"Eh, banyak omong lu, Zak! Lisa ini masih bini gue! Jadi gue masih berhak ngatur hidup dia!" sambar Mas Hamid berapi-api. Zaki sendiri hanya tersenyum tipis mendengar ocehan lelaki yang berteman dengannya sejak SMA itu."Dan satu lagi, jangan pernah elu mikir, buat deketin dia!" Mas Hamid kembali mencengkeram kuat tanganku saat sepasang matanya menatap garang lelaki bertubuh tinggi itu.Zaki mendengkus kasar."Hmh, bentar lagi juga jadi mantan," cibirnya santai. Membuat Mas Hamid melepas cengkraman tangannya dariku. Ia lantas menarik langkah mendekat pada Zaki yang berdiri dengan jarak sekitar tiga meter di hadapannya."Sok tahu lu!" Dengan mata melotot dan gigi bergemeletuk Mas Hamid mendorong kedua bahu Zaki secara kasar.Aku yang berdiri dengan jarak tak begitu jauh, hanya menyimak. Sama seperti orang-orang di warung nasi bebek ini yang rasanya mulai tertarik saat memperhatikan keributan yang hampir terjadi tak lama lagi.Kalau aku sih, jujur berharap mereka tidak sampai adu fisik.
"Awas, ya, kalau lu sampai macam-macam. Lu bakal terima akibatnya."Akhirnya, Mas Hamid bersuara meski sedikit pelan. Mungkin, kepalanya mulai dingin sekarang. Atau … dia sudah takut duluan dengan kabar utangku yang sampai 20 juta?Mungkin saja."Iya … aman. Sana! Mending lu balik kerja, biar dua bini lu bisa dapat nafkah lahir yang sama besar! Oke!" Usir Zaki dengan suara pelan tapi terdengar tajam. Mas Hamid yang seperti sudah kehilangan daya akhirnya memilih pasrah dan pulang. "Ayo!" Melalui isyarat mata, Zaki memintaku berjalan menuju tempat di mana tadi ia mengambil tempat duduk."Heh! Kenapa kamu asal ngomong, aku ngutang sampai sebanyak itu, ha?" Aku memprotes dengan perasaan geram ketika mengikuti jejak langkahnya."Ya … itu cuma cara instan. Biar si Hamid yang kere dan gak tau diri itu cepet pulang aja. Karena gue yakin banget, dia nggak akan bisa bayar langsung hari ini," balas Zaki yakin."Yaa ... tapi bukan dengan fitnah aku punya utang sebanyak itu juga kali!" Aku mengge
"Huum, gak kebayang kalo bini tua lahiran, bini muda bunting. Duh ... reportnya," ucap Evi setelah tawanya reda.Ck! Amit-amit! Jangan sampai itu terjadi. Hatiku belum seluas ukhti-ukhti muslimah yang rela berbagi suami demi mengejar ridho Ilahi."Jadi menurutmu gimana, Vi? Aku mending datang gak nih, besok ke kantor si Zaki?" Aku yang sudah malas membahas perihal Mas Hamid, kemudian mengalihkan pembahasan."Datang aja." Terdengar Evi membalas tanpa ragu."Tapi kok aku deg-degan gitu, ya.""Kenapa?""Takut Zaki nyuruh aku kerja nggak bener," ucapku berterus terang."Ya ... coba aja kamu tanyain langsung sama dia," usul Evi yang sontak aku iyakan.Panggilan dengan Evi kuakhiri setelah bersenda gurau sejenak.Aku lantas men-scroll nomor kontak dengan kaku. Ragu juga untuk menghubungi Zaki sekarang-sekarang ini. Takut dia sibuk. Kalau dilihat-lihat dari gaya berpakaian dan cara bersikap, kelihatan kalau Zaki itu bos. Pokoknya beda kelas lah sama Mas Hamid yang cuma lulusan D3 dan jadi en
Seperti tak menghiraukan pertanyaan dariku, Zaki berlalu setelah menatapku sekilas.Ya ampun, apa gunanya aku menunggu kalau ujung-ujungnya dicuekin begini?"Zak, aku kerja apa?" Aku menguntit langkah Zaki yang seperti abai akan keberadaanku.Bukannya menjawab, Zaki terus melenggang bebas tanpa beban. Melangkahkan kaki memasuki gedung yang yang tak bisa kupastikan memiliki berapa tingkat.Aku terus mengikuti ke mana pun langkahnya terayun. Dia naik lift, aku pun ikut. Habisnya bagaimana dia, kan yang meminta aku datang ke kantor ini?Selama aku mengikutinya, tak pernah sekalipun Zaki mengkomplain tindakanku. Hanya melirik sekilas tanpa sepatah kata pun terucap dari bibirnya.Orang aneh!Kenapa mendadak seperti tidak kenal begini? Apa Karena dia sudah memakai pakaian seperti Bos?Sampai di lantai tiga gedung ini, lift berhenti dan terlihat Zaki turun. Tentu saja aku mengekori dirinya lagi dan lagi.Ya, seperti pengawal pribadi, aku tak berhenti mengikuti langkah bos satu ini, bahkan sa
Sepanjang perjalanan pulang, aku terus berpikir. Tak mungkin aku bolak-balik setiap hari mengandalkan Ojek Online. Gaji sebulan saja belum tahu pasti berapa besarnya.Ah, apa mungkin sebaiknya aku mencari kost saja di sekitaran tempatku bekerja? Tapi, rugi jika aku meninggalkan rumah itu begitu saja. Bisa-bisa Mas Hamid membawa Nova masuk ke rumah itu lagi. Makin merugi lah aku.Huft!Tidak! Aku tak mungkin membiarkan hal itu terjadi. Cukup dua kali aku dibodohi oleh keluarga Mas Hamid, tak mau aku mengulanginya.Lantas, apa yang harus aku lakukan? Ah, iya. Aku pasang saja iklan di beranda facebook-ku dengan memberikan keterangan kalau rumah itu siap dijual.Ide yang bagus!Tiba di rumah aku tak langsung masuk. Kuambil foto dari segala sisi, untuk kebutuhan ikan penjualan. Setelah mengambil beberapa gambar, barulah aku membuka kunci rumah dan masuk.Tak langsung membersihkan diri, aku memilih duduk sejenak di ruang tamu. Bersiap memasang foto yang baru saja kuambil. Tapi, rasa-rasanya
Bu Ida buru-buru menyusul langkah Nova yang masuk ke dalam rumah sambil berurai air mata. Sementara di sini, Mas Hamid sendiri justru memilih tetap diam dan berdiri seperti patung yang tak punya hati dan perasaan. Apa yang diinginkannya, benar-benar membuatku tak mengerti dan tak habis pikir.Kenapa dia justru ingin melepas Nova dan mempertahankan pernikahan denganku? Apa yang salah dengannya?Apa dia tidak kasihan dengan Meisha? Buah cintanya bersama wanita yang menjadi cinta pertamanya?Entahlah. Aku benar-benar tak sanggup membaca jalan pikiran lelaki 28 tahun ini.Tak berselang lama, terdengar keributan dari dalam. Dan tak lama setelah itu, terlihat Nova keluar sambil membawa Meisha dalam gendongannya, sementara sebelah tangannya menyeret tas jinjing yang ukurannya cukup besar. Di belakangnya, Bu Ida menangis sambil menyebut nama Meisha berulang kali. Wanita yang statusnya masih resmi menjadi mertuaku, terlihat terus memegangi dadanya dengan ekspresi menyedihkan.Mungkin, istilah
Baru kali ini aku melihat Bu Ida membentak anak kesayangannya. Tak itu saja, bahkan bentakannya kali ini, disertai dengan ancaman yang begitu dahsyat. Membuatku bertanya,'sesayang itukah dia dengan Nova dan anaknya?'Mendengar ancaman sang ibu yang tampaknya tak main-main, membuat Mas Hamid gerak cepat masuk ke dalam. Tak lama kemudian, dia kembali ke hadapanku dan ibunya dengan membawa barang yang aku minta.Sebuah sertifikat yang sedari tadi menjadi bahan perdebatan, akhirnya dia munculkan dan diserahkan padaku penuh kepasrahan.Bagus! Tak sia-sia rupanya aku berlagak arogan dan menunjukkan sikap egois sedari tadi."Semoga kamu puas, Lisa," ucap Bu Ida sambil menatapku dengan tatapan tajam. Tampak sekali dia kecewa padaku. Peduli apa? Yang terpenting, sertifikat ini sudah berpindah tangan padaku sekarang.Maafkan aku, Nova. Aku bahkan memanfaatkan situasi untuk menekan Ibu dan suamimu untuk kepentinganku. Aku bahkan membuatmu harus pergi bersama hati yang terluka. Maafkan aku, Nova,
[Elu harus datang ke rumah gue malam ini juga. Setelah shalat Isya, ya, inget. Nggak boleh telat.]Apa? Ke rumah Zaki? Malam-malam? Ngapain?Kok perasaanku mendadak tidak enak begini, ya?[Ngapain?] tanyaku diliputi rasa penasaran yang teramat sangat. Bagaimana tidak, bukankah permintaannya sedikit aneh? Ah tidak. Maksudku … sangat aneh.Lucu saja kalau aku harus ke rumah Pak Bos malam-malam. Apa dia ingin memintaku membuatkannya kopi seperti saat di kantor siang tadi? Kalau itu alasannya, kok, kayak kurang kerjaan banget.Aku terdiam untuk beberapa lama saat mengira-ngira apa tujuan Zaki memintaku datang ke rumahnya di malam hari.Aku yang sedang melamun sembari terus menduga-duga, dibuat tersentak saat menyadari Zaki mengirim pesan lagi ke ponselku.[Mau 20 juta nggak? Kalau ke sini lewat dari jam 8 malam, gue batal minjemin. Oh, ya, datang harus cantik. Kalau jelek juga batal.]Kubaca baik-baik pesan darinya. Takut mataku sudah terlalu ngantuk atau Zaki typo, kan bisa berabe.Terny