[Elu harus datang ke rumah gue malam ini juga. Setelah shalat Isya, ya, inget. Nggak boleh telat.]Apa? Ke rumah Zaki? Malam-malam? Ngapain?Kok perasaanku mendadak tidak enak begini, ya?[Ngapain?] tanyaku diliputi rasa penasaran yang teramat sangat. Bagaimana tidak, bukankah permintaannya sedikit aneh? Ah tidak. Maksudku … sangat aneh.Lucu saja kalau aku harus ke rumah Pak Bos malam-malam. Apa dia ingin memintaku membuatkannya kopi seperti saat di kantor siang tadi? Kalau itu alasannya, kok, kayak kurang kerjaan banget.Aku terdiam untuk beberapa lama saat mengira-ngira apa tujuan Zaki memintaku datang ke rumahnya di malam hari.Aku yang sedang melamun sembari terus menduga-duga, dibuat tersentak saat menyadari Zaki mengirim pesan lagi ke ponselku.[Mau 20 juta nggak? Kalau ke sini lewat dari jam 8 malam, gue batal minjemin. Oh, ya, datang harus cantik. Kalau jelek juga batal.]Kubaca baik-baik pesan darinya. Takut mataku sudah terlalu ngantuk atau Zaki typo, kan bisa berabe.Terny
"Ya … soal itu 'kan masih jauh, Ma. Lagian biar aja, sih, si Lisa fokus kuliah dulu. Mama sendiri juga paham, 'kan kalau aku masih pengen ngejar karir?" Terdengar Zaki masih tertarik mendebat sang ibu.Bodo amat lah. Dia sendiri yang cari perkara dengan mengaku-ngaku aku sebagai pacarnya. Tanggung sendiri akibatnya! Aku mah ogah pusing.Kunikmati saja makanan-makanan enak yang ada, daripada mubazir. Bukankah ongkos ojek online ke sini juga lumayan mahal tadi? Jadi wajar saja kalau aku menikmati santapan mewah ini bukan?Mendengar jawaban sang anak, terdengar Bu Naimah menarik napas dengan berat. Seperti ada beban yang menumpuk di dadanya."Tapi, umurmu sudah berapa, Zak? Teman-temanmu yang lain, Mama perhatikan minimal sudah pada punya anak satu. Kalau yang perempuan udah banyak yang lebih dari dua malah," ujar Bu Naimah dengan raut wajah kecewa.Zaki mendesah singkat."Ma, tapi soal nikah sama punya anak, 'kan bukan ajang perlombaan. Kita nggak bisa nge-judge kalau yang lambat nikah
"Enak aja. Kenapa juga aku yang harus dibuat tumbal? Nggak mau aku!" Aku bersungut-sungut kesal padanya yang dengan sesuka hati ingin mengorbankan nama baik seorang Lisa di hadapan orang tuanya."O ... jadi ceritnya elu beneran mau, nih, nikah sama gue? Ngarep amat lu?" Zaki terkekeh geli ketika memperolok diriku yang masih menampakan raut wajah kesal."Ya …. bukan gitu juga.""Terus, maksudnya gimana?" tantang Zaki dengan ekspresi wajah yang terlihat begitu santai tapi menjengkelkan."Gue yang harus ngaku kalau gue yang brengsek? Ogah lah. Hamid aja yang jelas-jelas serakah aja nggak mau ngaku dia."Aku terkesiap saat mendengar nama itu disebut secara tiba-tiba."Ish! Ngapain sampai bahas ke situ, sih?" Aku tak memungkiri, mendengar nama Mas Hamid memang membuat aku jadi bad mood dalam seketika."Suka-suka gue, lah," balasnya dengan ekspresi tak kalah menyebalkan.Huh! Brengsek emang Zaki. Sudahlah, mending aku diam. Capek buang-buang energi buat debat sama dia. Mending energiku aku s
"Eh elu, tuh, ya benar-benar kurang ajar! Gak ada akhlak lu, Mid! Udah nyakitin hati, masih juga nyakitin fisik. Kalau sampe Lisa kenapa-kenapa, lihat aja gue bakal bantu Lisa bikin laporan ke kepolisian. Dengan tuduhan kekerasan dalam rumah tangga. Dengar itu, Hamid!"Dari balik dinding kamar, dapat kudengar suara orang berteriak di seberang sana. Aku berusaha mengangkat kepala, tapi ternyata sakitnya luar biasa. Setelahnya kuusap bagian yang terasa nyeri dan ternyata …."Aw …." Aku meringis, menahan rasa sakit yang mendera.Pantas saja sakit begini. Benjol cukup besar rupanya.Aku mengingat-ingat lagi bagaimana kronologinya sampai kepalaku benjol begini. Ya, aku ingat, kepalaku terkena lemparan kursi saat Mas Hamid yang mungkin merasa direndahkan, mengamuk pada Zaki.Aku menarik napas dalam-dalam.Alhamdulillah, aku masih bisa mengingatnya, berarti aku tak amnesia. Terima kasih ya Allah. Aku masih pantas bersyukur. Meski agak sakit tapi tak sampai lupa ingatan. Kasihan orang tuaku k
Sejenak aku terjebak dalam kebimbangan dengan apa yang mungkin sedang dibahas Zaki bersama ibunya. Benarkah aku memang harus kembali ke rumah Zaki?Aku menarik napas panjang saat merasa tak yakin dengan sandiwara yang harus kulakukan selanjutnya. Tapi …maksa tinggal seorang diri di sini pun aku punya banyak ketakutan. Salah satunya aku masih was-was jika Mas Hamid kembali lagi malam ini."Lis, lu ikut gue balik ke rumah aja, ya, malam ini," ucap Zaki sesaat setelah dia mengakhiri panggilan dengan sang mama."Tapi uang Evi? Gimana? Aku belum sempat transfer, nih," ujarku ketika mengingat pasal sahabat baikku itu.Zaki berdecak lirih."Gampang .... Ayo!" Tanpa kompromi, pria bertubuh tinggi ini langsung menggendong dan membawaku menuju mobil. Sengaja dia menempatkanku di jok belakang supaya bisa berbaring. "Kunci rumah lu, di dalam tas yang tadi, kan, ya?" tanyanya buru-buru."Iya," balasku singkat.Terlihat Zaki bergegas kembali masuk ke dalam rumah untuk mengambil tas sekaligus meng
"Jawab, Alisa! Kenapa diam saja, ha?!" Masih dengan raut wajah tak bersahabat, Bu Naimah mendesak agar aku segera memberikan jawaban.Aku yang merasakan seluruh tubuhku terasa membeku, seperti tak punya kuasa bahkan untuk menjawab sepatah dua patah pertanyaan darinya."Ada apa ini?" Perhatian Bu Naimah dariku teralihkan saat menyadari suara seorang lelaki memecah suasana tegang di ruang tamu ini.Zaki?Kenapa dia balik lagi? Ah, tapi baguslah. Biar dia saja yang menjawab pertanyaan ibunya. Mau dia jujur atau pun melanjutkan sandiwaranya aku tak peduli.Di sini aku hanya menjalankan tugas sesuai arahan sebagai syarat dapat pinjaman uang tadi malam."Ada apa, Ma?" tanya Zaki sambil menarik langkah mendekati sang ibu."Kamu tahu, Zaki. Dia ini sudah menikah. Kamu jangan mau dibohongi, Zak." Masih dengan raut wajah yang terlihat tegang, Bu Naimah melirik padaku dengan tatapan tak suka. Jelas sekali wanita itu kesal karena merasa dibohongi. Mungkin, sama kesalnya dengan saat aku mengetahui
"Ya … kalau bisa juga aku pengen kali cerai sama dia hari ini juga. Cuma kan nggak semudah itu, Zak. Lagian gimana aku ngurusnya coba? Suruh pindah buru-buru. Cerai buru-buru. Gak tau apa kepala sama pundak aku masih sakit." Aku mengomel saat merasa nyeri di bahu dan kepala tiba-tiba datang mengganggu. Zaki diam sebentar. Sesekali dia melirik padaku yang terkadang meringis—menahan sakit."Mau ke rumah sakit?" tanyanya dengan raut wajah … khawatir?"Nggak usah. Cuma sakit dikit, kok," tolakku halus."Hm oke."Suasana hening menjeda sampai Zaki menyampaikan sebuah ide."Kalau lu mau, gue bisa bantu urusan perceraian lu biar lebih praktis. Lu bayar pengacara aja. Tapi biayanya, potong dari harga rumah, gimana?" ujar Zaki tiba-tiba. Membuatku sontak tersenyum semringah. Benarkah dia mau membantuku lagi? "Serius? Kamu bisa bantu aku mengurus perceraian aku sama Mas Hamid?" tanyaku ragu."Ya …. Yang penting, yang mau dibantu diuruskan, nggak banyak sandiwara. Takutnya, ntar pas mediasi,
Aku merasa seperti kembali ke zaman di mana aku pertama kali merantau ke kota ini. Hidup seorang diri menghuni sebuah rumah kontrakan. Ya, Zaki membuatku merasa seperti terdampar di daerah asing sekarang."Permisi ...."Suara seorang wanita mengagetkanku. Gegas aku berjalan menuju pintu untuk melihat siapa yang datang."Permisi. Mbak. Apa betul, Mbak yang namanya Lisa?" tanya seorang wanita paruh baya bermata agak sipit, begitu aku membuka pintu."Iya, betul, Bu," jawabku pelan. "Oh, iya. Perkenalkan saya Bu Ana. Pemilik rumah kontrakan ini. Rumah saya ada di ujung gang ini, cat warna rumah warna biru muda," terang Bu Ana dengan tangan menunjuk ke arah kiri."Oh, iya, Bu. Silakan masuk."Aku membuka pintu lebih lebar. Tapi Bu Ana menolak untuk masuk. "Saya ke sini, cuma mau mengantarkan ini. Jadi, mas-nya yang kemarin cuma bayar sewa rumah. Untuk air dan listrik, bayar sendiri, ya, Mbak. Ini nomor pelanggan PDAM-nya, kalau nomor token listrik, Mbak bisa lihat pada meteran, ya." Bu A