Sungguh, ingin rasanya aku pergi dan mendatangi rumah Bu Ida untuk memastikan ada tidaknya suamiku di sana. Namun, kutahan. Buat apa?Bukankah kau sudah berniat mencari jalan lain untuk memastikan kebenaran, Lisa? Sudut hatiku kembali berbisik.Jangan kau kotori rencanamu dengan tindakan barbar unfaedah itu, Lisa.Sabar … sabar ….Kalau terbukti dia memang ayah kandung Meisha, fix bubar.Tak mau lagi dipusingkan oleh tingkah aneh Mas Hamid yang pergi begitu saja dengan sengaja meninggalkan ponselnya, aku memilih untuk merebahkan tubuh.Entah pukul berapa, Mas Hamid kembali ke rumah. Aku tidak tahu. Mata yang keburu mengantuk setelah berhari-hari mengalami insomnia, memaksaku tidur tanpa menunggunya pulang terlebih dahulu.***"Pergi ke mana tadi malam?" tanyaku pagi ini ketika Mas Hamid tengah bersiap-siap berangkat kerja pada pukul lima pagi."Nongkrong sambil ngopi di rumah Pak RW blok sebelah." Mas Hamid menjawab pertanyaanku dengan raut wajah yang terlihat tenang.Apakah itu artin
"Relax, Lisa. Relax." Evi yang rasanya mengerti bagaimana aku gugup mendengar hasil tes DNA antara suamiku dan bayi di rumah mertua, berucap lirih sambil terus menggenggam erat tanganku."Sebentar."Aku yang sudah panas dingin sedari tadi, dibuat semakin tak karuan rasa ketika pintu ruangan diketuk.Ternyata, perawat yang datang. Terlihat dia memberikan beberapa lembar berkas pada sang dokter."Terima kasih, Sus," ucap dokter berpembawaan tenang ini saat perawat pamit pergi."Jadi begini, Ibu Alisa, berdasarkan bukti ilmiah yang diperoleh dengan mengacu pada sampel yang diperiksa, maka hasil analisis menunjukkan bahwa 99,98 % hasil tes memiliki kemiripan."Aku membelalak lebar mendengar keterangan yang diberikan.Ya Allah, bagaimana ini bisa terjadi?"Dengan demikian, terduga ayah tidak dapat disingkirkan dari kemungkinan sebagai agai ayah biologis anak."Dokter menggenapi kalimat sebelumnya, yang memang sudah membuat aku terjebak dalam suasana tegang bukan kepalang."Ja-jadi?" Aku me
Aku tersentak saat ponselku berdering lagi. Apa Zaki lagi yang memanggil? Masih dengan seluruh tubuh yang terasa lemas, kuraih benda pipih yang sedari tadi tergeletak di lantai karena si empunya sibuk menangisi takdir hidup yang tak adil ini.Kutatap sekilas siapa gerangan yang memanggil.Hatiku mencelos.Mas Hamid memanggil?Angkat atau tidak? Aku benar-benar bimbang.Ah! Tak perlu, Lisa. Sudut hatiku berbisik. Tunggu saja dia sampai dia pulang.Aku pun lantas mengabaikan begitu saja panggilannya, tak ingin membahas apapun di telepon. Aku memang lebih memilih untuk berdebat secara face to face jika memang diperlukan.Tak lama kemudian, notif WA berbunyi. Dan entah kenapa, kali ini aku tertarik untuk membuka dan melihat siapa yang mengirim pesan. Pesan dari Mas Hamid rupanya.Bergetar tanganku saat mencoba membuka pesan apa yang suamiku kirimkan.[Lis, Malam ini kamu nggak apa-apa, kan kalau tinggal sendiri di rumah? Motor Mas tiba-tiba mogok, nggak bisa nyala, nih dari tadi. Ini aja
Aku seperti dibawa kembali ke masa di mana pertama kali melihat Mas Hamid dan baju bayi itu. Menatap ke dalam sambil bersembunyi di balik pagar ini. Persis seperti seorang detektif.Sambil mengamati dari kejauhan, kutarik kedua tas ke dekat kaki. Sungguh, aku tak ingin mereka menangkap keberadaanku sebelum aku sendiri yang masuk ke sana.Wow! Terlihat ayunan kain yang sudah dihias sedemikian rupa di seberang sana. Tak lama kemudian tampak Mas Hamid muncul dari dalam, dengan senyum sumringah sambil menggendong anak kecil yang sudah bisa kupastikan adalah Meisha. Di belakangnya, Nova berjalan mengiringi dengan senyum yang tampak merekah indah. Senyum manis yang mampu membuatku harus menahan napas untuk beberapa saat.Bukankah mereka tampak seperti pasangan keluarga kecil yang bahagia?Lalu, untuk apa kau menikahiku, Mas?"Astaghfirullah." Lirih aku beristighfar saat tanganku terulur dan mengusap dada sendiri.Sadar diri, Lisa! Sadar diri!Ingat baik-baik posisimu di sini, dan ingat apa
Sambil menyodorkan tangan pada kedua orang tua Nova, senyumku terus terukir indah meski hati sebenarnya ingin sekali memaki dan memperolok mereka yang telah berbuat dzalim padaku."Oh … perkenalkan , saya Bu Lena, ibunya Nova, dan ini suami saya, Pak Danu, ayahnya Nova." Wanita paruh baya bernama Bu Lena itu menyambut uluran tanganku dengan senyum ramah yang terus menghiasi bibirnya.Aku hanya mengangguk pada Pak Danu sebagai perkenalan. "Wah, Mid. Sepertinya sepupumu ini orang jauh, ya. Tasnya banyak banget. Apa mau lama-lama di sini?" tanya Bu Lena sambil melirik kembali tas di tanganku setelah menatap suamiku yang wajahnya kini semerah keriting rebus.Aku tak bisa memastikan bagaimana jantungnya berdegup kencang sekarang. Tapi mungkin saja … setara dengan kecepatan motor Valentino Rossi yang bisa melaju dengan kecepatan 300km/jam."Eeh, i-iya, Bu," sahut Mas Hamid tergeragap. "Nggak jauh-jauh amat sih, Bu sebenarnya. Dekat aja, kok. Dan satu lagi, ini … bukan tas saya. Ini baju-b
"Lin … kamu kok ceroboh, sih. Tumpah 'kan jadinya," ucapku buru-buru berlari mengambil kain lap dan membersihkan tumpahan sup yang berceceran di lantai. Teriakan Lina yang cukup nyaring rupanya mengundang Mas Hamid dan Ibunya berlari ke dapur. Tak lama kemudian kedua orang tua Nova pun turut menyusul. Ingin memastikan keadaan rasanya."Kenapa, Lin?!" pekik mertuaku histeris. Melihat anak kesayangannya terus merintih menahan sakit, jelas membuatnya terkejut. Sementara Mas Hamid, langsung gerak cepat untuk balik badan saat melihat keadaan sang adik yang menyedihkan. Tak lama kemudian, ia kembali ke dapur dengan membawa sebuah kotak tisu."Lina ceroboh banget, Bu. Bawa kuah panas begini, jalannya buru-buru. Makanya kepeleset," sahutku sambil merampas sekotak tisu dari tangan Mas Hamid. Orang-orang yang berada di dapur—yang kukira adalah tukang masak untuk acara pagi ini, ikut-ikutan meringis saat menatap Lina yang terus meringis kepanasan setelah ketumpahan kuah sup."Duduk dulu, Lin." M
"Lisa! Ya ampun cantiknya!" Ibu mertua, Mas Hamid, Nova, juga ayahnya serempak menoleh mendengar ibunya Nova memuji dan menyebut namaku. Lagi-lagi, raut wajah mereka tampak berubah saat menatapku. Bahkan, ibu mertuaku sampai membuang muka.Tak ikhlas kah dia baju anaknya aku pakai? "Lisa disuruh nunggu tamu aja di depan sama orang dapur. Katanya mereka sudah dibayar, kan? Tapi, Lisa kok pengen dekat sama dedeknya, ya? Boleh kan, ya, Kak Nova? Karena mungkin … habis ini, bakal lama baru ketemu sama Dedek lagi. Atau mungkin … bisa juga enggak ketemu lagi," ucapku dingin sambil berjalan mendekat pada ayunan, di mana Meisha sedang tertidur pulas di dalamnya. "Eh, i-iya. Bo-boleh ko, Lis!" jawab Nova tergagap. Aku tersenyum senang, langsung duduk di dekat ayunan bayi gembul ini. Mas Hamid dengan sukarela bergeser memberi celah. Sementara kedua orang tua Nova terlihat tak begitu peduli. "Aku mau liat Lina sebentar." Ibu mertuaku bergerak, seperti ingin beranjak meninggalkan tempat ini.
"Bu ...!" Nova terpekik sambil menangis mendekati ibunya yang nyaris pingsan. Syukurlah dia masih sadar biarpun sedikit. Kalau pingsan dan nggak bangun-bangun entar gimana? Siapa yang disalahkan? Aku menatap tajam ke arah Zaki yang mendadak bengong. Tak menyangka kedatangannya menuai bakal membuat keadaan jadi seheboh ini."Zak! Salah Gue apa, sih sama lu? Kenapa Elu jadi ngaco gini, ha?!" Suara Mas Hamid akhirnya terdengar meninggi juga. Zaki tak menjawab. Sementara Bu Ida terlihat sibuk memberi minum besannya yang berada dalam pangkuan Pak Danu. Di lain sisi, Nova gerak cepat mengangkat Meisha dari ayunan. Bayi gembul yang awalnya menjadi pencetus atas segala perkara, menangis karena kaget mendengar pekikan ibunya sendiri. Saat kondisi Bu Lena sudah agak mendingan, Pak Danu lantas menatap tajam padaku. Seperti seekor singa yang siap menerkam mangsa.Ternyata mengerikan juga Pak tua botak ini."Kenapa kamu bersandiwara?" tanyanya dengan nada dan tatapan yang sama tajam saat menatap