Aku seperti dibawa kembali ke masa di mana pertama kali melihat Mas Hamid dan baju bayi itu. Menatap ke dalam sambil bersembunyi di balik pagar ini. Persis seperti seorang detektif.Sambil mengamati dari kejauhan, kutarik kedua tas ke dekat kaki. Sungguh, aku tak ingin mereka menangkap keberadaanku sebelum aku sendiri yang masuk ke sana.Wow! Terlihat ayunan kain yang sudah dihias sedemikian rupa di seberang sana. Tak lama kemudian tampak Mas Hamid muncul dari dalam, dengan senyum sumringah sambil menggendong anak kecil yang sudah bisa kupastikan adalah Meisha. Di belakangnya, Nova berjalan mengiringi dengan senyum yang tampak merekah indah. Senyum manis yang mampu membuatku harus menahan napas untuk beberapa saat.Bukankah mereka tampak seperti pasangan keluarga kecil yang bahagia?Lalu, untuk apa kau menikahiku, Mas?"Astaghfirullah." Lirih aku beristighfar saat tanganku terulur dan mengusap dada sendiri.Sadar diri, Lisa! Sadar diri!Ingat baik-baik posisimu di sini, dan ingat apa
Sambil menyodorkan tangan pada kedua orang tua Nova, senyumku terus terukir indah meski hati sebenarnya ingin sekali memaki dan memperolok mereka yang telah berbuat dzalim padaku."Oh … perkenalkan , saya Bu Lena, ibunya Nova, dan ini suami saya, Pak Danu, ayahnya Nova." Wanita paruh baya bernama Bu Lena itu menyambut uluran tanganku dengan senyum ramah yang terus menghiasi bibirnya.Aku hanya mengangguk pada Pak Danu sebagai perkenalan. "Wah, Mid. Sepertinya sepupumu ini orang jauh, ya. Tasnya banyak banget. Apa mau lama-lama di sini?" tanya Bu Lena sambil melirik kembali tas di tanganku setelah menatap suamiku yang wajahnya kini semerah keriting rebus.Aku tak bisa memastikan bagaimana jantungnya berdegup kencang sekarang. Tapi mungkin saja … setara dengan kecepatan motor Valentino Rossi yang bisa melaju dengan kecepatan 300km/jam."Eeh, i-iya, Bu," sahut Mas Hamid tergeragap. "Nggak jauh-jauh amat sih, Bu sebenarnya. Dekat aja, kok. Dan satu lagi, ini … bukan tas saya. Ini baju-b
"Lin … kamu kok ceroboh, sih. Tumpah 'kan jadinya," ucapku buru-buru berlari mengambil kain lap dan membersihkan tumpahan sup yang berceceran di lantai. Teriakan Lina yang cukup nyaring rupanya mengundang Mas Hamid dan Ibunya berlari ke dapur. Tak lama kemudian kedua orang tua Nova pun turut menyusul. Ingin memastikan keadaan rasanya."Kenapa, Lin?!" pekik mertuaku histeris. Melihat anak kesayangannya terus merintih menahan sakit, jelas membuatnya terkejut. Sementara Mas Hamid, langsung gerak cepat untuk balik badan saat melihat keadaan sang adik yang menyedihkan. Tak lama kemudian, ia kembali ke dapur dengan membawa sebuah kotak tisu."Lina ceroboh banget, Bu. Bawa kuah panas begini, jalannya buru-buru. Makanya kepeleset," sahutku sambil merampas sekotak tisu dari tangan Mas Hamid. Orang-orang yang berada di dapur—yang kukira adalah tukang masak untuk acara pagi ini, ikut-ikutan meringis saat menatap Lina yang terus meringis kepanasan setelah ketumpahan kuah sup."Duduk dulu, Lin." M
"Lisa! Ya ampun cantiknya!" Ibu mertua, Mas Hamid, Nova, juga ayahnya serempak menoleh mendengar ibunya Nova memuji dan menyebut namaku. Lagi-lagi, raut wajah mereka tampak berubah saat menatapku. Bahkan, ibu mertuaku sampai membuang muka.Tak ikhlas kah dia baju anaknya aku pakai? "Lisa disuruh nunggu tamu aja di depan sama orang dapur. Katanya mereka sudah dibayar, kan? Tapi, Lisa kok pengen dekat sama dedeknya, ya? Boleh kan, ya, Kak Nova? Karena mungkin … habis ini, bakal lama baru ketemu sama Dedek lagi. Atau mungkin … bisa juga enggak ketemu lagi," ucapku dingin sambil berjalan mendekat pada ayunan, di mana Meisha sedang tertidur pulas di dalamnya. "Eh, i-iya. Bo-boleh ko, Lis!" jawab Nova tergagap. Aku tersenyum senang, langsung duduk di dekat ayunan bayi gembul ini. Mas Hamid dengan sukarela bergeser memberi celah. Sementara kedua orang tua Nova terlihat tak begitu peduli. "Aku mau liat Lina sebentar." Ibu mertuaku bergerak, seperti ingin beranjak meninggalkan tempat ini.
"Bu ...!" Nova terpekik sambil menangis mendekati ibunya yang nyaris pingsan. Syukurlah dia masih sadar biarpun sedikit. Kalau pingsan dan nggak bangun-bangun entar gimana? Siapa yang disalahkan? Aku menatap tajam ke arah Zaki yang mendadak bengong. Tak menyangka kedatangannya menuai bakal membuat keadaan jadi seheboh ini."Zak! Salah Gue apa, sih sama lu? Kenapa Elu jadi ngaco gini, ha?!" Suara Mas Hamid akhirnya terdengar meninggi juga. Zaki tak menjawab. Sementara Bu Ida terlihat sibuk memberi minum besannya yang berada dalam pangkuan Pak Danu. Di lain sisi, Nova gerak cepat mengangkat Meisha dari ayunan. Bayi gembul yang awalnya menjadi pencetus atas segala perkara, menangis karena kaget mendengar pekikan ibunya sendiri. Saat kondisi Bu Lena sudah agak mendingan, Pak Danu lantas menatap tajam padaku. Seperti seekor singa yang siap menerkam mangsa.Ternyata mengerikan juga Pak tua botak ini."Kenapa kamu bersandiwara?" tanyanya dengan nada dan tatapan yang sama tajam saat menatap
"Oh ... jadi elu pura-pura jadi sepupu Hamid di depan orang tuanya Nova, buat ngulur waktu cerai sama Hamid, supaya dapat harta gono-gini, gitu? Kalo gue, sih, mau cerai ya cerai aja. Ngapain ngarep-ngarep harta lagi, harta gak seberapa juga," sambar Zaki kemudian. Terdengar meninggi dan sangat menyombongkan diri."Iya, tahu! Situ kaya mau apa aja gampang, tinggal gesek, beres! Beda lah sama aku. Nabung berbulan-bulan, bertahun-tahun malah, eh taunya dibegoin sama suami brengsek!" gerutuku tanpa sadar."Ya bukan begitu juga sih, maksud gue. Maksud gue tuh, ya, kalo mau cerai, ya cerai aja gak usah mikir harta. Cari kerja aja lagi," sahut Zaki ringan seperti sedang menggenggam sejumput garam."Lah, memangnya cari kerja bisa langsung dapat? Gak liat apa sekarang PHK dimana-mana? Di mana aku dapat duit buat gugat cerai coba? Belum lagi utang sama Evi," sungutku sambil mengurut dahi. Pertanda sedang berpikir keras sambil mencari solusi."Banyak utang? Wah ... wah ... wah! Kang utang terny
PoV HamidAku dan Nova sudah saling mengenal sejak lebih dari sepuluh tahun yang lalu. Dari awal, entah karena alasan apa, Bu Lena tak pernah merestui hubungan kami.Mungkin karena faktor ekonomi, rasanya itu yang menjadi alasan.Aku dan Nova—yang ikut pindah ke Bandung mengikuti orang tuanya saat berusia 16 tahun, tetap terhubung melalui telepon dan SMS kala itu.Boleh dikata, hubungan kami tetap berjalan meski melalui hubungan jarak jauh. Bahkan, ketika Nova kuliah di Jogja selepas SMA pun, dia masih aktif menghubungiku. Dan akhirnya, saat Nova memiliki kesempatan bekerja di kawasan yang jaraknya tak begitu jauh dariku lebih dari setahun yang lalu, gadis itu meminta aku untuk menikahinya. Namun, malang, restu tak kudapatkan juga meski kami sama-sama telah dewasa.Bahkan, aku masih ingat betul kata-kata Bu Lena hari itu, saat keluargaku nekat melamar Nova ke Bandung."Cincin emas takkan tampan bermata kaca."Ya, katanya, Gadis yang elok dan hartawan takkan sejodoh dengan orang yang m
PoV Hamid "Bukan itu maksud saya, Bu Lena. Nova bahkan terlalu baik. Dia bukan hanya menurut pada Hamid, tapi juga pada saya. Demi Tuhan, Nova pun tak ada cacatnya sebagai istri dan menantu. Tapi tolonglah mengerti dengan keadaan Hamid dan posisi Lisa. Dia tak tahu apa-apa. Tolonglah, Bu, kita sama-sama perempuan," ucap Ibu lalu menangis tersedu seraya mengusap dadanya berulang kali. Aku tahu Ibu pun sedang terjebak dalam situasi yang membuatnya dilema. Sama seperti diriku."Baik. Kami akan bicara pada Nova sebentar," sambar Pak Danu sembari menegakkan badan. Bu Lena ikut berdiri dan mengikuti langkah Pak Danu masuk ke kamar anaknya.Biarlah mereka berunding tentang jalan terbaik. Tentang apa pun keputusan yang akan mereka ambil, aku siap menerima konsekuensinya."Bu, aku mau menyusul Lisa," ucapku saat menyadari Ibu sudah mulai tenang. "Nanti dulu, Mid. Kita tunggu dulu apa yang akan mertuamu lakukan setelah bicara dengan Nova."Baiklah!Kami sama-sama diam. Sejurus kemudian, panda