PoV HamidAku dan Nova sudah saling mengenal sejak lebih dari sepuluh tahun yang lalu. Dari awal, entah karena alasan apa, Bu Lena tak pernah merestui hubungan kami.Mungkin karena faktor ekonomi, rasanya itu yang menjadi alasan.Aku dan Nova—yang ikut pindah ke Bandung mengikuti orang tuanya saat berusia 16 tahun, tetap terhubung melalui telepon dan SMS kala itu.Boleh dikata, hubungan kami tetap berjalan meski melalui hubungan jarak jauh. Bahkan, ketika Nova kuliah di Jogja selepas SMA pun, dia masih aktif menghubungiku. Dan akhirnya, saat Nova memiliki kesempatan bekerja di kawasan yang jaraknya tak begitu jauh dariku lebih dari setahun yang lalu, gadis itu meminta aku untuk menikahinya. Namun, malang, restu tak kudapatkan juga meski kami sama-sama telah dewasa.Bahkan, aku masih ingat betul kata-kata Bu Lena hari itu, saat keluargaku nekat melamar Nova ke Bandung."Cincin emas takkan tampan bermata kaca."Ya, katanya, Gadis yang elok dan hartawan takkan sejodoh dengan orang yang m
PoV Hamid "Bukan itu maksud saya, Bu Lena. Nova bahkan terlalu baik. Dia bukan hanya menurut pada Hamid, tapi juga pada saya. Demi Tuhan, Nova pun tak ada cacatnya sebagai istri dan menantu. Tapi tolonglah mengerti dengan keadaan Hamid dan posisi Lisa. Dia tak tahu apa-apa. Tolonglah, Bu, kita sama-sama perempuan," ucap Ibu lalu menangis tersedu seraya mengusap dadanya berulang kali. Aku tahu Ibu pun sedang terjebak dalam situasi yang membuatnya dilema. Sama seperti diriku."Baik. Kami akan bicara pada Nova sebentar," sambar Pak Danu sembari menegakkan badan. Bu Lena ikut berdiri dan mengikuti langkah Pak Danu masuk ke kamar anaknya.Biarlah mereka berunding tentang jalan terbaik. Tentang apa pun keputusan yang akan mereka ambil, aku siap menerima konsekuensinya."Bu, aku mau menyusul Lisa," ucapku saat menyadari Ibu sudah mulai tenang. "Nanti dulu, Mid. Kita tunggu dulu apa yang akan mertuamu lakukan setelah bicara dengan Nova."Baiklah!Kami sama-sama diam. Sejurus kemudian, panda
"Lis, kamu ini bicara apa?" Mas Hamid mendekat sambil menatapku tak percaya."Aku mau kita cerai! Aku mau rumah ini dijual, dan uangnya kita bagi dua. Apa masih kurang jelas?" ulangku dengan suara lantang dan emosi yang rasanya kian menanjak.Segala ucapan dan tingkah lakunya benar-benar telah menguji kesabaranku.Cih! Enteng sekali mulutnya saat mengatakan ingin menjadikan aku kelinci percobaan.Tak malukah dia karena telah berbohong dan menutup-nutupi status anak kandungnya sendiri? Ayah macam apa dia?"Sampai kapan pun, aku tidak akan menceraikanmu, Lisa!" ucap Mas Hamid tak kalah lantang. "Kenapa enggak? Lagian percuma, Mas. Aku sudah nggak bisa nerima kamu lagi! Percuma!" tegasku seraya membuang muka dengan dada turun naik.Terdengar Mas Hamid menghentak napas kasar. Seperti tengah mencari solusi atas masalah yang membelit di antara kami."Lis, bagaimana kalau kita bicara bertiga sama Nova?"Aku sontak menoleh saat Mas Hamid mengajukan sebuah penawaran. Apakah dia ingin bernegos
Biarlah! Biar nanti setelah semuanya beres, aku akan berbicara pelan-pelan pada Ibu. Semoga beliau bisa mengerti dan paham jika anaknya ini tak mau dimadu.Di saat seperti ini, pikiranku gampang bercabang ke mana-mana.Tiba-tiba teringat pula akan pekerjaan.Hm, ke mana aku harus memulai petualangan mencari pekerjaan?Saat membaca-baca status teman saja, terlihat banyak yang resign dan banyak yang kena PHK. Membuat nyaliku sedikit ciut bahkan sebelum memulai berjuang.Lalu, bagaimana dengan aku ini? Bahkan sepeda motor saja aku tak punya. Kalau misalnya nanti benar-benar dapat pekerjaan, bukankah sedikit merepotkan jika tak memiliki kendaraan sendiri?Kalaupun harus menaiki bus jemputan pun, bukannya semudah itu. Aku harus datang lebih cepat ke lokasi penjemputan. Huft! Nasib lah, punya nasib seperti ini. Serba salah memang jadi orang tak punya. Semuanya serba susah."Hei! Gue ada pekerjaan yang cocok untuk cewek barbar kayak elu!" "Security!"Tiba-tiba ucapan Zaki tadi sore saat men
"Eh, banyak omong lu, Zak! Lisa ini masih bini gue! Jadi gue masih berhak ngatur hidup dia!" sambar Mas Hamid berapi-api. Zaki sendiri hanya tersenyum tipis mendengar ocehan lelaki yang berteman dengannya sejak SMA itu."Dan satu lagi, jangan pernah elu mikir, buat deketin dia!" Mas Hamid kembali mencengkeram kuat tanganku saat sepasang matanya menatap garang lelaki bertubuh tinggi itu.Zaki mendengkus kasar."Hmh, bentar lagi juga jadi mantan," cibirnya santai. Membuat Mas Hamid melepas cengkraman tangannya dariku. Ia lantas menarik langkah mendekat pada Zaki yang berdiri dengan jarak sekitar tiga meter di hadapannya."Sok tahu lu!" Dengan mata melotot dan gigi bergemeletuk Mas Hamid mendorong kedua bahu Zaki secara kasar.Aku yang berdiri dengan jarak tak begitu jauh, hanya menyimak. Sama seperti orang-orang di warung nasi bebek ini yang rasanya mulai tertarik saat memperhatikan keributan yang hampir terjadi tak lama lagi.Kalau aku sih, jujur berharap mereka tidak sampai adu fisik.
"Awas, ya, kalau lu sampai macam-macam. Lu bakal terima akibatnya."Akhirnya, Mas Hamid bersuara meski sedikit pelan. Mungkin, kepalanya mulai dingin sekarang. Atau … dia sudah takut duluan dengan kabar utangku yang sampai 20 juta?Mungkin saja."Iya … aman. Sana! Mending lu balik kerja, biar dua bini lu bisa dapat nafkah lahir yang sama besar! Oke!" Usir Zaki dengan suara pelan tapi terdengar tajam. Mas Hamid yang seperti sudah kehilangan daya akhirnya memilih pasrah dan pulang. "Ayo!" Melalui isyarat mata, Zaki memintaku berjalan menuju tempat di mana tadi ia mengambil tempat duduk."Heh! Kenapa kamu asal ngomong, aku ngutang sampai sebanyak itu, ha?" Aku memprotes dengan perasaan geram ketika mengikuti jejak langkahnya."Ya … itu cuma cara instan. Biar si Hamid yang kere dan gak tau diri itu cepet pulang aja. Karena gue yakin banget, dia nggak akan bisa bayar langsung hari ini," balas Zaki yakin."Yaa ... tapi bukan dengan fitnah aku punya utang sebanyak itu juga kali!" Aku mengge
"Huum, gak kebayang kalo bini tua lahiran, bini muda bunting. Duh ... reportnya," ucap Evi setelah tawanya reda.Ck! Amit-amit! Jangan sampai itu terjadi. Hatiku belum seluas ukhti-ukhti muslimah yang rela berbagi suami demi mengejar ridho Ilahi."Jadi menurutmu gimana, Vi? Aku mending datang gak nih, besok ke kantor si Zaki?" Aku yang sudah malas membahas perihal Mas Hamid, kemudian mengalihkan pembahasan."Datang aja." Terdengar Evi membalas tanpa ragu."Tapi kok aku deg-degan gitu, ya.""Kenapa?""Takut Zaki nyuruh aku kerja nggak bener," ucapku berterus terang."Ya ... coba aja kamu tanyain langsung sama dia," usul Evi yang sontak aku iyakan.Panggilan dengan Evi kuakhiri setelah bersenda gurau sejenak.Aku lantas men-scroll nomor kontak dengan kaku. Ragu juga untuk menghubungi Zaki sekarang-sekarang ini. Takut dia sibuk. Kalau dilihat-lihat dari gaya berpakaian dan cara bersikap, kelihatan kalau Zaki itu bos. Pokoknya beda kelas lah sama Mas Hamid yang cuma lulusan D3 dan jadi en
Seperti tak menghiraukan pertanyaan dariku, Zaki berlalu setelah menatapku sekilas.Ya ampun, apa gunanya aku menunggu kalau ujung-ujungnya dicuekin begini?"Zak, aku kerja apa?" Aku menguntit langkah Zaki yang seperti abai akan keberadaanku.Bukannya menjawab, Zaki terus melenggang bebas tanpa beban. Melangkahkan kaki memasuki gedung yang yang tak bisa kupastikan memiliki berapa tingkat.Aku terus mengikuti ke mana pun langkahnya terayun. Dia naik lift, aku pun ikut. Habisnya bagaimana dia, kan yang meminta aku datang ke kantor ini?Selama aku mengikutinya, tak pernah sekalipun Zaki mengkomplain tindakanku. Hanya melirik sekilas tanpa sepatah kata pun terucap dari bibirnya.Orang aneh!Kenapa mendadak seperti tidak kenal begini? Apa Karena dia sudah memakai pakaian seperti Bos?Sampai di lantai tiga gedung ini, lift berhenti dan terlihat Zaki turun. Tentu saja aku mengekori dirinya lagi dan lagi.Ya, seperti pengawal pribadi, aku tak berhenti mengikuti langkah bos satu ini, bahkan sa