik.Hari ini, aku memutuskan izin cuti agar bisa melakukan interview di salah satu PT di daerah Cikarang Selatan.Selama beberapa hari ini, sambil menunggu hasil interview dan tes, aku menjalani kerjaku seperti biasanya. Bahkan desas-desus Zaki tak masuk kantor karena sakit pun tak men
Aku tertawa sumbang saat merasa Zaki tengah membuat lelucon tak bermutu sore ini. Ketika mengatakan tengah memperjuangkan cintanya. Cinta yang seperti apa? Cinta pada siapa?"Apa kamu punya incaran baru setelah putus dengan Rani hari itu? Siapa orangnya? Apa dia tinggal di sekitar sini?" tanyaku padanya yang sedari tadi tak melepas pandangan dariku."Ya, namanya Alisa Nurhafiza," balasnya pelan tapi terdengar lugas saat menyebut namaku.Kali ini aku tertawa lebih keras. Merasa dia tengah membuat lelucon paling jenaka di abad ini.Bagaimana tidak, bukankah sebelum ini dia mengatakan tak menyukai cewek Barbar dan Lola sepertiku?Kenapa sekarang dia seperti ingin menjilat ludahnya sendiri?Tidak itu saja! Akan terasa sangat aneh saat seorang direktur muda sepertinya, menyukai mantan office girl yang juga bergelar sebagai seorang janda.Benar-benar tak laku, kah dia ini? Ah, rasanya tidak mungkin. Secara, dia ini bos kan? Lantas, apa maksudnya dia mengutarakan cinta pada seorang janda sep
Selama dalam perjalanan menuju Solo, aku sama sekali tak berminat melakukan percakapan apa pun dengan Zaki yang tampak fokus menyetir.Bukan aku tak ingin berterima kasih atau tak tahu diri, cuma keinginan untuk mengobrol dan berbasa-basi memang tak ada.Hanya sesekali aku melirik ponsel sambil memantau keadaan Bapak dari pesan WA yang dikirimkan adikku.Ketika sudah sampai ke perbatasan Jogja sebelah timur, aku dibuat risau saat Dini berhenti memberikan kabar tentang kondisi Bapak.Apa yang terjadi pada Bapak? Kenapa Dini tak mengabari lagi?Hampir pukul 23.00 malam, saat sampai di kampung halaman, tepatnya di depan pelataran rumahku, aku dibuat lemas seketika, saat di depan pekarangan rumahku sudah terpasang bendera merah—bendera lelayu."Mbak, Bapak, Mbak." Dini yang masih berada di rumah sakit, menelepon sambil menangis.Ya Allah."Innalilahi wa innailaihi raji'un."Aku terus menyalahkan diriku sendiri saat merasa kondisi Bapak makin bertambah parah setelah mengetahui kabar percer
Terlihat oleh sepasang mataku, Bu Naimah bergeming dengan mata yang menatap lurus ke depan. Dalam tangkapanku, wanita paruh baya itu sama sekali tak tersentuh dengan kesungguhan sang anak yang bertekad untuk menjadikan diriku pasangan hidupnya. Terbukti, dia hanya bersedekap dengan raut wajah tak peduli. Membuat nyali dalam diriku jadi ciut kembali.Apakah keputusanku menerima ungkapan cinta dari lelaki yang belum pernah menikah ini adalah sebuah kesalahan besar?Ingin rasanya aku bangkit dan menghentikan permohonan Zaki yang sepertinya sulit membuahkan hasil. Namun, kutahan. Takut putra sulung Pak Yasman justru berbalik marah padaku dan kecewa karena aku menyerah begitu saja. Tak mau memperjuangkan cinta kami.Hah? Cinta? Apa kau yakin seratus persen kalau hatimu telah tertambat pada seorang Zaki, Alisa?Aku sendiri belum bisa memastikan sebenarnya. Apakah ini cinta atau … sekedar rasa nyaman karena diperhatikan? Entahlah, aku tak mengerti.Untuk beberapa lama, Zaki tetap berada di p
"Cukup, Ma. Ingat, Lisa sudah resmi jadi istriku sekarang," ucap Zaki penuh ketegasan. Membuat Bu Naimah bungkam dalam seketika. Namun, tatapan sengitnya tak pernah beranjak dariku."Puas kamu? Puas kamu karena sudah berhasil memanipulasi otak anak saya, ha?" bentak Bu Naimah dengan suara lantang.Memanipulasi otak Zaki, Bu Naimah bilang? Bukankah tuduhan itu terlalu keji?"Berhenti, Ma. Cukup!"Melihat istri dan anaknya masih saja terjebak dalam suasana tegang, bahkan di hari pertama aku bergelar sebagai menantu, membuat Pak Yasman menarik napas panjang dan geleng kepala berulang kali."Sudah, Ma. Sudah." Terlihat Pak Yasman kembali berusaha mendinginkan hati sang istri."Ck! Ya sudah sana kalau mau pergi, ya, pergi aja, ngapain lama-lama di sini? Mau berbangga diri karena telah berhasil memperalat anakku untuk kepentinganmu? Aku tahu, wanita miskin sepertimu cuma mengincar anakku, iya, kan? Dasar mata duitan!" sambar Bu Naimah ketus saat menatapku.Deg!Ya ampun, selain memanipulasi
Usai menyalami aku dan Zaki, terlihat Mas Hamid menyalami ibuku dengan takzim. Sebelum turun, kulihat mantan suamiku mengusap sudut matanya dengan punggung tangan.Ada apa? Apakah dia menangis?Ya Allah …. Hatiku tergores lagi."Selamat ya, Mbak. Semoga bahagia selalu," ucap Lina yang terakhir menyalamiku. Aku menatap wajah mantan adik iparku dengan seksama, lalu memeluknya erat.Dia … telah banyak berubah sekarang. Terlihat sedikit lebih dewasa dan penuh sopan santun."Maafin aku, ya, Lin," ucapku lirih. Lina mengangguk sambil tersenyum. Seketika aku ingin memaki diriku sendiri yang dulu pernah begitu menyakitinya.Bukankah kakinya bahkan pernah ketumpahan kuah sup karena ulahku?Mereka bertiga lantas meninggalkan kami untuk mengambil makanan. Aku menunduk. Tak sanggup melihat orang yang pernah menjadi bagian dari hidupku, kini hadir untuk merestui aku yang akan memulai hidup baru dengan orang lain. Orang yang bahkan lebih dulu dekat dengan mereka daripada aku.Aku mengangkat wajah
"Mungkin tadi Mama sama papanya Zaki pikir Ibu sama Dini pasti bakal ke sana dulu. Iya, kan, Zak? Ehm, maksudku … Mas Zaki."Ah, kaku sekali aku memanggilnya Mas. Sangat berbeda dengan saat memanggil mantan suamiku terdahulu.Zaki mengangguk, membuat Ibu yakin. "Ya sudah, kalau gitu sampaikan maaf dan salam Ibu pada kedua mertuamu, ya, Lis," ucap Ibu saat akhirnya seperti percaya dengan alasan-alasan masuk akal yang kami buat."Mari, Bu, Zaki bawakan tasnya ke depan," ujar Zaki sembari meraih tas dari tangan ibu. Kami berdua pun mengantar Ibu dan Dini sampai ke stasiun, karena untungnya, Zaki bisa mendapatkan tiket mendadak untuk ibu dan adikku.Ibu dan Dini memang menolak saat Zaki berinsiatif untuk membelikan tiket pesawat. Karena kata Dini, dia ingin sekali menikmati perjalanan menggunakan kereta api. Maklum, saat bertolak ke sini, Zaki memang memesankan tiket pesawat terbang untuk semua kerabatku yang dilibatkan di hari pernikahan kemarin.Selepas mengantar Ibu dan Dini, aku dan